Merevisi KUHP, mengaburkan batasan hukum dan moralitas

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merevisi KUHP, mengaburkan batasan hukum dan moralitas
Persoalan penting seperti prostitusi anak justru tak dicantumkan. Malah membeberkan pasal berbasis moral dengna penafsiran yang kabur.

JAKARTA, Indonesia — Rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah bergulir sejak lama. Namun, hingga saat ini fraksi-fraksi partai masih belum satu suara, terutama dalam Bab XIV tentang Kesusilaan.

Beruntung belum ada kesepakatan tercapai, sebab Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang hukum, menilai ada masalah yang harus diperhatikan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan salah satu masalahnya adalah pasal perluasan perzinaan.

“Zina tetap seperti sekarang karena fokusnya melindungi lembaga perkawinan. Kalau diluaskan, jadi tidak jelas tujuannya,” kata Anggara dalam sebuah forum diskusi di Jakarta pada Kamis, 15 Desember.

Dalam revisi yang dibahas, ada perluasan makna untuk Pasal 484 dan 488. Dalam naskah revisi, pasal ini tidak hanya dikenakan bagi individu yang sudah terikat perkawinan, melainkan mereka yang masih lajang dan belum menikah.

Tak hanya itu, tindak zina ini juga bisa dilaporkan oleh pihak ketiga, yang membuatnya rawan dikriminalisasi. “Saya melihat ini mengakomodasi kepentingan agama tertentu,” ujar Anggara.

Kontrasepsi

Salah satu pasal lain yang dirasa aneh adalah tentang kontrasepsi yang tertuang pada Pasal 481-483. “Sudah 20 tahun lebih tak digunakan, kenapa masih ada juga?” kata Anggara.

Keberadaan pasal ini menurutnya sudah tak relevan lagi, terutama karena pemerintah tengah gencar mengampanyekan program Keluarga Berencana (KB). Anggara mengatakan, keberadaan Pasal 481 revisi KUHP ini kontraproduktif terhadap program tersebut.

Dalam pasal tersebut tertulis, “Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan atau secara terang-terangan dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak sesuai kategori I”.

Dalam rancangan KUHP, ketentuan ancaman pidana kategori I termasuk dalam tindak pidana ringan, berupa sanksi denda sebesar Rp 10 juta.

“Saat ini kan justru banyak masyarakat dan LSM yang lantang mengampanyekan kontrasepsi. Mereka tidak berlisensi. Ini yang rawan dilaporkan dan dikriminalisasi,” kata Anggara.

Prostitusi anak

Sementara itu, Koordinator End Child Prostitution, Child Pornography, & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, Rio Hendra, mempertanyakan mengapa prostitusi anak tidak masuk dalam RKHUP tersebut. Padahal, kondisi saat ini menunjukkan gentingnya perlindungan terhadap anak dan penindakan pelanggan bisnis hitam tersebut.

“Ini berbeda dengan perdagangan anak. Kalau yang itu memang sudah diatur,” kata Rio. Prostitusi anak, lanjutnya, adalah hubungan seksual dengan anak di bawah umur yang disertai dengan pemberian imbalan.

Ia juga mendesak pemerintah segera membuat instrumen kebijakan untuk menjerat pembeli prostitusi anak. Hukum yang ada selama ini hanya menjerat penjual.

Padahal, sanksi terhadap pembeli sudah tercantum dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Namun, saat diratifikasi, kata “pembeli” tersebut malah hilang.

“Ini nanti akan kami audiensikan dengan Kemenlu [Kementerian Luar Negeri] dan Kementerian PPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak] juga,” ujar Rio. Menurutnya, bila tidak segera diurus, maka pemerintah dan DPR sama saja acuh bahkan melanggengkan praktek ini.

Pembengkakkan biaya

Selain persoalan kaburnya batas antara moralitas dan tujuan dari dibuatnya pasal pidana, ada masalah teknis lain, yaitu pembengkakkan anggaran.

