Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, istri Wiji Thukul menagih janji Jokowi

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sipon bertahan hidup dari menjahit baju. Anak sulung Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani, mengenang masa-masa indah bersama ayahnya

Demonstran menunjukan stiker Wiji Thukul saat gelar Aksi Kamisan di Surabaya, Jawa Timur, pada 19 Januari 2017. Foto oleh Zabur Karuru/Antara  SOLO, Indonesia — Mata Dyah Sujirah selalu berkaca-kaca jika mulai berkisah tentang suaminya, Wiji Thukul. Perasaan perempuan yang akrab dipanggil Sipon itu campur aduk usai menyaksikan film Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude) besutan sineas muda berbakat asal Yogyakarta, Yosep Anggi Noen.

Jika saja bukan musikalisasi puisi Bunga dan Tembok garapan anak bungsunya, Fajar Merah, yang menjadi penutup film itu, Sipon mungkin sudah tak berdaya. Lagu-lagu Fajar dan bandnya, Merah Bercerita, inilah yang selalu menjadi penguat hati Sipon untuk menjalani hidup tanpa seorang suami. 

Entah untuk berapa kalinya luka lama itu kembali menganga ketika ingatan tentang suaminya yang hilang dibuka lagi dan diceritakan ulang lewat layar perak. Persis tergambar dalam film, perasaan Sipon terhadap suaminya yang sulit dijelaskan pada saat Thukul harus meninggalkannya dan kedua anaknya yang masih kecil. 

Sipon terjebak dilema, tak ingin suaminya pergi, tetapi juga tak ingin suaminya pulang. Ia hanya ingin Thukul tetap hidup.

“Berat, saya harus menghidupi dua anak yang masih kecil. Tetapi, saya tak ingin suami pulang dan ditangkap tentara,” ujar Sipon mengenang, kepada Rappler pada Senin, 23 Januari.

Thukul harus bersembunyi, berpindah-pindah kota, karena menjadi buronan tentara. Puisi-puisi perlawanan dan demonstrasi yang ia gawangi dianggap penguasa Orde Baru sebagai ancaman serius.

Sipon bertahan di Kampung Kalangan, sebuah daerah padat penduduk di bagian timur Kota Solo yang dulu selalu dimata-matai tentara. Ia bertahan hidup dari menjahit baju dan utang karena suaminya tak pernah pulang. 

Meski reka ulang peristiwa itu mengaduk-aduk emosinya, Sipon melihat sesuatu yang positif di balik film yang minim kata-kata itu. Ia tak lagi berkawan sunyi dengan bait-bait puisi karya sang suami. Kini, Sipon merasa banyak orang lain peduli dan bersimpati dengan perjuangan Thukul yang dulu selalu dituduh sebagai penyair kiri.

Karya Anggi yang dinobatkan sebagai film Asia terbaik dan menyabet Golden Hanoman Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2016 itu, menurut Sipon, akan membangkitkan ingatan publik tentang pembungkaman suara dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi di penghujung rezim Orde Baru. 

Thukul, penyair cadel yang juga pembela kaum buruh di Solo, menjadi korban kekerasan negara dan hingga kini tak pernah diketahui rimbanya, apakah masih hidup atau sudah mati.

Sipon yakin film Istirahatlah Kata-Kata ini akan menjadi perekam sebuah penggalan sejarah kelam yang bisa diceritakan kepada anak cucu agar kasus serupa tidak terulang di masa depan, di mana (aparat) negara menculik dan menghilangkan warga negaranya sendiri.

“Cukup kami saja yang mengalaminya. Jangan ada lagi Wiji Thukul lainnya,” kata Sipon.

Sipon berharap film yang sudah berkeliling dan diputar di berbagai festival film dunia ini – Locarno, Busan, Hamburg, dan Rotterdam – bisa membuka mata dunia tentang peristiwa pemberangusan kritik. 

Lewat film itu, Sipon juga menagih janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo – yang juga menyukai puisi-puisi Thukul. Mantan Wali Kota Solo itu pernah berjanji akan mencari dan menemukan Thukul hidup atau mati.

Mimpi tinggal bersama ayah yang tak pernah terwujud

Sipon, menerima pesanan jahitan setelah suaminya, Wiji Thukul, hilang. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Sementara, anak sulung Sipon, Fitri Nganthi Wani, menyebut Istirahatlah Kata-Kata sebagai film dengan keheningan yang penuh makna, yang menggambarkan betapa rezim diktator militer sangat serius membungkam kata, unsur terkecil dari bahasa.

“Ini film tentang perjuangan peradaban. Sejarah akan mencatat. Para pecinta sastra, sejarah, dan aktivis wajib nonton film yang artistik ini,” kata Wani.

Tidak seperti Fajar Merah yang masih balita, Wani ditinggal ditinggal Thukul saat usia 8 tahun dan sudah punya ingatan lengkap tentang sosok ayahnya. Namanya adalah pemberian sang ayah sendiri yang berarti “kesucian menggandeng keberanian”.

Wani punya kenangan manis pada masa pelarian ayahnya. Akhir Desember 1997, Thukul sempat mengobati kerinduan anak-anaknya. Wani diajak Sipon, sambil menggendong Fajar, naik kereta Prambanan Ekspres dari Solo ke Stasiun Tugu.

Betapa gembiranya Wani berjumpa ayahnya di Yogyakarta, setelah sekian lama tak melihat wajahnya. Wani tak mengerti mengapa ayahnya menuruti semua keinginannya hari itu, jalan-jalan dan jajan di Malioboro.

“Bapak membelikan jajan banyak sekali. ‘Mengko duitmu entek lho (nanti uangmu habis lho) Pak’, kataku, tetapi bapak malah tersenyum. Bapakku orang paling baik sedunia hari itu, aku dimanja,” kenang Wani.

Ia juga masih ingat bagaimana Thukul membawa anak-anak pergi wisata ke Kaliurang, lereng selatan Merapi, dan menginap di sana. Ia merasakan kebahagiaan anak yang mendapat curahan kasih sayang seorang ayah.

“Bahkan saat aku mengompol di penginapan, tetapi bapak tak memarahiku,” kata Wani.

Mereka lalu kembali ke Yogyakarta. Thukul mengantarkan Sipon ke Stasiun Tugu. Betapa kagetnya Wani saat tahu ayahnya hanya berdiri di peron dan membiarkan istri dan anak-anaknya masuk ke gerbang penumpang.

Wani menangis dan meronta ketika kereta mulai bergerak menuju Solo tanpa ayahnya. Wajah ayahnya tersenyum di luar jendela kereta sambil melambaikan tangan. Sipon mencegah Wani agar tidak berlari keluar dan terus berusaha menenangkannya.

Wani seketika merasa hatinya remuk, setelah dua hari kebahagiannya bersama ayahnya dicabut paksa oleh perpisahan lagi. Mimpinya tinggal bersama ayahnya tak pernah terwujud. Ia belum cukup paham mengapa ayahnya tak mau pulang bersama keluarga. 

Ketika beranjak dewasa, Wani tahu dan menemukan alasan mengapa dulu ayahnya meninggalkannya. Ia mengerti bahwa bapaknya adalah seorang martir perjuangan sebuah zaman melawan sang tiran. Dan, sejak itu, di tengah kerinduan pada ayahnya, tersimpan kebanggaan dan kekaguman. 

Wani ikut menggemakan lagi puisi-puisi ayahnya bersama Fajar Merah. Dan, malam ini, 24 Januari, rencananya mereka akan menggelar ‘Ngamen Puisi Istirahatlah Kata-Kata’ di Taman Ismail Marzuki Jakarta. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!