Memaksa mereka berjalan kaki di Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memaksa mereka berjalan kaki di Jakarta
Pejalan kaki di Jakarta masih menempati kasta terbawah di ibu kota. Perbaikan trotoar masih mementingkan pengguna kendaraan daripada pejalan kaki

JAKARTA, Indonesia — Hidup di Jakarta bukanlah suatu hal yang mudah. Selain biaya hidup yang tinggi, penduduknya juga dihadapkan pada masalah transportasi, seperti kemacetan.

Bagi beberapa orang, alasan ini cukup untuk membuat mereka meninggalkan mobil dan motor sebagai moda transportasi utama dan beralih ke angkutan umum. Bahkan ada yang memilih opsi lebih ekstrem, yaitu berjalan kaki.

Fajar Triperdana, misalnya, yang sudah membiasakan dirinya berjalan kaki sejak 2009. Selain karena alasan jalanan sudah padat oleh kendaraan bermotor, berjalan kaki menurutnya memiliki dampak bagi bagi kesehatan.

Hobi berjalan kaki ini semakin sering ia lakukan setelah pria berusia 25 tahun itu lulus dari bangku kuliah dan menjadi pekerja kantoran.

“Supaya lebih banyak gerak, apalagi setelah seharian di kantor duduk terus. Juga kalau sambil jalan, bisa sekalian buat menenangkan pikiran dan relaksasi mood,” kata Fajar yang bekerja untuk Australian Council for Educational Research Indonesia.

Ia sering berjalan kaki dari daerah Senayan ke Jalan Hang Tuah, dan dari Hang Tuah menuju Blok M, Jakarta Selatan, sembari menikmati kosongnya trotoar saat jalanan sedang padat-padatnya.

Alasan kesehatan juga yang mendorong Ivan (36 tahun) berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer setiap harinya. Sebagai seorang programmer yang kesehariannya duduk di kursi dan menatap layar komputer dalam waktu lama, kegiatan ini menjadi satu-satunya olahraga yang ia lakukan.

“Kalau fitness malas, dan juga sayang uangnya. Ongkos transportasi juga berkurang,” kata Ivan.

Seorang pejalan kaki lain, Adrian Pradana, bahkan sengaja mencari kost di tengah Jakarta, daerah Setiabudi, untuk memudahkan kegiatannya ini.

Sehari-hari, pria berusia 27 tahun ini berangkat sekitar pukul 7:30 WIB ke kantornya di daerah Semanggi yang berjarak sekitar 2 kilometer. Butuh waktu sekitar 20-30 menit sebelum ia tiba di kantor. Adrian mengulanginya lagi saat sore hari sepulang kerja.

Melawan motor dan PKL

TROTOAR UNTUK DAGANG. Pedagang Kaki Lima (PKL) memanfaatkan trotoar luas di depan Halte Tosari, Jakarta Pusat, untuk berdagang. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Sebagian besar pejalan kaki yang diwawancarai Rappler mengakui kondisi trotoar Jakarta saat ini sudah cukup baik, terutama di jalan protokol seperti Jalan Jenderal Sudirman-Jalan MH Thamrin. Namun, bukan berarti mereka bisa berjalan dengan nyaman.

“Sejauh ini kendala ada [pada] pengendara motor yang nyerobot aja. Pernah pura-pura enggak dengar dan jalan terus. Pas ada celah, itu motor lewat terus diteriakin,” kata Aisha Shaidra (28 tahun) yang kerap berjalan dari Stasiun Manggarai ke Menteng Square di Jakarta Pusat.

Keluhan serupa juga disampaikan Fajar dan Adrian. Seringkali, mereka harus adu keras kepala dengan pengendara motor yang menerobos trotoar.

Kadang, masalah justru datang dari pejalan kaki lain yang bergerak lambat. “Banyak yang suka ramai-ramai sambil ngerokok, atau pelan-pelan sampai menutup jalan,” kata Adrian.

Selain itu, meski sudah mati-matian ditata oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, masih banyak pedagang kaki lima (PKL) yang menjamuri trotoar di ibu kota. Sebut saja di sepanjang trotoar di sekitar Halte Bendungan Hilir, Semanggi, dan Atma Jaya, di Jakarta Selatan, atau di ruas Jalan Pemuda, Rawamangun Jakarta Timur.

Mereka mendirikan tenda tepat di atas trotoar sehingga pejalan kaki tak bisa melintas dan harus pindah ke jalan raya.

“Di Tanjung Priok, sekitar Polres Jakarta Utara sampai sebelum Taman Plumpang, sudah bagus, tapi masih suka dibuat enggak nyaman oleh tukang ojek mangkal atau gerobak jualan kopi,” kata seorang pejalan kaki, Ferdinandus Therry Kristiandi.

Demikian pula pengamatan Therry atas trotoar di Stasiun Jakarta Kota, yang juga masih penuh PKL.

Ia mengaku seringkali berjalan kaki di berbagai daerah Jakarta dan menemukan perbaikan masih belum merata. Di Jakarta Barat, menurut pengamatannya, sekitar area Mall Taman Anggrek dan Central Park trotoarnya sempit dan masih banyak pedagang. Demikian juga di Tomang Raya, yang meski sudah diperbaiki, masih banyak mobil parkir dan pedagang gerobak.

