LIVE UPDATES: Sidang mega korupsi KTP Elektronik

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LIVE UPDATES: Sidang mega korupsi KTP Elektronik
Bagaimana perjalanan sidang mega korupsi yang telah merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini?

JAKARTA, Indonesia – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya melimpahkan dakwaan kasus mega korupsi pengadaan KTP Elektronik yang telah merugikan negara hingga mencapai Rp 2,3 triliun. Padahal, anggaran yang diajukan mencapai Rp 5,9 triliun.

Praktik ini menciderai kepercayaan publik yang hingga saat ini ada yang belum mendapat KTP Elektronik tersebut. Alasannya, blanko yang dibutuhkan tidak tersedia.

Sementara, KPK sudah menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tebalnya mencapai 24 ribu halaman. Mereka juga menyebut akan menghadirkan 133 saksi dalam persidangan maraton yang berlangsung selama tiga bulan.

Nama-nama orang yang diduga menerima aliran uang dari proyek KTP Elektronik pun dijanjikan KPK akan ikut dihadirkan untuk dikonfrontir keterangannya. (BACA: Semua hal yang perlu kamu tahu tentang mega korupsi e-KTP) Bagaimana sidang itu berjalan? Simak lini masanya dalan laporan berikut:

14 Agustus 2017

Andi Narogong hadapi sidang perdana

ROMPI TAHANAN. Tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik Andi Agustinus Narogong mengenakan rompi tahanan usai pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 24 Maret. Foto oleh Puspa Perwitasari/ANTARA

Salah satu saksi kunci Andi Agustinus atau yang akrab disebut Andi Narogong digelar pada hari ini. Andi merupakan pengusaha yang diduga sebagai pelaku utama di balik korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik.

Ia ditangkap oleh penyidik KPK pada 23 Maret lalu di kawasan Tebet, Jakara Selatan. Setelah itu, ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Menurut penyidik KPK, Andi diduga pernah melakukan beberapa pertemuan dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri, anggota DPR dan pengusaha lainnya untuk membahas anggaran proyek KTP Elektronik senilai Rp 5,9 triliun. Dalam proyek KTP Elektronik, Andi diketahui mengendalikan konsorsium Perum PNRI yang ditunjuk sebagai perusahaan pelaksana proyek.

Berdasarkan keterangan beberapa saksi dalam sidang Irman dan Sugiharto, menyatakan Andi kerap bolak-balik ke DPR. Salah satu yang sering ditemui adalah Ketua DPR Setya Novanto. Namun, Ketua Umum Partai Golkar itu membantah kerap berbincang dengan Andi, bahkan hingga bertemu di ruang kerjanya.

Apa saja yang nantinya disampaikan Andi? Simak terus pemberitaannya di laman ini.

10 Juli 2017

Absen karena sakit, kuasa hukum bantah terdakwa Irman telah diracun 

MUNTABER. Terdakwa satu, Irman, absen dalam sidang hari Senin, 10 Juli akibat terserang penyakit muntaber. Dia kini dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Foto oleh Indrianto Eko Suwarso/ANTARA

Sidang kasus mega korupsi KTP Elektronik terpaksa ditunda pada hari ini, karena salah satu terdakwa Irman absen lantaran sakit. Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri itu sudah dirawat di RSPAD Gatot Subroto sejak Kamis pekan lalu karena menderita muntaber.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wawan Yunarwanto mengatakan Irman dilarikan ke rumah sakit usai mendapat rekomendasi dari dokter yang bertugas untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Intensitas dia buang air sudah sering, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dokter yang mengobservasi menyatakan dia harus dirawat inap,” ujar Wawan yang ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Irman sebenarnya ingin hadir dalam sesi persidangan hari ini. Tetapi, menurut informasi yang diterima oleh Wawan, rasa perih di lambung membuatnya tidak kuat untuk menghadiri sidang.

Belum diketahui penyebab Irman sampai mengalami diare. Ada indikasi hal itu disebabkan oleh makanan yang diberikan kepada Irman dari luar KPK. Sebab, menurut Wawan, makanan yang diberikan dari KPK kepada para terpidana sangat diseleksi.

“Makanan yang diberikan kepada tahanan KPK akan selalu diseleksi. Sementara, makanan dari luar bisa masuk ke KPK saat waktu kunjungan, bisa saja dibawakan oleh keluarga,” kata dia.

Wawan membantah jika selama ditahan di rutan milik KPK, Irman diberikan makanan yang mencurigakan. Dia menegaskan makanan yang diberikan kepada tahanan KPK selalu dikaji dari segi nutrisi dan porsinya.

Menurut Wawan, ini bukan kali pertama Irman absen karena alasan sakit. Sebelumnya, dia juga pernah dirawat di rumah sakit karena penyakit vertigo.

