Atas nama perempuan mereka akan beraksi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Atas nama perempuan mereka akan beraksi
Dalam kesempatan ini, turut hadir pula aktivitas perempuan lintas bidang yang menjelaskan isu genting apa saja yang harus menjadi perhatian pemerintah.

JAKARTA, Indonesia – Para aktivis perempuan akan melaksanakan Women’s March di Jakarta pada Sabtu, 4 Maret.

Kegiatan yang digagas oleh 33 organisasi ini merupakan upaya untuk menyadarkan pemerintah tentang pentingnya isu perempuan, terutama hak-hak mereka.

“Juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu perempuan,” kata Ketua Women’s March Jakarta Olin Monteiro saat konferensi pers di kawasan Cikini, pada Kamis, 2 Maret.

(BACA: Melawan pelecehan di jalanan bersama Hollaback! Jakarta)

Dalam Women’s March ini pun akan disampaikan 8 tuntutan yang melingkupi berbagai bidang. Mulai dari menuntut toleransi dan keberagaman; menghapus kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap perempuan; penyamaan hak di berbagai bidang; hingga menghapus diskriminasi kepada minoritas.

Dalam kesempatan ini, turut hadir pula aktivitas perempuan lintas bidang yang menjelaskan isu genting apa saja yang harus menjadi perhatian pemerintah.

Hukum dan toleransi

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Naila Rizqi Zakiah, menyampaikan posisi perempuan dari sisi hukum dan toleransi.

Ia memperhatikan kini tengah bermunculan kelompok intoleran yang hendak memaksakan sebuah standar moral berbasis satu agama tertentu, di lingkungan Indonesia yang beragam.

“Standar ini juga dicoba untuk diinternalisasi ke dalam struktur hukum dan kebijakan kita yang menghasilkan peraturan-peraturan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas,” kata Naila.

Salah satu yang masih berjalan adalah uji materi (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) KUHP di Mahkamah Konstitusi yang hendak memperluas pengertian pasal zina, perkosaan, dan kriminalisasi hubungan sesama jenis. Naila mengatakan upaya yang diajukan sebuah kelompok yang menamakan diri Aliansi Cinta Keluarga (AILA) ini menunjukkan upaya penolakkan pada keberagaman.

Bila permohonan ini dikabulkan, ujarnya, akan ada begitu banyak orang yang terancam. Tak hanya pasangan yang melakukan hubungan seks konsensual—baik heteroseksual maupun homoseksual—tetapi juga para penganut aliran kepercayaan. Hingga saat ini, Komnas Perempuan mencatat ada 2 juta pernikahan yang tak tercatat secara administrasi.

(BACA: Apakah zina urusan pribadi, agama, atau negara?)

Hukum turunan seperti Peraturan Daerah (Perda) juga masih cukup banyak yang diskriminatif. Jumlahnya mencapai 421 kebijakan yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa di antaranya seperti qanun di Aceh, aturan jam malam di Padang, juga kriminalisasi pekerja seks dan homoseksual di Palembang.

Menurut Naila, pemerintah harus selalu mempertimbangkan toleransi dan keberagaman sebelum mengeluarkan suatu kebijakan.

“Dalam konteks hukum, tidak bisa mencampurkan satu moral dan menjadikannya hukum. Kita sangat beragam dan punya banyak nilai moral dan budaya,” katanya.

Pendidikan

Deputi Program KAPAL Perempuan Budhis Utami menyoroti rendahnya pendidikan yang diperoleh mayoritas kaum perempuan. Hal ini pun berpengaruh pada keterbatasan pekerjaan yang dapat mereka peroleh.

Data KAPAL Perempuan menyebutkan, hanya 60 persen perempuan Indonesia yang memperoleh pendidikan. Keterbatasan kemampuan ini membuat mereka lari bekerja di sektor domestik, seperti menjadi buruh migran, atau tidak bekerja sama sekali.

“Pendidikan sangat berpengaruh terhadap perempuan,” kata Budhis. Keterbatasan ini juga membuat perempuan menjadi kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan.

Salah satunya adalah karena ketergantungan pada suami. Para perempuan ini berada pada posisi tidak berdaya dan terpaksa mengikuti apapun kemauan suaminya meski bertentangan dengan keinginannya sendiri. Budhis menyoroti poligami sebagai salah satu bentuk kekerasan yang dapat dialami perempuan.

“Pendidikan alternatif penting untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan merupakan bentuk perlindungan kekerasan terhadap perempuan,” katanya.

Buruh migran

Meski berjumlah besar dan merupakan pahlawan devisa, pemerintah cenderung mengabaikan nasib dan keselamatan para buruh migran Indonesia (BMI), utamanya kaum perempuan.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mencontohkan 11 perjanjian yang diteken Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud dalam kunjungan yang bersangkutan ke Jakarta beberapa hari lalu.

“Tidak ada satu poin pun yang membahas mengenai perlindungan terhadap perempuan buruh migran Indonesia,” kata diaAnis Padahal, di Arab Saudi ada 1,5 juta BMI yang rentan disiksa ataupun dijatuhi hukuman mati.

Selain itu, dari 13 perjanjian yang diteken Indonesia dengan berbagai negara lainnya, tidak ada yang menguntungkan para buruh migran. Padahal, menurut Anis, merekalah garda terdepan dalam menafkahi keluarganya.

Banyak juga yang kemudian menjadi korban perdagangan manusia ataupun ditipu sindikat narkoba. Saat ini, 89 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang adalah yang terlibat kasus tersebut, di mana sebagian besarnya lebih layak disebut korban.

Sebut saja Merri Utami dan warga negara Filipina, Mary Jane Veloso, yang saat ini masih was-was apakah akan dihukum mati atau tidak. Padahal, Anis mengatakan, mereka adalah korban penipuan dari pemain lain yang lebih besar.

