Pengalaman mereka mengenang Wiji Thukul

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Marissa Anita, Melanie Subono berbagi cara pendalaman karakter, hingga menghidupkannya dalam adegan-adegan 'Istirahatlah Kata-Kata'

Aktris Marissa Anita berperan sebagai Sipon, istri aktivis Wiji Thukul, dalam film 'Istirahatlah Kata-Kata'. Screenshot dari trailer di YouTube

JAKARTA, Indonesia — Para pemain film biografi aktivis Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata, memiliki cerita masing-masing sebelum maupun sesudah syuting. Mereka tak segan berbagi cara pendalaman karakter, hingga menghidupkannya dalam adegan-adegan.

Sutradara Yosep Anggi Noen memang memiliki kriteria khusus saat memilih para pemain.

“Aktor yang saya pilih sangat menguasai ruang. Kalau hanya mengandalkan raut muka akan fail,” kata Anggie saat menggelar konferensi pers di Jakarta pada Senin, 16 Januari.

Film yang mengangkat kisah hidup Si Penyair Pelo ini akan mulai tayang di bioskop pada Kamis, 19 Januari.

Bagi Anggi, pemilihan aktor yang salah tak akan membuat film berhasil. Ia sendiri memang mengandalkan pengambilan gambar jarak jauh. Sehingga, aktor yang hanya mengandalkan raut wajah akan kesulitan menyampaikan makna.

Dalam film ini, sebagian besar pemain memiliki latar belakang teater, seperti Gunawan Maryanto yang beken dengan Teater Garasi; Marissa Anita dari The Jakarta Players; dan Eduwart Boang Manalu dari Teater Populer.

Pemain yang tak bersinggungan dengan dunia akting mungkin hanya musisi Melanie Subono.

Lantas, bagaimanakah kisah para pemain ini dalam proses produksi Istirahatlah Kata-Kata?

Marissa Anita

MARISSA ANITA. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Awalnya, Marissa dihubungi Anggi lantaran kepiawaiannya berbahasa Jawa.

“Waktu itu ada WA (pesan WhatsApp) dari Anggi yang nanya, ‘Kamu bisa Bahasa Jawa?’” kata perempuan yang juga sempat berkiprah di dunia jurnalistik ini.

Setelah Marissa menjawab pertanyaan tersebut, Anggi kemudian mengajak ia ikut terlibat. Namun, bukan sebagai Siti Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji. Melainkan peran kecil sebagai tetangganya.

Ia lantas menyambut tawaran tersebut. Proses latihan pun dimulai. Hal pertama yang disoroti Anggi adalah cara berjalan Marissa yang memiliki kesan penduduk kota yang kental.

“Aku jadi belajar dari pengalaman nenek, karena nenek besar di kampung. Saya besar di kota, jadi referensi yang saya ingat dari kecil di kampung nenek saya,” kata Marissa. Ia pun menghidupkan kembali kenangan bermain di perkampungan Surabaya tersebut.

Ia mengingat bagaimana cara setiap orang berinteraksi, hingga hal-hal terkecil seperti masakan apa yang dibuat hari itu. “Saya hidupkan kembali,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga berkonsultasi soal logat daerah dengan Gunawan Maryanto, pemeran Wiji Thukul, yang menjadi lawan mainnya. Logat Jawa Timur, yang dikenalnya tentu berbeda dengan logat Sipon yang berasal dari Solo, Jawa Tengah.

Meski demikian, bukan berarti ia meniru Sipon habis-habisan. Anggi berpesan supaya ia tidak menjiplak, karena mereka berdua adalah individu yang berbeda.

“Secara fisik, kan, juga sudah beda banget. Kata Anggi aku jangan meniru, tapi menginterpretasi,” akunya.

Dari nasihat tersebut, Marissa pun mulai meriset berbagai literatur tentang Sipon dan Wiji. Dari situlah ia menerka-nerka perempuan seperti apakah yang ingin ditampilkannya. Selama itu pula ia sama sekali tidak menemui perempuan yang diperankannya.

“Aku tidak pernah ketemu Bu Pon,” kata Marissa.

Setelah menuntaskan syuting, ia mengatakan Sipon adalah sosok perempuan yang luar biasa kuat. Kepedihan dan kesedihan yang ditampilkannya dalam film hanya sebagian kecil dari apa yang dirasakan Sipon.

“Makanya aku tidak kepedean, tidak bilang peranku sudah sempurna,” ujarnya. Ia sendiri mengaku kerap merasa emosional dalam syuting.

Salah satu adegan yang berkesan baginya adalah adegan penutup antara Wiji dan Sipon. Dalam menghadapi buncahan amarah dan kegaluan istrinya, Wiji hanya bisa diam tak berbuat apa-apa.

