Mengenal karakter pemilih di Pilkada DKI Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal karakter pemilih di Pilkada DKI Jakarta

ANTARA FOTO

Ada yang memilih berdasarkan penampilan, kesamaan karakter, hingga visi-misi dan program kerja.

JAKARTA, Indonesia — Setiap orang memiliki alasan berbeda-beda untuk menentukan pilihan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan umum (pemilu). Ada yang memilih berdasarkan penampilan, kesamaan karakter, hingga visi-misi dan program kerja.

Pengamat politik Hanta Yuda membeberkan soal 3 jenis pemilih berdasarkan preferensinya. “Ada pemilih rasional yang memilih berdasarkan kinerja, visi misi, dan program,” kata Hanta di Jakarta pada Kamis, 19 Januari.

Setelah itu, ada juga pemilih psikologis yang melihat dari penampilan, sopan santun, hingga tingkah laku kandidat calon. Mereka tak terlalu memusingkan hal-hal teknis seperti pengalaman, maupun program yang ditawarkan.

Tipe ketiga adalah pemilih sosiologis, atau yang mengutamakan kesamaan karakter dengan kandidatnya. Faktor yang melingkupi adalah kesamaan agama, daerah asal, maupun pandangan.

Para pemilih di Jakarta

Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Institute ini, karakter pemilih 3 kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2017 terpetakan dalam kategori tersebut. Setiap kandidat memiliki keunggulan di setiap tipe.

Seperti misalkan, calon nomor 1 Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, yang mayoritas pendukungnya bersifat psikologis. Dalam survei Poltracking yang dirilis pada Kamis ini, tertulis salah satu poin yang disukai pemilih dari Agus adalah ketampanannya.

“Ia disebut ganteng, juga santun,” kata Hanta. Sedangkan, poin-poin lain seperti program tidak terlalu signifikan.

Untuk pemilih rasional, sebagian besar mendukung pasangan nomor 2, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Selain menawarkan program kerja dan visi-misi yang terukur, keduanya juga diuntungkan faktor kepuasan.

“Tak dapat dipungkiri, kepuasan masyarakat atas kinerja petahana terbukti tinggi,” katanya. Menurut Hanta, pemilih rasional memang menjadi sumber kekuatan Ahok-Djarot di Pilkada kali ini.

Pasangan nomor 3, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, justru didukung kelompok sosiologis. Menurut Hanta, strategi kampanye mereka juga memang menyasar kelompok ini.

Pertama, adalah dari cara Anies bertutur, hingga berpakaian. Anies selalu menggunakan retorika dan bahasa keagamaan. Pakaiannya pun merujuk pada kaum tertentu, yang berbaju putih dan berkopiah.

“Kita lihat dia ingin merepresentasikan bagian dari kelompok sosiologis itu,” ujarnya. Untuk Jakarta sendiri, isu sosial yang paling kuat adalah agama.

Hanta menilai Anies cukup sukses dengan strateginya telrihat dari tren elektabilitasnya yang melonjak hingga 8 persen. Pada survei November lalu, ia hanya mengantongi angka 20 persen; untuk Januari 2017, elektabilitasnya 28 persen.

Meski demikian, Hanta menekankan kalau tidak semua tipe pemilih lantas berkumpul di satu calon tertentu. “Bukan berarti semua pemilih rasional lantas memilih Pak Basuki,” kata dia.

Perebutan suara

Karakteristik ini penting untuk menentukan cara kampanye macam apa yang dapat menarik hati mereka. Survei Poltracking menunjukkan masih ada 12,9% pemilih yang belum menentukan pasangan calon mana yang akan mereka pilih.

Selain itu, tidak semua pendukung menyatakan akan konsisten dengan pilihannya hingga Hari-H pada 15 Februari mendatang. Pemilih galau ini berjumlah sekitar 27 persen.

“Para calon masih harus bekerja keras untuk mengambil suara dari ceruk ini,” kata Hanta. Hal tersebut dianggap akan menguntungkan, melihat selisih tren elektabilitas antar calon cenderung tipis.

Meski demikian, ia menilai adanya kesulitan bagi Ahok-Djarot untuk mengambil suara dari pemilih tipe sosiologis. Apalagi setelah ada kasus dugaan penodaan agama yang menjerat Ahok.

Berdasarkan tren survei, Hanta menemukan Ahok akan kesulitan di putaran kedua. “Soalnya irisan pendukung 1 dan 2 itu tipis sekali. Sementara 3 ada di tengah-tengah,” kata dia.

Ia menjelaskan, seandainya salah satu dari Agus dan Anies lolos ke putaran kedua dan berhadapan dengan Ahok, maka pendukung mereka akan saling berpindah. Kemungkinan kecil bagi Ahok-Djarot untuk mendapatkan limpahan suara dari salah satu kandidat yang gugur.

Bila memanfaatkan momen debat paslon, justru Anies yang diuntungkan. Kendati penguasaan masalahnya berada di bawah Ahok, namun penguasaan panggung dan cara berkomunikasinya sangat tinggi.

Meski demikian, Hanta mengatakan kalau hal ini bukan berarti hasil Pilkada sudah dapat ditentukan. Tren masih dapat terus berubah, apalagi untuk putaran kedua, yang bila dilaksanakan memiliki jeda hampir 3 bulan dari putaran pertama.

Apalagi, setiap pemilih bukan terpatri pada satu tipe saja. Ada yang saling beririsan, seperti rasional dan psikologis, sehingga pilihan bisa saja berubah tergantung pendekatan dari paslon.

Atas hasil survei ini, juru bicara tim sukses Ahok-Djarot, Maruarar Sirait, menyatakan kepercayaannya terhadap penduduk Jakarta. “Saya yakin pemilih di Jakarta cerdas. Basuki-Djarot sudah teruji,” kata dia.

Sementara itu, perwakilan timses Anies-Sandi, Riza Patria dari Partai Gerindra, meyakinkan calonnya akan unggul lewat debat. “Debat punya pengaruh, masih ada dua lagi. Tidak mesti dalam ilmunya, tapi bagaimana menguasai forum,” kata Riza.

Menurut dia, penting bagi seorang pemimpin untuk santun dan berintegritas. Soal penguasaan isu dan permasalahan kota, bisa cepat dipelajari.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo mengatakan temuan atas Agus-Sylvi menjadi vitamin pahit bagi timsesnya. “Kami diingatkan harus ada kejutan saat kampanye. Tidak boleh lengah, nanti akan ada kejutan-kejutan baru,” kata dia.

Jadi, tipe pemilih apakah kamu?—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!