Mencari keadilan korban Tragedi Semanggi I di Istana Negara yang kosong

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mencari keadilan korban Tragedi Semanggi I di Istana Negara yang kosong

ANTARA FOTO

Jokowi dinilai menunjukkan kemunduran dalam hal penegakkan kasus HAM.

JAKARTA, Indonesia — Perjuangan tak pernah selesai bagi Asih Widodo. Pada 13 November 1998, putra tunggalnya, Sigit Prasetyo, tewas lantaran peluru tajam.

Pria berusia 64 tahun ini masih ingat apa yang dikatakan dokter forensik usai mengotopsi anaknya.

“Pak, ini peluru Kopassus, khusus yang meledak begitu masuk ke dalam badan,” kata Widodo mengenang apa yang dikatakan dokter saat itu. Ia bersama sekelompok orang lain yang masih mencari keadilan, mengikuti kilas balik Tragedi Semanggi I di depan Istana Negara pada Senin, 14 November.

Setelah Sigit meninggal dunia, Widodo tak pernah berhenti berjuang memperoleh keadilan bagi anaknya. Sasaran Widodo jelas, mantan Presiden ke-3 BJ Habibie dan Panglima ABRI saat itu, Wiranto.

Bahkan, setahun setelah kematian Sigit, Widodo mendatangi Departemen Pertahanan untuk meminta pertanggungjawaban Wiranto. Ironisnya, ia malah dipopor oleh polisi hingga melukai dahi bagian kanannya.

Safari ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga dilakukannya guna menggugat Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia tak meminta MK membuat surat pemanggilan untuk mengadili Wiranto, karena memang bukan ranah mereka.

Negara secara yudisial mempunyai instrumen perundang-undangan, yaitu UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara historis UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999.  Dengan lahirnya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan di lingkungan Peradilan Umum.

Diundangkannya UU ini, setidaknya memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, sebagaimana diatur dalam pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM ad hoc dan pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kedaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat.

“Tetapi mereka bisa mengubah UU, menyerahkannya ke presiden, supaya yang bersangkutan bisa diadili,” kata Widodo. Sayang, hal tersebut tak pernah terjadi.

ANAKKU MATI. Asih Widodo dan motor yang dipergunakannya untuk mencari keadilan. Foto oleh Ursula Florene/Rappler.

Ia bahkan mengaku sering berkendara ke Solo dan Bali dengan motornya yang telah dimodifikasi. Ada boks dan stiker bertuliskan “Anakku mati oleh tentara”. Foto dirinya dan Sigit dipasang berdampingan, dengan tulisan “Anakku mati, asu” terpampang.

“Saya ingin semua orang melihat, dan mencari keadilan. Kalau di Jakarta sudah tidak ada, mungkin di Solo, Bali, atau tempat lainnya masih ada,” ucapnya.

Orang yang paling ingin dituntut oleh keluarga para korban Tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti, malah diangkat menjadi menteri 18 tahun kemudian. Tak tanggung-tanggung, Wiranto kini didapuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) di era Presiden RI ke-7 Joko “Jokowi” Widodo.

Posisi yang sangat strategis dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Kalau Pak Jokowi pintar, tidak mungkin angkat Wiranto jadi Menkopolhukam. Karena dia yang harus bertanggungjawab. Tapi sepertinya Pak Presiden tidak pintar-pintar amat,” kata Widodo.

Mempertanyakan Wiranto

Maria Catarina Sumarsih tentu bukanlah nama yang asing, terutama bagi mereka yang rutin mengikuti Aksi Kamisan. Ia adalah ibunda dari Bernardus Realino Norma Irmawan.

Seperti Sigit, pemuda yang kerap disapa Wawan semasa hidupnya ini tertembak di dadanya saat hendak menolong rekannya yang terluka di parkiran Universitas Atma Jaya.

“Anak saya, menurut dokter autopsi, ditembak peluru tajam standar ABRI. Menembus paru-paru,” kata dia. Setelahnya, hidup Sumarsih dipenuhi upaya mencari keadilan.

“Kalau Pak Jokowi pintar, tidak mungkin angkat Wiranto jadi Menkopolhukam. Karena dia yang harus bertanggungjawab. Tapi sepertinya Pak Presiden tidak pintar-pintar amat.”

