Sepekan Gempa Aceh: Derita pengungsi yang nyaris kehilangan jari

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sepekan Gempa Aceh: Derita pengungsi yang nyaris kehilangan jari
"Di posko ini, hanya nasi dari dapur umum yang kami dapatkan."

PIDIE JAYA, Indonesia – Gempa telah sepekan berlalu, namun awan mendung masih membayangi wajah Sumiyati Abubakar. Wanita berusia 50 tahun itu sedang duduk termenung di bawah tenda pengungsian ketika Rappler menghampirinya pada Rabu, 14 Desember 2016.

“Saat gempa saya tengah tertidur, belum terlalu nyenyak,” kata Sumiyati menceritakan pengalamannya saat gempa 6,5 SR menggoyang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pada Rabu 7 Desember lalu.

Gempa, kata Sumiyati, terjadi pada pukul 05.00 wib. Goncangan yang dahsyat selama sekitar 10 detik itu kemudian meruntuhkan rumahnya. Satu bagian dinding yang terbuat dari batako jatuh menimpa jari tengah tangannya. Punggungnya juga ikut tertimpa reruntuhan.

Beruntung ia tak tertimbun puing. Sumiyati berhasil menyelamatkan diri, begitu pula tujuh anggota keluarganya. Namun jari tengahnya terluka, nyaris putus. “Saya menarik tangan kanan dari reruntuhan. Saat itu saya tidak tahu tangan saya terluka, karena listrik padam, suasana menjadi gelap,” Sumiyati menuturkan.

Kini jari tengahnya dibebat kain putih. Kondisi tersebut, kata Sumiyati, membuatnya kesulitan jika harus membuat kue. Sebelum gempa, Sumiyati memang mencari nafkah dengan membuat kue. Kue-kue tersebut ia titipkan di warung-warung sekitar. Menjelang siang, baru ia berkebun.

Kini, sepekan setelah gempa, Sumiyati masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. Ia lebih banyak duduk-duduk di tenda pengungsian yang berdiri di halaman masjid Jami’ Nur Abdullah, Desa Baro Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Di tenda pengungsian ini ada 200 kepala keluarga tinggal bersamanya. Tenda ini hanya satu dari 14 titik pengungsi yang tersebar di Kabupaten Pidie Jaya. Total ada 83.838 orang yang sampai saat ini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.

Mereka bertahan di tenda, selain karena rumah mereka hancur, juga karena masih trauma. Gempa susulan pun masih kerap terjadi, membuat warga yang mengungsi semakin takut untuk kembali ke rumah mereka.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa sebelumnya mengatakan akan segera membangun hunian sementara dan penyaluran jatah hidup bagi korban gempa. Namun bantuan baru bisa diberikan setelah masa darurat berakhir. “Setelah masa darurat baru terungkap korban gempa secara riil,” kata Khofifah.

Sementara untuk untuk korban yang dirawat di rumah sakit, saat ini masih ada 86 pasien di RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli. Jumlah ini sudah berkurang jauh dari sebelumnya 400 pasien. Sebanyak 59 dari 86 pasien yang dirawat tersebut harus menjalani operasi karena mengalami patah tulang setelah tertimpa reruntuhan bangunan.

“Para korban ditangani langsung oleh dokter ahli dari berbagai rumah sakit. Obat masih mencukupi untuk saat ini,” kata Direktur RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli, drg Mohm Riza Faisal.

Sumiyati sepertinya tak memeriksakan jari tengahnya ke rumah sakit. Jari tengah tersebut terlihat sedikit membengkak meski telah dibebat dengan secarik kain putih. 

Setelah enam hari tinggal di tenda, ia merindukan tempat tidur, selimut, dan kelambu. “Tapi hingga kini, saya belum menerima bantuan apapun. Di posko ini, hanya nasi dari dapur umum yang kami dapatkan,” katanya.

Sumiyati lalu beranjak saat jam makan siang tiba. Ia, bersama para pengungsi lain, menuju dapur umum untuk mengambil makanan. Raut kesedihan masih tercetak jelas di wajahnya. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!