3 petani Majalengka jadi tersangka, LBH Bandung akan ajukan praperadilan

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

3 petani Majalengka jadi tersangka, LBH Bandung akan ajukan praperadilan
Para petani di Majalengka menolak proses pengukuran lahan untuk bandara internasional Kertajati. Terjadi bentrok, 6 orang ditangkap polisi, 3 jadi tersangka

BANDUNG, Indonesia — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung akan melakukan upaya penangguhan penahanan dan mengajukan praperadilan menyusul ditetapkannya tiga orang warga Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai tersangka kasus bentrokan warga dan aparat.  

Ketiga warga tersebut adalah Carsiman, Darni, dan Sunadi. Mereka dituduh menghalang-halangi dan melawan petugas dan aparat penegak hukum saat proses pengukuran perluasan lahan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, pada Kamis, 17 November, yang berujung terjadinya bentrokan.

Ketiga warga yang berprofesi sebagai petani itu dijerat pasal 214 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 7 tahun penjara. 

“Yang terjadi adalah pembubaran oleh aparat, bukan menghalang-halangi. Karena saat peristiwa terjadi, posisinya baru negosiasi,” kata Yogi.

Ketua LBH Bandung Arip Yogiawan mengatakan pihaknya akan mengajukan praperadilan atas dasar proses pemeriksaan yang dinilai cacat hukum.

“Proses pemeriksaan dinilai cacat hukum karena, di antaranya terjadi tindak kekerasan, termasuk melampaui batas waktu penahanan 1×24 jam,” kata Yogi saat dihubungi Rappler, pada Senin, 21 November.

Salah seorang tersangka, Carsiman, mengalami luka-luka dan bengkak di beberapa bagian tubuhnya, serta mengeluh pusing bahkan sempat muntah. Menurut Yogi, Carsiman belum mendapatkan penanganan medis hingga hari ini.

Berdasarkan pengakuan Carsiman, kata Yogi, luka itu didapat kliennya saat ditangkap oleh aparat hukum.

“Tapi waktu di Polres Majalengka sempat dipukul juga,” ujarnya.

Sementara itu, Yogi juga membantah jika kliennya melakukan tindakan menghalang-halangi dan melawan aparat.

“Yang terjadi adalah pembubaran oleh aparat, bukan menghalang-halangi. Karena saat peristiwa terjadi, posisinya baru negosiasi,” kata Yogi.

Yogi menceritakan, warga Desa Sukamulya meminta agar pengukuran lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak dilaksanakan terlebih dahulu karena belum ada upaya sosialisasi atau kesepakatan harga antara BIJB dengan warga. 

Namun negosiasi antara petugas dan warga tidak mencapai kesepakatan sehingga polisi membubarkan kumpulan warga dengan menembakan gas air mata. Terjadilah bentrokan hingga berujung pada ditangkapnya 6 orang warga, yang tiga di antaranya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Sebelumnya, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Jabar Kombes Yusri Yunus menyatakan ketiga orang warga Sukamulya telah ditetapkan sebagai tersangka karena menghalangi-halangi dan melawan terhadap aparat penegak hukum.

“Tiga warga lainnya hanya sebagai saksi dan sudah kita lepaskan,” kata Yusri saat dikonfirmasi, pada Minggu, 20 November. Ia mengatakan, pihaknya masih mendalami kasus bentrokan tersebut.

Walhi: Pembangunan bandara internasional Kertajati sarat pelanggaran

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar mengutuk tindak represif yang dilakukan aparat keamanan.   

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan menuturkan, selama ini warga Sukamulya tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pengadaan tanah, seperti konsultasi publik.  

“Hal itu melanggar pasal 16, 19, 20 dan 21 UU Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum,” kata Dadan, saat dihubungi Rappler, Senin.