Sementara, pengacara Irman Soesilo Ariwibowo meminta publik untuk tidak menyimpulkan bahwa Irman diracun sehingga absen dalam persidangan. Dia pun belum mengetahui penyebab kliennya itu bisa terserang penyakit muntaber.

“Saya tidak tahu juga. Jangan bicara diracun dulu. Kita lihat dulu sakitnya apa,” kata Soesilo di tempat yang sama.

Menurut dia, sidang yang semula mengagendakan pembacaan nota pembelaan oleh Irman dan Sugiharto tidak bisa dilakukan secara terpisah, sebab berkas kasusnya sama. Oleh sebab itu, majelis hakim memilih menunda persidangan hingga hari Rabu.

Memang dalam sidang hari ini hanya dihadiri oleh terdakwa dua Sugiharto. Menurut Soesilo nota pembelaan akan dibacakan oleh kedua terdakwa secara terpisah. Tebal nota pembelaan antara 10-17 halaman.

Dalam persidangan sebelumnya, JPU menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan vonis penjara dengan masa hukuman yang berbeda. Irman diharapkan akan dijatuhkan vonis penjara selama tujuh tahun, sedangkan Sugiharto diharapkan bisa mendapat hukuman penjara lima tahun.

Keduanya juga masing-masing dijatuhi denda dengan nominal berbeda. Irman diminta untuk membayar denda Rp 500 juta, sedangkan Sugiharto diharapkan bisa membayar denda sebesar Rp 400 juta.

“Jika keduanya tidak sanggup membayar denda itu, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata JPU KPK Irene Putri. – dengan laporan ANTARA/Rappler.com

22 Juni 2017

Dua terdakwa sidang KTP Elektronik hadapi sidang tuntutan

SIDANG KORUPSI. Terdakwa mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman (kanan) dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto (kedua kanan) menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan eKTP secara nasional tahun 2011-2012 di Pengadilan Tipikor pada Kamis, 9 Maret. Foto oleh Indrianto Eko Suwarso/ANTARA

Dua terdakwa sidang KTP Elektronik Irman dan Sugiharto akan menghadapi sidang tuntutan pada hari ini. Keduanya mengaku pasrah jelang pembacaan tuntutan.

Kuasa hukum keduanya, Soesilo Ariwibowo, mengatakan mereka sudah siap dan pasrah terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Sudah siap, sudah pasrah,” kata Soesilo seperti dikutip media.

Mereka hanya berharap jika jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengabulkan permohonannya untuk menjadi justice collaborator.

Soesilo juga menginginkan majelis hakim akan memutus kasus mega korupsi tersebut seadil mungkin. Apalagi, keduanya dinilai cukup kooperatif selama persidangan.

“Mudah-mudahan perkara ini diadili dengan pasal 3 dan minimal. Karena keduanya sudah terbuka dan mengembalikan uang dan banyak bekerja sama dengan penyidik,” kata dia.

Sejak sidang digelar pada bulan Maret lalu, majelis hakim telah mendengar keterangan dari 111 saksi. Lima orang di antaranya merupakan saksi ahli.

Irman merupakan mantan Direktur Jenderal Kependudukan Sipil Kemendagri, sedangkan Sugiharto pernah menjabat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.

Keduanya didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dalam protek pengadaan KTP Elektronik dalam anggaran 2011-2012. Akibat perbuatan keduanya, negara dirugikan Rp 2,3 triliun.

Dalam persidangan, Jaksa penuntut umum KPK Irene Putri dalam tuntutannya meminta majelis hakim memvonis mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto dengan hukuman lima tahun penjara.

Sementara terdakwa lainnya, yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, dituntut tujuh tahun penjara. Keduanya diduga terlibat dalam korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Selain hukuman penjara, Jaksa Penuntut Umum juga menuntut Sugiharto membayar denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Irman dituntut dengan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

“Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Irman untuk membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura,” kata Jaksa Irene.

Jaksa Irene menilai terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain itu akibat perbuatan mereka juga bersifat masif, karena menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional.

“Dan dampak perbuatan para terdakwa masih dirasakan sampai saat ini dengan banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan e-KTP,” tambah Jaksa Irene.

Selain itu, Jaksa Irene melanjutkan, Irman seharusnya bisa mencegah terjadinya tidak pidana korupsi pada pengadaan KTP Elektronik karena ia memiliki kewenangan dan otoritas.  Namun hal tersebut tidak dilakukannya.

Pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum mengatakan kerugian negara akibat korupsi pada proyek pengadaan KTP Elektronik mencapai Rp 2,3 triliun dari total anggaran sebesar Rp 5,5 triliun. 

Terhadap tuntutan tersebut, kedua terdakwa akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya yang akan digelar pada 10 Juli 2017.

