SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
PIDIE Jaya, Indonesia – Pantai Manohara yang membentang di Desa Meuraksa Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, biasanya tak pernah sepi pada akhir pekan. Namun Sabtu-Minggu kemarin pantai tersebut kosong melompong.
Kafe-kafe tutup, wisatawan tak ada, dan jalan masuk menuju pantai tersebut diblokir warga dengan ranting-ranting pohon. “Sudah ditutup,” kata seorang pria bertopi di tepi jalan saat Rappler hendak masuk ke pantai, Minggu 11 Desember 2016.
Pantai Manohara sejatinya bernama pantai Meuraksa atau pantai Meureudu. Nama Manohara muncul bersaman dengan pemberitaan kisruh rumah tangga Manohara Odelia Pinot dengan Teungku Muhammad Fakhry Petra, putra mahkota Kerajaan Klantan, Malaysia.
Saat itu, memanfaatkan momentum ketenaran Manohara, seorang pemilik kafe di pantai tersebut mencomot nama Manohara untuk dijadikan nama kafenya. Sejak itu pantai ini lebih dikenal dengan nama Pantai Manohara.
Rada Rabu pagi 7 Desember lalu, gempa 6,5 SR menghantam Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Ratusan rumah toko dan rumah hancur berantakkan. 101 orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya cedera.
Namun kafe-kafe di bibir Pantai Manohara yang terbuat dari kayu tetap berdiri. Padahal Pantai Manohara merupakan daratan yang paling dekat dengan pusat gempa, yakni 18 kilometer dari timur laut Manohara.
Meski begitu, gempa tetap meninggalkan jejak di sini: tanah terbelah di beberapa titik dan lubang sedalam sekitar satu meter memanjang hingga beberapa meter. Namun bukan kerusakan ini yang membuat akses menuju Pantai Manohara ditutup warga.
“Karena selama ini, pantai Manohara jadi tempat pasangan nonmuhrim berduaan,” kata salah seorang warga. Ia menganggap perbuatan maksiat para pengunjung pantai sebagai penyebab datangnya gempa. “Berduaan saja, kalau bukan muhrim sudah salah.”
Aparatur desa akan menggelar rapat untuk membahas nasib Pantai Manohara. Sejumlah warga menginginkan pantai itu ditutup selamanya. Artinya tak akan ada lagi wisatawan yang bisa menikmati moleknya Pantai Manohara.
Ini, tentu saja, akan berimbas pada kafe-kafe yang bediri di tepi pantai. Padahal dalam sehari seorang pemilik kafe bisa mengantongi Rp 100-150 ribu. “Cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari,” kata seorang pemilk kafe, M Jakfar.
Jakfar berharap, kalaupun pantai Manohara ditutup, bangunan kafenya jangan dibongkar. Sebab bangunan itu bisa dimanfaatkan untuk kandang ternak. “Kami nanti bisa berternak di sana,” kata Jakfar. —Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.