Selain itu, Dadan menilai pembangunan bandara berskala internasional yang diberi nama Kertajati ini juga sarat dengan pelanggaran lainnya. Berikut pelanggaran yang dicatat Walhi Jabar:

 

  • Warga Sukamulya tidak pernah diajak musyawarah untuk menyepakati dan menetapkan lokasi pembangunan BIJB dan Kertajati Aerocity.
  • Warga Sukamulya tidak pernah satu kalipun diajak atau dilibatkan dalam musyawarah penetapan nilai dan jenis ganti rugi melanggar pasal 27, 31, 33, 34, 36, dan 37 UU Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum. 
  • Indikasi penipuan objek ganti rugi oleh pihak penyelenggara pengadaan tanah dengan cara pembangunan hunian fiktif pada area pesawahan warga agar nilai ganti rugi menjadi 2 kali lebih besar melanggar pasal 27, 28, 29, dan 30 UU Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum.
  • Indikasi tindak pidana perbankan, penipuan, pencurian, pencucian uang, dan korupsi pada proses ganti rugi pengadaan tanah untuk BIJB, oleh pihak Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Banten, yakni Bank BJB. 
  • Bank BJB secara sepihak melakukan pemindahbukuan/mentransfer 50 persen uang ganti rugi warga atas pembangunan BIJB tanpa persetujuan dan sepengetahuan warga terdampak kepada rekening nasabah lain. Hal ini tercatat jelas dalam seluruh buku tabungan warga terdampak dan melanggar Peraturan Bank Indonesia No.14/23/Pbi/2012 tentang Transfer Dana; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.1/Pojk.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Izin lingkungan cacat hukum karena dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang disusun dan diberikan kepada pemerintah tidak melibatkan warga, tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan tidak pernah diumumkan melanggar Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
  • Kertajati Aerocity bukanlah pembangunan yang masuk ke dalam kategori kepentingan umum melanggar pasal 10 UU pengadaan tanah.
  • Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 13 tahun  2010 tentang Pembangunan dan Pengembangan Bandar Udara Internasional Jawa Barat Dan Kertajati Aerocity cacat hukum, karena memasukan kepentingan pengusaha properti dan real estate ke dalam anggaran pendapatan, dan belanja daerah melalui peraturan daerah di atas. Hal ini melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.

 

KPA: Banyak indikasi korupsi dalam pembebasan lahan

Warga Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, di sawah yang hendak digusur oleh BPN. Foto dari kpa.or.id

Tidak hanya Walhi Jabar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mengecam keras kekerasan aparat dan kriminalisasi terhadap perjuangan hak atas tanah. KPA, bersama organisasi lain yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), akan mendukung sepenuhnya perjuangan warga Sukamulya dan Mekar Jaya dalam mempertahankan tanahnya.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan banyak indikasi manipulasi dan korupsi yang terjadi di lapangan dalam proses pembebasan lahan

“Bisa dilihat di lokasi ratusan rumah-rumah fiktif dibangun oleh para spekulan tanah bekerjasama dengan aparat. Setelah dilepaskan warga yang terpaksa melepaskan lahannya,” kata Dewi kepada Rappler, Senin.

“Bagaimana bisa tanah-tanah yang sudah dilepas itu, tiba-tiba berdiri rumah-rumah hantu di atas sawah. Ini untuk memanipulasi harga ganti rugi. Karena adanya disparitas harga antara lahan basah [sawah] dan pemukiman,” ujarnya.

Dewi juga mengungkapkan BIJB sebenarnya hanya membutuhkan lahan seluas 1.800 hektar, namun ternyata harus ditopang oleh kegiatan bisnis melalui pengembangan Kertajati Aerocity yang membutuhkan lahan seluas 3.200 hektar.  

Akibat proyek itu, akan tergusur seluas 5.000 hektar lahan di 11 desa, yang mayoritasnya adalah lahan pertanian produktif. 

“Padahal saat ini di Jawa Barat sudah terbangun enam bandara yang fungsinya bisa dioptimalkan, sehingga urgensi pembangunan BIJB patut dipertanyakan,” kata Dewi.

Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, warga yang melepas lahannya mengaku diintimidasi dan diteror sehingga akhirnya mereka setuju untuk menjual lahannya.