Mengurangi mobil

Sebelum cuti kampanye untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tengah gencar memperbaiki trotoar di ibu kota. Ia terinspirasi setelah melihat betapa luasnya jalur pejalan kaki itu saat berkunjung ke Belanda beberapa waktu lalu.

Di sana, jalanan kendaraan justru tidak terlalu lebar, tetapi trotoarnya sangat luas. Bahkan, bisa dibangun kafe-kafe kecil untuk tempat nongkrong warga.

Ahok pun berencana untuk melebarkan ruas trotoar di sejumlah daerah, seperti jalanan Sudirman-Thamrin hingga 10 meter. Ia juga akan membangun kafe-kafe kecil di sana sebagai tempat nongkrong anak muda.

“Alasannya memang untuk memaksa warga lebih banyak jalan kaki,” kata Kepala Bidang Perekonomian Bappeda DKI Jakarta Afan Ardiansyah di Jakarta pada Senin, 7 November.

Untuk tahun ini, sebenarnya sudah ada rencana perbaikan trotoar di 48 lokasi yang tersebar di 42 kecamatan di Jakarta. Anggarannya mencapai Rp250 miliar.

Menurut Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Yusmada Faizal, lembaganya berencana menyediakan trotoar layak di sepanjang 1.300 kilometer jalan arteri di Jakarta. Saat ini, ujar Yusmada, baru 10 persen saja yang sudah memenuhi standar.

“Seperti yang ada di Jalan Medan Merdeka,” kata Yusmada kepada Rappler, Jumat, 11 November.

Kelayakan tersebut didasarkan pada lebar jalan yang berkisar lebih dari 5 meter, serta memiliki jalur khusus bagi kaum difabel. Selain itu, Bina Marga juga merencanakan tambahan berupa utility box guna meletakkan kabel optik telepon maupun listrik di bawah tanah sehingga tiangnya tidak mengganggu pejalan kaki.

PERCONTOHAN. Trotoar di Jalan Jatibaru, yang akan menjadi prototype perbaikan seluruh jalur pejalan kaki di Jakarta. Foto dari Bina Marga DKI Jakarta.

Selain Jalan Medan Merdeka, contoh lainnya adalah trotoar di sepanjang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang berlokasi di Salemba, Jakarta Pusat. Pejalan kaki disediakan ruas jalan yang lebar, sekitar 5 meter, dengan permukaan halus dan minim tiang listrik ataupun pot tanaman.

Yusmada tidak menjawab berapa total panjang trotoar yang telah ada saat ini. Namun, menurut data Badan Pusat Statisitk (BPS) Jakarta, panjangnya adalah 540,4 kilometer.

“Kami juga tidak tahu berapa yang sudah layak atau belum,” katanya.

Bina Marga sendiri baru bisa mengeluarkan data lengkap pada akhir 2016, karena proyek perbaikan trotoar baru berjalan pada tahun ini.

Strata terbawah

Sayangnya, perbaikan ini belum menyelesaikan seluruh permasalahan pejalan kaki. Pengamat Tata Ruang Universitas Indonesia Andi Simarmata mengatakan pejalan kaki masih menempati kasta terbawah di jalanan ibu kota.

“Jakarta ini sangat tidak ramah dengan pejalan kaki,” kata Andi.

Pembangunan jalan, termasuk trotoar sekalipun, cenderung masih berorientasi pada kepentingan kendaraan ketimbang pengguna yang sesungguhnya.

Ia mencontohkan saat trotoar terputus ketika berhadapan dengan pintu masuk hotel ataupun gedung perkantoran. Menurutnya, seharusnya bukan trotoar yang diturunkan; tetapi di pinggir jalanan sekitar area masuk diberi undakan untuk mobil lewat.

Hal ini berkebalikan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Eropa, atau bahkan sesama negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Di sana, pejalan kaki lebih diutamakan, dan infrastruktur jalanan dibuat senyaman mungkin. Berbagai teknologi mulai dari tombol penyeberangan lengkap disediakan.

“Meski tidak besar, tapi pembangunan trotoar yang mendorong orang ke jalan juga bisa berperan dalam mengurangi emisi karbon dari suatu kota,”kata Andi.

Sebenarnya, Indonesia juga memiliki teknologi serupa. Namun, beberapa tombol seperti sudah rusak, atau bahkan tidak memilikinya.

Selain itu, lanjutnya, perlu juga memikirkan persoalan tanaman hijau. Andi menilai pohon-pohon besar dan sedang kurang cocok diletakkan di trotoar. Daun-daunnya dapat menghalangi pejalan kaki kalau tidak dipangkas secara berkali. Bila hujan badai pun berpotensi tumbang.

“Lebih cocok kalau dipasangi tiang seperti kanopi, tapi bukan diatapi seng. Kesannya gersang, coba ditanami tanaman merambat biar hijau tapi juga tidak kering,” kata dia.

Niatan Ahok dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperbaiki trotoar dan mendorong orang-orang kembali berjalan kaki perlu disambut baik. Tetapi masih banyak hal lain yang perlu diperbaiki, seperti jembatan penyeberangan orang (JPO) hingga etika pengguna jalan lainnya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!