Memahami rasisme anti-Cina di Indonesia

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memahami rasisme anti-Cina di Indonesia
Ada kelompok tertentu yang mencoba memanaskan isu anti-Cina secara konstan.

JAKARTA, Indonesia — Rasisme adalah satu masalah universal yang menjangkiti seluruh negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari masalah ini, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa.

Kasus dugaan penistaan agama yang disangkutpautkan dengan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama membuat sentimen anti-Cina kembali ramai digaungkan. Tindakan yang dilakukan pejabat keturunan etnis Tionghoa ini seolah menjadi medium bagi kaum rasis untuk menyalurkan kebenciannya.

Meski demikian, Direktur Eksekutif dan Peneliti Utama Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, mengatakan bahwa sebenarnya kelompok rasis ini berjumlah kecil.

“Selama 15 tahun, sikap intoleransi terhadap etnis Tionghoa kecil, hanya sekitar 0,8 persen dengan margin error 3 persen,” kata Saiful dalam diskusi “Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina?” pada Kamis, 29 Desember, di Jakarta.

Hasil tersebut ia dapatkan dari penelitian selama 2001 hingga 2016. Menurut survei tersebut, kelompok yang paling dibenci adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); diikuti oleh warga lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sisanya merata antara Yahudi, Wahabi, dan etnis Tionghoa.

Karena itu, Saiful menilai kebencian terhadap warga turunan Tionghoa bukanlah sesuatu yang bersifat masif. Menurutnya, ada kelompok tertentu yang mencoba memanaskan isu ini secara konstan.

Hal ini terlihat dari kasus Ahok. Faktor pertama, gerakan sosial anti-Tionghoa muncul ketika kelompok tertentu melihat bahwa pejabat yang berkuasa tidak sesuai harapan, sehingga perlu menggerakkan massa untuk membuat opini buruk.

Selanjutnya, kelompok yang sama memobilisasi massa untuk bergerak menunjukkan penolakan. Terakhir, dilakukan penyebaran doktrin dan opini kolektif terhadap warga turunan.

“Ada ide, semangat, sentimen, jargon, ajaran, doktrin yang memberi makna, dan menarik orang hingga terbentuk solidaritas kolektif, dan bahkan membentuk semacam identitas sosial baru,” kata Saiful.

Dalam politik, pemanfaatan isu rasial sangat umum digunakan. Seperti contohnya, dalam pemilu Amerika Serikat hingga Perancis.

Dalam kasus Ahok, motif serupa juga terjadi. “FPI cs. yang membawa framing double minority dan klaim penistaan agama Islam, temannya bertambah banyak ketika kontestasi politik nyata di DKI terjadi,” kata Saiful.

FPI, lanjutnya, memang sudah tidak menyukai Ahok sejak ia berlaga sebagai calon wakil gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Hanya saja, ketika itu protes mereka kecil dan tidak terdengar.

Saat ini berbeda. Rival Ahok dan gerbong pendukungnya dalam Pilkada DKI membuat framing itu membesar. Bagi mereka, bukan lagi kasus penistaan agama, tetapi bagaimana bisa mengalahkan Ahok.

“Jadi bukan massa, tapi kelompok tertentu dan diakomodasi oleh media,” kata Saiful. Karena itu, ia menyimpulkan membesarnya sikap anti-Tionghoa belakangan bukanlah refleksi keseluruhan warga Indonesia.

Konstruksi sejarah

Sentimen rasial terhadap warga turunan Tionghoa bukanlah cerita baru. Sejak zaman penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi kasus intoleransi terus berulang.

Pakar Studi Cina dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Thung Ju Lan mengatakan bentrok antara pribumi dan kaum Tionghoa sudah berlangsung lama. Sebut saja sejak 1926.

Dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), orang Tionghoa disebut sebagai warga negara kelas 2, bersama dengan golongan orang timur asing. Sementara warga inlander atau pribumi masuk sebagai warga negara kelas 3.