Setidaknya, 18 tahun berlalu, dan Indonesia sudah berganti-ganti presiden. Semuanya, mulai dari Habibie hingga Jokowi, menjanjikan penyelesaian kasus HAM, termasuk yang menewaskan anaknya.

“Gus Dur berjanji menuntaskan, bertepatan dengan keluarnya hasil penyelidikan Komnas HAM. Habibie sebelumnya berjanji akan menindak sesuai hukum yang berlaku. SBY juga mengatakan pengadilan HAM ad hoc,” kata Sumarsih merinci satu per satu. Namun, tak ada satupun yang terealisasikan.

Munculnya Jokowi sempat membersitkan harapan, terutama setelah ia memasukkan penyelesaian kasus HAM dalam janji kampanyenya. Sumarsih ingat, kalau Jokowi pula yang mengatakan penegakkan keadilan HAM membutuhkan keberanian luar biasa.

Kini, sudah lebih dari 2 tahun sejak Jokowi menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia. Ketimbang memenuhi harapan, ia justru mengecewakan Sumarsih dengan mengangkat Wiranto.

“Bahkan kemarin, sempat dibahas kalau penyelesaian kasus Tragedi Semanggi I, II, dan Trisakti akan dilakukan terpisah. Ini sesuai keinginan Wiranto,” kata Sumarsih. Sebab, semuanya akan menafikan Ketua Umum Partai Hanura ini dari pelanggaran HAM karena tempus dan locus delicti-nya berbeda semua.

Melanggengkan impunitas

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Feri Kusuma menilai Jokowi justru menunjukkan kemunduran dalam hal penegakkan kasus HAM. Pertama, adalah dengan mengangkat Menkopolhukam pertama, Tedjo Edhy Purdjiatno.

“Dia tidak punya konsep penyelesaian HAM,” kata Feri. Setelahnya, kedudukan ini diisi oleh Luhut Pandjaitan.

Konsep yang ditawarkan Luhut adalah dengan mendudukkan pelaku dan korban di meja yang sama. Bagi Feri, hal ini justru malah semakin merugikan korban.

MENUNTUT PENCOPOTAN WIRANTO. Foto oleh Ursula Florene/Rappler.

Terakhir, adalah mengangkat Wiranto, yang sudah disebut-sebut terlibat dan diduga sebagai penjahat HAM. “Bagaimana mungkin orang yang bertanggungjawab mau menyelesaikan,” ujar Feri.

Kedudukan Wiranto sebagai Menkopolhukam justru akan menghambat proses penyelesaian masalah HAM yang ada. Belum lagi dengan pasifnya Jaksa Agung HM Prasetyo dalam inisiatif penyelesaian.

“Sudah dua mau jalan tiga tahun menjabat, apa yang dikerjakannya? Ia bukan penegak hukum, tapi politisi,” kata Feri.

Jokowi, lanjutnya, perlu segera mencabut Wiranto, dan menyelesaikan setidaknya satu dari 7 pelanggaran HAM yang disebut oleh Komnas HAM. Penuntasannya pun melalui pengadilan HAM ad hoc.

“Kalau tidak maka ia tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yang melanggengkan impunitas penjahat HAM,” kata Feri.

Setidaknya, hal inilah yang dirasakan oleh para mahasiswa Atma Jaya yang bergabung dalam aksi hari ini. Mereka menabur bunga di titik tempat tewasnya Wawan, dan melanjutkan perjalanan ke kantor Kemenkopolhukam dan Istana Negara guna menyampaikan penolakan terhadap Wiranto.

“Kami tidak mau bertemu Wiranto, copot dia,” kata salah satu pendemo. Hal ini disambut sahutan “Adili dia!” dari peserta lainnya.

Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Saat itu mahasiswa, yang bergabung dengan masyarakat, melakukan demonstrasi besar-besaran.

Sedikitnya 5 mahasiswa tewas, mereka adalah BR Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya; Engkus Kusnadi, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Terbuka; Sigit Prasetyo, mahasiswa Universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI); dan Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI).

Bagi puluhan mahasiswa berjaket oranye yang beraksi saat ini, ada perjuangan yang belum selesai: Keadilan yang harus ditegakkan. Meski suara mereka disambut oleh kantor kosong Wiranto, juga Istana Merdeka yang tengah ditinggalkan Jokowi ke Kendal, Jawa Tengah. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!