Sanksi ringan penyebab maraknya perdagangan satwa liar

Bima Satria Putra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sanksi ringan penyebab maraknya perdagangan satwa liar
Rata-rata pelaku perdagangan satwa liar hanya dihukum 1-10 bulan penjara

JAKARTA, Indonesia — Program Manager Wildlife Crime Unit, Dwi Adhiasto, mengatakan maraknya perdagangan satwa liar di Indonesia karena sanksi kepada pelaku tidak cukup membuat jera pelaku.

“Ketika masyarakat berpikir dirinya akan menghadapi konsekuensi hukum jika memelihara satwa dilindungi, maka efek jera akan muncul,” kata Dwi dalam diskusi ‘Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia’ di Grand Cemara Hotel Jakarta, Rabu 11 Januari 2017.

Dwi mengatakan selama ini efek jera tak muncul karena vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku perdagangan satwa liar rata-rata hanya 1-10 bulan penjara dengan denda 11-50 juta rupiah.

Vonis tersebut jauh di bawah hukuman maksimal yang terdapat pada Undang-undang 5/1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam UU tersebut, pelaku bisa dikenai hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Rendahnya hukuman inilah yang membuat pelaku kerap kembali menjual satwa liar setelah masa hukuman mereka berakhir. Dwi memperkirakan 20% dari pelaku yang melakukan perdagangan satwa liar masih melakukan kejahatan serupa. 

Bahkan ada di antara mereka yang melakukannya dengan modus baru, yakni melalui media online. Dengan modus baru ini, pelaku bisa dengan mudah menyamarkan identitas aslinya. 

Banyaknya residivis kambuhan ini antara lain juga karena resiko yang mereka terima jika tertangkap lebih rendah dari keuntungan yang bisa mereka keruk dari penjualan satwa liar.  —Rappler.com

Baca juga:

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!