“Ada proses reduksi sejarah yang justru menampilkan sisi negatif warga keturunan Tionghoa,” kata Ju Lan. Misalnya, perbedaan kelas yang rupanya turunan dari pemerintah kolonial Belanda, yang mengesankan ke-eksklusif-an dan superioritas.

Belum lagi klaim tanpa data statistik yang mengesankan orang keturunan Tionghoa kaya dan mendominasi perekonomian Indonesia. “Ada yang pernah menyebut 75 persen pada era Orde Baru, tetapi tidak dijelaskan berapa total aset Indonesia sebenarnya,” katanya.

Padahal, lanjut Ju Lan, ada pula warga turunan Tionghoa yang miskin seperti Cina Singkawang dan Cina Benteng.

Konflik antara pribumi dan warga turunan seringkali terjadi antar kelas, seperti kelas bawah dan kelas menengah. Namun, umumnya terjadi antara sesama kelas menengah.

“Ada kelas menengah yang masih belum mapan dan rentan jatuh di bawah garis kemiskinan,” katanya. Dengan kondisi tersebut, tak jarang muncul rasa iri hati melihat warga turunan yang mungkin hidupnya lebih sukses dan mapan.

Orang-orang ini menganggap warga turunan tersebut seolah “mencuri” atau “mengambil” lahan mereka. “Dari sini lalu menyebar ke warga turunan lainnya, padahal dasarnya, ya, kebencian antar kelas saja,” kata Ju Lan.

Provokasi berita bohong

Pergerakan massa dan konflik antarkelas yang mendalam tentu tak akan bertambah panas tanpa berita bohong. Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto menampilkan pengamatannya atas isu “10 juta tenaga asing Cina”.

“Sebenarnya ini adalah pelintiran dari berita target wisatawan mancanegara Kementerian Pariwisata,” kata Ignatius. Sebelumnya, Kementerian Pariwisata memang menargetkan 10 juta turis dari Tiongkok hingga 2020 mendatang.

Namun, oleh situs berita palsu, angka tersebut dikonsepkan menjadi tenaga kerja asing. Biasanya, kata dia, berita seperti ini dibumbui judul yang provokatif dan menghebohkan.

 


“Artikelnya sebenarnya berbentuk opini, atau bersumber tidak kredibel,” kata Ignatius. Misalkan, hanya dari cuitan pendengung di media sosial hingga menjiplak tulisan dari media lain.

Menurutnya, seharusnya masyarakat tidak langsung percaya dan ikut menyebarkan berita bohong seperti ini. Salah satu caranya adalah dengan mengonfirmasi ke media yang kredibel.

“Kalau tidak ada media lain yang menulis, artinya berita itu belum tentu benar,” ujarnya.

Pendidikan masif

Selain mencegah penyebaran berita palsu, Ju Lan melihat pentingnya pendidikan toleransi. “Kalau memilih tenaga pendidik, harus yang berkapabilitas. Jangan yang tidak mengerti konteks, sejarah, dan turut menyebarkan kebencian,” katanya.

Tindakan serupa juga harus diterapkan pada pejabat politik. Sebagai figur publik, sikap mereka akan ditiru oleh masyarakat.

Untuk memperkuat upaya peredaman kebencian ini, Saiful menilai perlu ada kebijakan yang komprehensif. Seperti misalkan, Presiden RI ke-4 Abdurrahman “Gus Dur” Wahid yang mencabut aturan diskriminatif Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Lalu, Gus Dur juga menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari raya, yang tentu merupakan batu loncatan luar biasa terhadap penghapusan diskriminasi.

“Solusi intoleransi bukan meminta masyarakat toleran, tetapi paling sistematik adalah pembenahan hukum dan law enforcement,” kata dia. Polisi dan aparat berwenang harus tegas menindak kaum intoleran, dengan dukungan konstitusional.

Sebab, persoalan intoleransi bukanlah sekadar sentimen sosial, melainkan persoalan elit dengan motif politik di belakangnya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!