“Adegan ini juga panjang, 10 menit!” kata Marissa. Ia sendiri enggan membeberkan langsung apa yang diucapkan saat itu karena takut membocorkan isi film. Namun, kata kuncinya adalah “muleh”, atau pulang dalam Bahasa Jawa.

Anggi sendiri sejak awal memang sudah berniat memberikan peran Sipon pada Marissa. “Dia itu cerdas, dan tahu memanfaatkan ruang,” kata Anggi.

Melanie Subono

MELANIE SUBONO. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Keluarga Wiji Thukul bukanlah sosok yang asing bagi Melanie, yang juga merupakan seorang aktivis kemanusiaan. Ia mengenal baik Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani, dua anak Wiji. Bahkan, Melanie bekerja di organisasi yang sama dengan adik sang aktivis, Wahyu Susilo.

“Awalnya diajak mereka,” kata Melanie. Ajakan tersebut bahkan tak berupa pertanyaan, tetapi pernyataan.

“Melanie, kita mau bikin film soal Wiji, kamu terlibat ya,” kata anak promotor musik Adrie Subono ini, mengulang ajakan yang disampaikan. Pertama oleh Fajar lewat telepon, lalu Fitri lewat aplikasi chatting, dan terakhir oleh Wahyu saat mereka bertemu di kantor.

Setelahnya, Melanie pun bertemu dengan tim produser untuk memperoleh gambaran lebih jelas. Ia tak mengetahui siapa Anggi, karena film memang bukan dunia yang digelutinya.

Kesibukan sebagai seorang musisi juga membuat Melanie tidak rutin mengikuti pembacaan naskah. Dari 4 kali, ia hanya datang sekali. Ia juga jarang bertemu langsung dengan Ida, perempuan yang diperankannya.

“Itu hanya lewat video. Ketemu langsung juga sekali,” kata Melanie. Namun, peran ini tak sulit dilakukannya lantaran kemiripan karakter. Ida bukan perempuan yang benar-benar feminin, mirip dengan sifat Melanie.

Satu-satunya perbedaan yang ia rasakan adalah pengetahuan soal Wiji. Ida, istri Martin Siregar yang merupakan sesama aktivis, justru tidak tahu siapa orang asing yang ditampung di rumahnya. Sedangkan Melanie, sangat mengenal siapa itu Wiji.

Meski demikian, tidak sulit bagi Melanie untuk berakting tidak tahu di film tersebut. “Soalnya semua, ya interpretasi gue sendiri juga,” katanya.

Bagi Melanie, pengalamannya selama produksi Istirahatlah Kata-Kata sangat menarik. Cara ini, lanjut dia, bisa menjadi jalan tersendiri untuk memperjuangkan hak asasi manusia.

Ia mengaku tak keberatan bila diminta bermain film dengan genre serupa. “Rasanya kayak menelan kata-kata gue sendiri dulu, kalau tidak mau main film,” akunya.

Bila film ini kelak berhasil menggerakkan kembali proses hukum Wiji maupun aktivis lainnya yang mandek, menurut Melanie hal tersebut sangat luar biasa. Baginya, sudah cukup kalau anak-anak muda akhirnya mengenal siapa itu Wiji setelah menonton Istirahatlah Kata-Kata.

“Kan, sekarang banyak anak-anak muda yang suka pakai kaos Che Guevara. Harusnya mereka tahu ada tokoh seperti itu dari Indonesia,” katanya.

Eduwart Boang Manalu

Sewaktu diajak main dalam film Istirahatlah Kata-Kata, Edo mengaku tidak tahu sama sekali siapa itu Wiji Thukul. Ia baru meriset setelah setuju untuk berperan.

“Saya tidak tahu sama sekali, cuma tahu waktu 1998 itu dilarang keluar saja sama orangtua,” kata Edo.

Untuk pendalaman karakter, selain meriset, Edo juga meminta dipertemukan langsung dengan Martin Siregar, tokoh yang ia perankan dalam film. Pria berdarah Batak ini adalah aktivis yang menampung Wiji selama melarikan diri ke Pontianak.

Kesan pertama yang didapatkan Edo adalah, Martin sosok yang rendah hati. “Juga tidak macam-macam saat menampung Wiji. Orangnya asyik, lah,” kata dia.

Film biografi Wiji Thukul berjudul Istirahatlah Kata-Kata akan tayang serentak di bioskop-bioskop 15 kota mulai Kamis,19 Januari.

Penonton dapat menyaksikan saat-saat Wiji melarikan ke Pontianak, Kalimantan Barat, sejak ditetapkan sebagai buronan pada 27 Juli 1996.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!