“Kalau pasal pidana ditambah, tidak dipertimbangkan bagaimana nanti harus menambah rutan, lapas, dan lain-lain,” kata Anggara.

Ia juga mengkritik pemerintah yang jarang memberikan rincian dan perhitungan jelas soal biaya yang dibutuhkan bagi narapidana. Saat pengajuan pun, angka yang diberikan masih terhitung makro, tidak menyentuh detil.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menjabarkan masalah dari segi kewenangan negara. Menurutnya, lewat revisi KUHP, ada perluasan wewenang lebih hingga ke ranah pribadi warganya.

“Kita bisa melihat bagaimana negara memperluas kekuasan dan kewenangannya dalam menetapkan suatu perbuatan menjadi kriminal,” kata Miko.

Upaya masuknya negara dalam berbagai ranah ini justru berlawanan dengan semangat reformasi. Ketimbang mengubah dan membebaskan, negara justru semakin mengekang perilaku warganya lewat penambahan pasal pidana.

Total, sejak era Reformasi, ada 1.601 tindak pidana yang tercatat. Beberapa bahkan tidak jelas penafsirannya, subjektif, dan cenderung “karet”.

“Penciptaan pasal tindak pidana baru dirumuskan tidak jelas. Terlalu luas dengan penafsiran luas atau pasal karet. dan kita semua terancam,” kata Miko.

Menurutnya, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dalam menetapkan suatu tindakan sebagai pidana. Setidaknya, ada indikator yang harus diperhatikan yakni:

  1. Apakah memang dianggap tidak terpuji oleh masyarakat kolektif, bukan kalangan tertentu saja
  2. Apakah delik ini bisa dicegah atau ditanggulangi dengan menjadikannya perbuatan pidana
  3. Kalau jadi pidana apakah bisa diterapkan secara efektif

“Tidak semua tindakan tak terpuji adalah pidana,” kata Miko. Ia mengatakan, pemerintah bisa mengupayakan pendekatan lain seperti edukasi. Tindak pidana adalah langkah terakhir saat yang lainnya tak berhasil.

Persoalan zina

Sebelumnya, pada Rabu, 14 Desember, terjadi perdebatan soal revisi pada pasal perzinaan. Suara anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP terpecah antara supaya pasal ini dihapus, atau tetap dipertahankan.

Anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi Golkar, Adies Kadir, mengatakan poin ini menyebutkan frasa “perkawinan sah”.

“Ada yang sah secara agama dan adat. Kita khawatir nanti akan over kriminalisasi terhadap perkawinan adat dan lainnya. Kalau Golkar, [pasal itu] hapus,” kata Adies dalam forum diskusi yang sama.

Sementara, permintaan pasal agar tetap diberlakukan, salah satunya datang dari Arsul Sani, anggota Panja dari Fraksi PPP. Menurutnya, perumus pasal ini mempertimbangkan kepentingan umat islam.

Perbedaan pendapat ini membuat Panja menunda pembahasan materi zina. “Nanti kita laporkan ke komisi. Poin ini ditunda karena tiga fraksi ingin dihapus dan tujuh fraksi tetap. Ini sensitif. Menyangkut publik,” kata Ketua Panja RUU KUHP, Benny K. Harman.

Pada waktu yang sama, tengah berlangsung uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan niatan serupa: memperluas zina, perkosaan, dan hubungan homoseksual.

Saat ditanyakan apakah hasil MK akan mempengaruhi putusan Panja, Anggara mengatakan tidak. “Terlepas dari MK, dan meski ditunda, kami yakin [delik zina] pada akhirnya akan disetujui,” katanya.

Anggara tak membantah saat ditanyakan apakah pembahasan RKUHP maupun uji materi tersebut menjadi pertanda Indonesia semakin menuju arah konservatif. “Urusannya jadi melulu soal moralitas, tujuannya kabur dan abstrak,” kata dia.

Seberapa kaburkah batasan antara hukum dan moralitas, juga agama dan politik di negeri ini?—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!