(BACA: Mendengarkan suara-suara buruh migran yang tak lagi terpendam)

Mendekati Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret, ia pun mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan kebijakan yang melindungi para BMI.

“[Dengan] mengesahkan undang-undang tentang buruh migran dan meratifikasi konvensi ILO tentang buruh,” kata Anis.

Selain itu, pemerintah harus lebih aktif lagi dalam hal mendidik sebelum diberangkatkan. Anis mengatakan, pengetahuan akan hak-hak perempuan dapat membantu menghindari hal yang tak diinginkan.

“Misalnya, kesehatan reproduksi dan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Pernikahan anak

Selain itu, pernikahan anak di bawah usia 18 tahun bukanlah sesuatu yang tak lazim di Indonesia. Namun, dampaknya sangat besar.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari mengatakan, pada 2016 saja tercatat ada 750 ribu pernikahan anak terjadi. Beberapa di antaranya bahkan baru berusia 11-15 tahun.

“Bayangkan anak 12 tahun sudah nikah, bisa apa dia?” kata Dian.

Akibatnya, para korban pernikahan anak ini kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan atau merintis karir sehingga berakhir menjadi BMI, pekerja seks, atau tenaga kerja domestik.

(BACA: Penyesalan Rukayah, mantan pelaku perkawinan anak di NTB)

Sayang, MK dan Kementerian Agama enggan mengubah tren ini. Alasan mereka, adalah paham fundamentalisme, budaya, dan kepentingan politik.

“Orangtua cepat-cepat mengawinkan anak supaya lepas dari kemiskinan. Untuk kepentingan politik, seseorang bisa memberikan suara jika sudah 17 tahun atau sudah kawin sehingga gampang dimobilisasi,” kata Dian.

Dampaknya, keterwakilan perempuan di bidang lain—seperti pemerintahan—pun berkurang. Sejak Reformasi, angka keterlibatan perempuan di dunia politik masih rendah. “Bahkan trennya menunjukkan kondisi yang lebih buruk dari sebelum reformasi,” kata Dian.

Selain rendahnya pendidikan dan tertutupnya kesempatan karena pernikahan di usia belia, ia menyoroti upaya dari sisi hukum. Salah satunya adalah proses revisi pemilihan legislatif. Dalam pertemuan dengan DPR, Dian mengatakan ada partai yang mengusulkan supaya prosesnya menjadi tertutup.

Cara ini rentan disalahgunakan, karena pemilih hanya melihat nama calon di depan tempat pemungutan suara (TPS); bukan di kertas suara. Selain rentan didominasi lelaki, ada juga potensi nepotisme yang besar.

“Pemilihan dengan sistem tertutup diminati partai-partai besar. Memperjuangkan keterwakilan perempuan di kepengurusan parpol, masih sulit,” katanya.

Lingkungan

Direktur Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura mengatakan, bagi perempuan, lingkungan sama dengan kehidupan. Ketika lingkungan hancur, demikian juga kehidupan mereka.

“Di salah satu desa di Lombok Barat, sangat terlihat bagaimana alih fungsi lahan yang dikelola oleh perempuan menjadi perumahan. Perempuan kemudian menjadi buruh migran. Perkawinan anak juga semakin tinggi,” katanya.

Selain itu, pembangunan infrastruktur juga berpengaruh. Sayangnya, setiap keputusan perubahan lingkungan maupun pembangunan hanya melibatkan kepala keluarga; yang didominasi laki-laki.

Transpuan dan minoritas

Aksi Sabtu ini akan dimeriahkan juga oleh para transpuan—atau biasa disebut waria— dan perwakilan kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).

“Perempuan bukan hanya orang yang terlahir dengan vagina. Jika ia mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, maka dia adalah perempuan,” kata perwakilan Sanggar SWARA, Kanza Vina.

Transpuan dan LGBT lebih terpinggirkan daripada perempuan karena stigma sosial yang sering dicapkan pada mereka. Tingkat kekerasan yang dialami pun tinggi, dan tanpa penyelesaian yang baik.

(BACA: Saya diejek dan dipukuli hanya karena menjadi gay)

“Ada waria yang dibunuh tapi polisi tidak berusaha mencari pelakunya secara maksimal,” kata Kanza. Bahkan, tak jarang kekerasan juga mereka dapatkan dari keluarga sendiri.

Karena termarjinalkan, hak-hak mereka sering tak terpenuhi. Jangankan keamanan, hal sederhana seperti pendidikan pun sulit. Data SWARA menyebutkan, hanya 40 persen waria terdaftar yang mendapat pendidikan SMA. Keterbatasan pendidikan ini lagi yang membuat mereka jatuh di dunia pelacuran.

Pada aksi mendatang, Vina dan 20 orang anggota SWARA lainnya akan melakukan aksi Kebaya Berdarah untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat akan hak-hak mereka.

Berkelanjutan

Seluruh aspirasi ini akan dituangkan dalam bentuk surat dan diberikan ke instansi pemerintah terkait. Setelah aksi pun, perjuangan belum berhenti.

Organisasi penggagas merencanakan kegiatan rutin seperti diskusi tentang isu perempuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Mereka juga akan menerbitkan buku panduan tentang masalah perempuan.

Women’s March Jakarta diperkirakan akan diikuti 400 orang dari berbagai latar belakang. Para peserta akan mengenakan baju berwarna ungu atau pink, dan berjalan kaki dari gedung Sarinah ke Istana Negara.

Mereka akan membawa poster bertuliskan slogan feminis yang telah dibuat sebelumnya. Akan ada juga tarian dan nyanyian yang bertemakan pemberdayaan wanita.

Apakah kamu juga tertarik untuk memperjuangkan kesetaraan gender di aksi ini? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!