Menkominfo Rudiantara: Info viral soal ‘big data cyber security’ itu hoax

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menkominfo Rudiantara: Info viral soal ‘big data cyber security’ itu hoax
Pemerintah mempercepat pembentukan Badan Siber Nasional untuk proteksi kegiatan siber

JAKARTA, Indonesia – Isu bahwa pemerintah akan memonitor percakapan pribadi melalui aplikasi teknologi dibantah oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara. 

“Tidak benar. Itu isu yang beredar tahun 2015. Kemkominfo sudah merespon pada Oktober 2015,” kata Rudiantara kepada Rappler, Jumat, 7 Januari 2017.

Setahun lalu memang beredar viral informasi yang mengatakan bahwa Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) akan mengambil seluruh informasi melalui internet Indonesia. Kegiatan ini dilakukan melalui sistem Big Data Cyber Security (BDCS).

“Artinya segala percakapan kita di cyber social media [WhatsApp, BBM, Telegram, Line, SMS dll], akan masuk secara otomatis ke BDCS,” demikian info viral tersebut. Disebutkan juga polisi internet akan menelusuri sumber pengirim berita yang sensitif, yang berkaitan dengan misalnya isu SARA, gambar-gambar pemimpin negara, dan lambang negara untuk bahan kartun, guyon, dan lelucon.

Kemkominfo membantah informasi adanya sistem Big Data Cyber Security dan cybercrime police itu.

“Kami tegaskan informasi yang viral tersebut adalah hoax,” demikian keterangan resmi Kemkominfo, yang hari ini digarisbawahi kembali oleh Menteri Rudiantara.

Berikut 8 hal yang disampaikan Kemkominfo terkait viral info Big Data Cyber Security:

  1. Informasi tersebut merupakan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau merupakan informasi hoax.
  2. Kemkominfo telah berkoordinasi baik secara internal maupun dengan instansi lain untuk mengonfirmasi hal ini dan fakta yang ada menegaskan bahwa sistem sebagaimana dimaksudkan dalam hoax tersebut tidak diterapkan pada instansi pemerintah di Indonesia.
  3. Teknologi Big Data merupakan teknologi pengolah data yang telah umum diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat ini, termasuk di Indonesia; baik untuk kepentingan korporasi maupun pemerintahan. Teknologi ini, pada dasarnya, dimaksudkan untuk memampukan pengolahan data dari berbagai sumber dengan efektif dan efisien. Akan tetapi, penerapan teknologi big data disertai pembatasan-pembatasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka melindungi hak asasi warga negara.
  4. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur perlindungan data atau informasi dan pembatasan penggunaannya, antara lain dalam UU ITE, UU Telekomunikasi, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya. Oleh karena itu, penerapan teknologi big data juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang dimaksud.  
  5. Pada prinsipnya, pengawasan terhadap aktivitas seseorang di internet dapat melanggar hak konstitusi warga negara khususnya mengenai privasi dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi. Perlindungan terhadap privasi, dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi merupakan bagian penting dari pengembangan demokrasi dan selaras dengan instrumen internasional.
  6. Indonesia menjunjung tinggi penegakan hak asasi manusia melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, penerapan sistem informasi yang dapat melanggar hak asasi manusia akan dilakukan assessment yang komprehensif untuk memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
  7. Dalam perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya intersepsi atau penyadapan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tetap menjaga dan menghormati hak asasi manusia.
  8. Masyarakat diharapkan tidak terpengaruh terhadap informasi yang menyesatkan tersebut.

Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa pemantauan percakapan tidak dilakukan ke semua pengguna aplikasi teknologi komunikasi sebagaimana dimaksud dalam info viral yang hoax itu.  

“Polisi hanya memonitor yang ada kaitan kejahatan yang penyidik selidiki,” ujar Boy ketika dikontak Rappler, Jumat.  

Boy menanggapi pertanyaan Rappler tentang kekhawatiran bahwa pemerintah mengintervensi ranah privasi ketika masuk memonitor percakapan pribadi antar pengguna aplikasi percakapan berbasis teknologi informasi.

Dalam melacak terduga pelaku teror, polisi memang berhasil menangkap jejaring pelaku kejahatan ini setelah memonitor percakapan melalui aplikasi teknologi informasi, termasuk Telegram.

Pemerintah percepat Badan Siber Nasional

Isu viral Big Data Cyber Security dan cyber police kembali muncul setelah pemerintah mengumumkan akan mempercepat pembentukan Badan Siber Nasional (BSN). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menggelar rapat koordinasi terbatas tingkat menteri menjelang sidang kabinet paripurna dipimpin oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Rabu, awal pekan ini, 4 Januari.

Rapat koordinasi Menko Polkam  dihadiri  12 kementerian bidang politik, hukum, dan keamanan membahas program-program pemerintah yang akan dijalankan pada 2017. Salah satu program yang akan dilakukan pada 2017 adalah mempercepat pembentukan BSN.

Menurut Wiranto, Presiden telah memerintahkan pembentukan BSN untuk memproteksi kegiatan siber secara nasional.  

“Pemerintah membutuhkan satu lembaga yang akan memayungi seluruh kegiatan siber nasional untuk menekan maraknya penyebaran berita hoax, meningkatkan pertahanan keamanan, dan menertibkan perdagangan elektronik,” kata Wiranto.

Pembentukan BSN, kata Wiranto, rencananya akan direalisasikan pada Januari 2017.

BSN akan mengkoordinasikan badan cyber defense yang ada di Kementerian Pertahanan, cyber intelligence di Badan Intelijen Negara (BIN), dan cyber security di Kepolisian RI.

Belakangan, dalam sejumlah kesempatan, Jokowi mengeluhkan tentang beredarnya informasi di media sosial yang cenderung mengolok-olok sesama warga. Kemkominfo juga telah memblokir situs yang dituding bermuatan SARA.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pihaknya sudah merekrut 50 ahli teknologi informasi untuk bekerja di Badan Siber Nasional.  

“Kita sudah sekolahkan 50 orang S2 itu ahli IT yang hebat-hebat,” ujar Ryamizard, pada Kamis, 5 Januari.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu mengaku, nantinya 50 tenaga ahli IT itu akan disekolahkan dan mengikuti pelatihan selama enam bulan. “Karena mereka akan pegang rahasia negara,” kata Ryamizard. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!