Dari 11 desa yang yang terkena dampak penggusuran yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Perhubungan No. 34/2005 yang diperbarui melalui KP 457 tahun 2012, sebanyak 10 desa telah diratakan tanpa proses memadai dan informasi yang jelas bagi masyarakat. Desa Sukamulya merupakan satu-satunya desa yang masih memilih mempertahankan tanah dan kampungnya. 

“Rencana pengukuran [Kamis, 17 September 2016] telah mengancam 1.478 kepala keluarga dengan luas lahan lebih dari 500 hektar di desa Sukamulya,” ungkap Dewi. 

Ia menilai, telah terjadi ironi dalam proses alih fungsi lahan BIJB ini. Ia menjelaskan, dalam UU No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pasal 103 menyebutkan bahwa petani yang mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar rupiah. 

“Namun dalam kasus penggusuran di Desa Sukamulya dan banyak kasus lainnya, justru pemerintah yang melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian,” katanya.

Terkait kasus tersebut, Dewi mengaku, pihaknya telah mengirimkan surat protes kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Menurut Dewi, Kantor Staf Presiden (KSP) telah mendatangi lokasi dan berdialog dengan warga.

“Dua hari lalu bersama KSP kami ke lapangan. Mendengarkan kesaksian warga yang sudah melepas [tanah] maupun yang menolak,” ujar Dewi.

Ia mengungkapkan, warga yang melepas lahannya mengaku diintimidasi dan diteror sehingga akhirnya mereka setuju untuk menjual lahannya.

“Ini syarat permainan aparat. Memaksakan terus pembebasan lahan. Bahkan dengan memakai uang negara mengerahkan polisi dan TNI. Tentu ada yang bermain, pemerintah dan investor. Yang paling diuntungkan jika proyek ini sukses siapa? Bukan petani di Sukamulya,” katanya.

Warga tinggalkan desa karena ketakutan

Sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menuding ada sekelompok orang yang mengintimidasi dan meneror warga yang telah setuju melepaskan tanahnya. Bahkan, menurut Deddy, warga tersebut terpaksa harus meninggalkan desanya karena ketakutan.

“Pemilik tanah tidak ada yang menolak, bahkan pemilik tanah diintimidasi oleh orang-orang yang dalam tanda petik bukan pemilik tanah. Kan, enggak boleh, orang pemilik tanah diintimidasi,” kata Deddy kepada wartawan yang menemuinya di Gedung Sate, pada Jumat, 18 November, pekan lalu.

Menurut Deddy, pihaknya telah melakukan prosedur yang sesuai aturan perundangan dalam melakukan proses pembebasan lahan.  

“Sudah [sesuai prosedur], sudah sosialisasi, dokumen sudah lengkap, bahkan pemilik tanah sudah memberikan dokumen tanahnya. Kalau tidak mau menjual kan tidak akan dikasih dokumennya,” ujarnya.

Sementara mengenai ada sekelompok  orang yang menolak pengukuran lahan, Deddy menuding mereka bukan warga setempat. Malah menurutnya, mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan tertentu.

“Yang menolak siapa? Pemilik tanah, bukan? Kalau bukan pemilik tanah, ya sudah, abaikan. Pemilik tanah kan tidak menolak. Terus dari mana yang menolak, tolong ditanya warga dari mana?” katanya.

Menurutnya, aparat kepolisian telah melakukan tugasnya melakukan pengamanan dan melindungi hak warga yang telah menjual tanahnya.

“Jadi tidak boleh ada kelompok manusia yang mengintimidasi kelompok lainnya yang malah punya hak untuk itu. Polisi malah mengamankan. Negara harus hadir pada saat seperti itu. Enggak ada yang paksa untuk menjual tanahnya. Malah mereka mau menjual tanahnya tapi dihalang-halangi,” kata Deddy.  

Ia mengatakan, ada 382 bidang lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan runway yang akan mulai dilaksanakan tahun depan. Pengukuran dilakukan untuk proses pencairan pembayaran lahan untuk warga. 

“BPN mengukur, kemudian Pemprov membayar ke bank masing-masing rekening orang, targetnya Desember [cair],” kata Deddy. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!