PTUN batalkan izin tiga pulau reklamasi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

PTUN batalkan izin tiga pulau reklamasi
Ada kekhawatiran menggantung bila pihak tergugat mengajukan banding.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) — Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta atas izin pelaksanaan reklamasi tiga pulau di Teluk Jakarta. Ini merupakan akhir dari sidang gugatan atas Pulau F, I, dan K yang sudah dilayangkan sejak Maret tahun lalu.

“Menyatakan batal SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.485 tahun 2015 tentang izin reklamasi Pulau K,” kata Ketua Majelis Hakim Arif Pratomo di Ruang Sidang Kartika, PTUN Jakarta, Kamis 16 Maret 2017. Keputusan tersebut disambut dengan sorakan syukur dari para nelayan yang hadir secara langsung.

Majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan, yakni karena penerbitan surat izin tersebut dilakukan secara diam-diam; persyarata izin lokasi tak terpenuhi; serta adanya manfaat pembangunan bagi publik dan kerugian yang lebih besar dari keuntungan bagi nelayan.

Meski demikian, majelis hakim menolak Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang termasuk salah satu penggugat. Mereka menemukan adanya masalah dalam struktur organisasi, sehingga tak memenuhi syarat untuk menggugat.

Seluruh gugatan yang dikabulkan adalah dari penggugat 2, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang juga merupakan anggota koalisi serta nelayan.

Atas putusan ini, kuasa hukum Pemprov DKI Jakarta Haratua Purba belum dapat berkomentar. “Majelis hakim kan membacakan pertimbangannya gak terlalu jelas, jadi kami ambil dulu putusan baru kami pelajari,” kata dia saat jeda sidang.

Haratua mengatakan sebagian besar muatan mirip dengan putusan Pulau G yang sudah disidangkan sebelumnya. Meski di PTUN majelis hakim mengabulkan permohonan penggugat, namun putusan tersebut dibatalkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN). Dalam waktu 14 hari setelah putusan, ia mengatakan akan membicarakan apakah akan mengajukan banding atau tidak.

Kuasa hukum tergugat intervensi, Akbar Surya, juga belum memutuskan apakah pihaknya akan mengajukan banding atau tidak. Namun, ia mengatakan keberatan dengan beberapa poin dalam putusan yang disebutkan hakim.

Masalah AMDAL dan dampak

Menurut dia, secara posisi hukum, sebagian penggugat tidak berkepentingan langsung dengan dampak reklamasi yang mereka sebutkan. “Banyak dari penggugat yang tidak berdomisili di Ancol, banyak yang KTP-nya di Angke. Jadi menurut kita, di antara penggugat ini tidak berkepentingan langsung,” kata dia.

Menurut dia pun, alasan AMDAL seharusnya gugur karena pengambang sudah melakukan proses tersebut sesuai prosedur. “Sudah dikerjakan dan dilalui,” kata dia.

Haratua juga keberatan saat disebutkan masyarakat dan penggugat tak terlibat dalam proses sosialisasi proyek reklamasi. Salah satunya, WALHI, rajin mengikuti dari awal sampai akhir.

“(AMDAL) sosialisasi jelas, WALHI ikut, semua kegiatan AMDAL di DKI (Jakarta) WALHI ikut,” kata dia. Karena itu, tak masuk akal jika disebutkan penggugat tak dilibatkan.

Salah satu celah yang dapat dimanfaatkan Pemprov maupun pengembang adalah keterlambatan wakttu pendaftaran gugatan. Menurut mereka, seharusnya gugatan masuk maksimal pada 19 Januari 2016 -atau 90 hari dari waktu penerbitan SK, yakni 22 Oktober 2015. Sedangkan, gugatan baru dilayangkan pada 21 Januari 2016.

Meski demikian, majelis hakim menangguhkan fakta tersebut dan mengatakan kalau gugatan masih masuk dalam tenggat waktu. “Majelis hakim kan (penilaiannya) beda-beda,” kata dia.

Kuasa hukum PT Jakarta Propertindo dan PT Jaladri Kartika Pakci, Aldrien S. Patty, juga menyampaikan hal serupa. Meski belum dapat memastikan akan banding atau tidak, ia melihat ada celah lain yang bisa dimanfaatkan pihak tergugat maupun tergugat intervensi.

“Ya, (legal standing WALHI dan KNTI) itu satu. Tapi juga sosialisasi,” kata dia. Dalam hal ini, lanjutnya, lebih disorotkan pada WALHI.

Menurut dia tak wajar jika organisasi tersebut, sebagai pelapor, mengaku tak tahu soal sosialisasi proyek reklamasi. Mereka termasuk dalam salah satu tim penilaian dari Pemprov, dan tahu semua proses dari awal sampai akhir.

Terkait pertimbangan hakim lain soal tak ada manfaat publik, Aldrien justru kebingungan. Proyek ini, kata dia, adalah bagian dari pembangunan tanggul raksasa NCICD.

“Manfaatnya kan secara nasional, kok dibilang tidak ada kepentingan umum itu bagaimana?” kata dia.

Mengulang Pulau G?

Meski harus menelan tiga kekalahan sekaligus, pihak tergugat tak tampak khawatir. Haratua memprediksi akhir dari seluruh gugatan ini akan sama seperti Pulau G. Di mana Pemprov DKI dan pengembang memenangkan gugatan banding.

Aldrien juga berpendapat kalau seluruh putusan ini cenderung mirip, dan putusan kasasi Pulau G akan menjadi barometer mereka. “Paling (putusan kasasi) keluar bulan-bulan ini, nanti bisa dilihat. Tidak terlalu khawatir lah,” kata dia.

Kuasa hukum koalisi, Tigor Gempita Hutapea juga merasakan kekhawatiran ini. “Ini (banding) yang kita takutkan karena di pengadilan tinggi kan sifatnya tertutup. Kita tidak bisa berargumentasi, kita takut terjadi akrobatik-akrobatik hukum yang dilakukan si majelis,” kata dia.

Ia mengatakan majelis hakim cenderung menafsirkan sendiri, bukan mempertimbangkan dari aspek hukum. Ia mencontohkan kasus putusan Pulau G yang meski gugatan dikabulkan PTUN, namun dibatalkan PTTUN. Saat itu, disebutkan kalau 90 hari batas waktu pengajuan gugatan bermula sejak pembangunan Pulau G dimulai pada tahun 2015. Karena itu, gugatan koalisi dinilai sudah kedaluwarsa.

Melihat adanya potensi kejadisn serupa terulang pada putusan Pulau F, I, dan K ini, mantan pengacara publik LBH Jakarta ini mengatakan sudah menyiapkan argumentasi khusus. “Kami juga akan meminta KY (Komisi Yudisial) untuk mengawal proses pemilihan hakim, karena yang kemarin tidak obyektif,” kata dia.

Sebagai informasi, sidang ini didaftarkan oleh KSTJ yang terdiri dari nelayan dan organisasi masyarakat, dengan pihak tergugat Pemprov DKI Jakarta, pengembang yakni PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, dan PT Jaladri Kartika Pakci.

Gubernur DKI Jakarta yang saati itu dijabat Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama memberikan izin pelaksanaan reklamasi lewat SK Gubernur DKI Nomor 2.268 Tahun 2015 (Pulau F) , SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.269 Tahun 2015 (Pulau I), dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.485 tahun 2015 (Pulau F). -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!