Menata Jakarta ramah perempuan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menata Jakarta ramah perempuan

EPA

Harapan ini melingkupi berbagai aspek seperti perekonomian, pendidikan, hingga pembentukan kebijakan.

 

JAKARTA, Indonesia — Perempuan Peduli Kota Jakarta (PPKJ) menyuarakan harapan mereka supaya Jakarta menjadi kota yang semakin ramah bagi perempuan. Harapan ini melingkupi berbagai aspek seperti perekonomian, pendidikan, hingga pembentukan kebijakan.

“Yang disuarakan kami bersama adalah tetap konsisten menyuarakan persoalan perempuan yang harus direspons dalam langkah kebijakan di Jakarta,” kata perwakilan PPKJ, Rita Serena Kolibonso, saat membacakan pernyataan di Jakarta, Senin, 2 Januari.

PPKJ menilai, saat ini Jakarta sudah banyak berubah, menjadi lebih baik bagi perempuan.

PPKJ yang juga merupakan bagian dari penndukung calon gubernur DKI Jakarta nomor 2, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, menjabarkan perubahan apa saja yang mereka rasakan.

Anggota PPKJ lainnya, Saparinah Sadli, mengatakan, ada 8 program unggulan ramah perempuan yang telah dikerjakan Ahok.

Pertama, dalam bidang kesehatan adalah diedarkannya Kartu Jakarta Sehat (KJS). Selain itu, DKI Jakarta juga merupakan provinsi percontohan bagi program vaksinasi kanker serviks gratis dari Kementerian Kesehatan.

“Ini dibarengi juga dengan fasilitas gratis biaya melahirkan,” kata Saparinah. Angka kematian ibu (AKI) di Jakarta juga menurun, yaitu pada angka 98 per 100 ribu orang; jauh di bawah rata-rata AKI nasional.

Dalam bidang pendidikan, ibu-ibu dipermudah dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dengan besaran anggara Rp 2,5 triliun. Para pemegang KJP mendapatkan subsidi pangan dan bantuan transportasi.

“Tentu saja bantuan ini sangat meringankan beban masyarakat utamanya perempuan, karena membuka kesempatan belajar lebih banyak kepada semua anak,” kata Saparinah.

Ahok juga telah menganggarkan Rp2,7 triliun untuk Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul. Lewat program ini, mahasiswa akan mendapatkan bantuan sebesar Rp18 juta per tahun di perguruan tinggi negeri.

Selama pembangunannya pun, Ahok rutin membangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Hingga saat ini, sudah ada 188 RPTRA tersebar di seluruh DKI Jakarta.

“Di ruang publik generasi muda dan tua bertemu, anak punya tempat bermain dan orang tua mengawasi anak sambil berinteraksi dengan tetangga,” kata Saparinah.

Selain menumbuhkan rasa saling peduli, cara ini dinilai dapat menjadi landasan menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak karena ruang terbuka dapat diawasi.

Ahok dan pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, berencana untuk mengembangkan fasilitas ramah perempuan bila mereka kembali terpilih pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satu rencananya adalah membangun kliniik di pasar-pasar tradisional.

“Mereka sambil menunggu dagangannya di pasar bisa memeriksakan diri ke klinik yang ada di pasar. Termasuk setelah ada KJS ini hampir tidak ada lagi masalah biaya,” kata Ahok saat berkampanye di Rumah Lembang, Jakarta Pusat, pada Desember 2016 lalu.

Sebelumnya, Ahok juga pernah meresmikan bus TransJakarta khusus perempuan sebagai tanggapan atas maraknya pelecehan di transportasi umum.

Apakah sudah cukup?

Dengan semua perubahan yang telah dibawa Ahok dan Djarot, maupun gubernur-gubernur sebelumnya, apakah Jakarta sudah dapat dikatakan sebagai kota yang ramah perempuan?

Mia Olivia, yang sudah 31 tahun mendiami ibu kota, mengakui adanya perubahan. “Untuk ramah terhadap perempuan ada beberapa yang baik seperti pengadaan ruang laktasi, meski belum di semua tempat,” katanya kepada Rappler, Senin.

Meski demikian, lanjut Mia, masih ada banyak masalah lain yang harus diperhatikan. Seperti keamanan perempuan di transportasi umum hingga jalan raya.

Warga DKI lainnya, Afina Nurul Faizah, juga memiliki pandangan sama dengan Mia. Ia masih belum merasa aman selama setahun menjajal ibu kota.

“Aku enggak bisa bilang lebih ramah perempuan, ya. Bagiku Jakarta masih sama dengan kota-kota yang pernah aku tinggali. Susah bagi perempuan untuk jalan enggak diganggu,” kata Afina.

Tak hanya itu, ia juga terkejut saat melihat di kota megapolitan ini, masih ada jalan yang gelap tak diterangi lampu jalan. Afina menemui daerah seperti ini di sekitar Taman Langsat dan Jalan Haji Syaip, Jakarta Selatan.

“Kalaupun ada, jumlahnya sangat kurang. Jadinya berpikir dua kali untuk jalan,” ujarnya.

Baik Afina dan Mia berharap gubernur Jakarta yang selanjutnya, siapapun dia, berani bersuara untuk keamanan kaum perempuan. Seperti, menindak tegas pelaku pelecehan seksual di tempat umum maupun transportasi publik.

“Mungkin, gubernur harus terlibat juga dengan beberapa aktivis perempuan, ada banyak kok,” kata Afina. Kebijakan berupa peraturan gubernur tentu diperlukan.

Sebagai kepala daerah, tentu akan sangat efektif jika ia berani bersuara mendukung kaum perempuan. Misalnya, mengatakan kalau menyiuli atau memanggil perempuan di jalan itu tak sopan.

Di luar ini, masih ada setumpuk tugas lain seperti pemberdayaan ekonomi perempuan. Terutama bagi warga relokasi yang kehilangan mata pencaharian, dan harus bersusah payah di tempat barunya.

Survei Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuliskan, hampir setengah perempuan korban relokasi juga merupakan tulang punggung keluarga. Mereka harus berhadapan dengan lapangan pekerjaan hilang hingga meningkatnya biaya hidup di rusunawa.

Terkait hal ini, Rita yang juga aktif bergelut di sektor Hak Asasi manusia (HAM), mengatakan gubernur perlu menaruh perhatian. “Harus dibantu peningkatan sumber daya dan ekonominya,” kata Rita.

Salah satu contohnya adalah dengan menciptakan lapangan kerja baru bagi mereka, sebagai kompensasi sumber mata pencaharian yang hilang sewaktu relokasi.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!