Empat hal mengenai Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi yang terlibat kasus suap

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Patrialis ditunjuk sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi secara langsung oleh Presiden SBY. Penunjukkan itu menuai kontroversi dan protes dari publik.

TANGKAP TANGAN. Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar terjaring kasus OTT oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada Rabu, 25 Januari. Foto oleh Puspa Perwitasari/ANTARA

JAKARTA, Indonesia – Nama institusi Mahkamah Konstitusi (MK) kembali tercoreng usai salah satu hakimnya, Patrialis Akbar terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) uang suap pada Rabu, 25 Januari. Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu tertangkap tangan dalam kasus uji materi Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang memang menjadi kewenangan institusinya.

Menurut penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Patrialis tertangkap di pusat perbelanjaan Grand Indonesia ketika tengah bersama seorang perempuan. Walaupun belum memberikan keterangan resmi, namun Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat sudah meminta maaf kepada publik. Lantaran, ini menjadi kasus tangkap tangan kedua yang terjadi di MK setelah Akil Mochtar.

Berikut empat hal penting mengenai Patrialis Akbar yang perlu kalian ketahui:

1. Lahir dari keluarga veteran

Patrialis lahir pada tanggal 31 Oktober 1958 di Padang, Sumatera Barat. Dia lahir dari keluarga berkecukupan dan veteran militer. Usai lulus STM, Patrialis memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Dia sempat menekuni profesi pengacara selama beberapa saat lalu memutuskan terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Karier Patrialis semakin cemerlang di dunia politik dengan menduduki posisi sebagai anggota DPR dua periode yakni tahun 1999-2004 dan 2004-2009 dari daerah pemilihan Sumatera Barat.

2. Dipilih SBY jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

Patrialis Akbar dilantik sebagai hakim Mahkamah Konstitusi pada periode 2013 – 2018. Namanya muncul setelah ditunjuk oleh SBY.

Penunjukkannya pun sempat menuai kontroversi karena dia ditunjuk tidak melalui proses uji seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi, pemerintah saat itu bersikukuh tetap menunjuk Patrialis walau diprotes publik.

“Ini wakil pemerintah di Mahkamah Konstitusi, maka hak pemerintah yang menentukan,” tutur Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan Djoko Suyanto ketika itu seperti dikutip media.

3. Pernah menjabat Menteri Hukum dan HAM

Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Patrialis pernah menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ke-28. Dia menjabat pada periode 22 Oktober 2009 hingga 19 Oktober 2011.

Ketika menjabat sebagai Menkum HAM, kinerja Patrialis sempat dipuji oleh Wapres Boediono. Dalam sebuah acara pelatihan notaris yang digelar tahun 2010 lalu, Boediono mengatakan Patrialis membuat banyak gebrakan.

“Saya tidak akan berikan pujian yang terlalu banyak, tapi ini benar-benar suatu surprise bagi kita semua. Saya senang mendengar langkah dan jurus-jurus baru Menkum HAM,” ujar Boediono seperti dikutip media.

Pengakuan itu juga diberikan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI). Gebrakan itu di antaranya mengenai paspor gratis untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI), penggantian sisiminbakum yang akhirnya dikelola negara, visa on arrival di pesawat dan memperpendek proses perizinan dari satu bulan menjadi tujuh hari.

4. Lantang menentang kasus perzinahan

Patrialis Akbar turut menangani kasus pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) hingga ayat (5) yang digagas oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). Dalam gugatannya, mereka ingin mengubah pasal terkait tindak perzinahan tidak hanya berlaku untuk pasangan yang sudah menikah, namun juga berlaku bagi pasangan yang belum menikah dan homoseksual.

Di saat sebagian pihak termasuk Komisi Nasional Perempuan dan Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) menentang ide itu, Patrialis terlihat justru mendukung gagasan AILA. Dia memandang zina yang dilakukan dasar suka sama suka dan tidak dikenakan pidana justru banyak merugikan perempuan.

“Justru eksploitasi perempuan atau kejahatan terhadap perempuan itu banyak sekali diakibatkan oleh perzinahan yang semula suka sama suka,” ujar Patrialis dalam sidang tanggal 30 Agustus 2016.

Patrialis memberikan contoh pola yang sering terjadi di masyarakat, yakni tindakan zina atas dasar suka sama suka diawali dengan rayuan pada perempuan. Tindakan tersebut berlanjut pada zina dan terkadang, jika pria tak bertanggung jawab, akan berakhir pada pembunuhan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!