12 Juni 2017

Menyesal menjadi Dirjen

Terdakwa dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun angaran 2011-2012 Sugiharto (kiri) dan Irman (kanan) menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/6). Foto oleh M Agung Rajasa/ANTARA

Persidangan kali ini kembali menghadirkan Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman untuk dimintai keterangan. Irman dalam kesaksiannya mengungkapkan peran Ketua Komisi II DPR kala itu, Burhanuddin Napitupulu. 

Burhanuddin, kata Irman, memanggilnya pada Februari 2010. Dalam pertemuan tersebut, Burhanuddin menyatakan akan mendukung penuh KTP Elektronik. Burhanuddin juga mengatakan akan mengajak anggota Komisi II  lain untuk mendukung. 

“’Kawan-kawan juga akan saya ajak untuk mendukung. Tapi untuk dukungan ini perlu perhatian’. Saya menangkap itu uang, menurut saya,” kata Irman menirukan ucapan Burhanuddin. 

Dalam kesaksiannya, Irman juga mengungkapkan pertemuan dengan Setya Novanto yang saat itu masih menjadi Ketua Fraksi Golkar. Pertemuan dengan Novanto terjadi di Hotel Gran Melia. Saat itu, menurut Irman, Setya mengatakan mendukung proyek KTP Elektronik.

Irman juga sempat ‘curhat’ kepada majelis hakim. Menurutnya, ia merasa tertekan sejak proyek pengadaan KTP Elektronik berjalan. “Saya betul-betul tidak merasa nikmat sebagai Dirjen,” kata Irman. “Kadang-kadang selama menjadi Dirjen.” 

29 Mei 2017

Menanti “nyanyian” saksi kunci Andi Narogong

DITANGKAP. Pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong keluar mobil setibanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 23 Maret.  malam. KPK menetapkan Andi Narogong sebagai tersangka baru kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Foto oleh Reno Esnir/ANTARA

Sidang lanjutan kasus korupsi KTP Elektronik pada hari ini akan berjalan dengan menarik. Saksi kunci, Andi Agustinus alias Andi Narogong akan dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan.

Andi diduga memiliki informasi berharga yang akan menyeret Ketua DPR Setya Novanto. Sebab, menurut penuturan beberapa saksi, Andi diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan Ketua Umum Partai Golkar itu.

Selain itu, menurut penuturan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, Andi Narogong ikut terlibat dalam proses penganggaran proyek tersebut. Dia juga disebut memberikan aliran dana kepada beberapa pihak.

“Yang bersangkutan juga disebut mengkoordinir tim Fatmawati yang diduga dibentuk untuk kepentingan pemenangan tender. Yang bersangkutan juga terkait aliran dana kepada beberaa pihak dari unsur Banggar, Komisi II DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri,” ujar Alexander ketika memberikan keterangan pers penetapan status tersangka untuk Andi.

Tetapi, ketika dihadirkan sebagai saksi, Setya mengaku tidak mengenal Andi Narogong begitu dekat seperti yang disampaikan beberapa saksi sebelumnya. Dia mengaku kenal dengan Andi di Tee Box Cafe ketika tengah digelar makan malam di sana. Andi mendekati Setya untuk menawarkan pembuatan kaos.

“Yang saya tahu, tahun 2009, saya di sebuah restoran punya saya sendiri. Datanglah seseorang yang mengenalkan diri Andi Narogong dan akan menjual atribut partai. Setelah saya cek harganya masih mahal, makanya saya tolak,” kata dia. (BACA: Strategi Setya Novanto untuk mengelak dari kasus korupsi KTP Elektronik)

Selain, Andi, ada lima orang lainnya yang akan hadir dalam persidangan hari ini yaitu:

  • Ruddy Indrato Raden (ketua panitia pemeriksa dan penerima hasil pengadaan yang diduga menerima uang hasil proyek senilai Rp 30 juta)
  • Zudan Arif Fakrulloh (Direktur Jenderal Kependudukan Sipil dan mantan Kabiro Hukum Kemendagri. Diduga dia adalah penghubung antara Ketua DPR Setya Novanto dengan Kemendagri)
  • Bambang Supriyanto (Kepala Seksi Pemeliharaan dan Pengamanan Data Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri)
  • Kusmihardi (Staf Sub bag Rumah Tangga dan BUMN Bagian Umum Sekretariat Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil)
  • Sukoco (Kepala Seksi Penyajian Informasi Adminstrasi Kependudukan Direktorat Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri)

22 Mei 2017

Sidang kali ini antara lain mendengarkan keterangan dari saksi bernama Junaidi, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).

Dalam kesaksiannya, Junaidi mengatakan dirinya sempat sempat memusnahkan berkas-berkas terkait proyek KTP Elektronik ketika ada penggeledahan yang dilakukan KPK. Pemusnahan itu disebut Junaidi atas perintah dari Sugiharto, terdakwa kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. 

“Semua catatan itu dibuang atau dimusnahkan pada saat ada penggeledahan KPK di kantor kami. Saya buang dan ada yang saya bakar juga,” kata Junaidi saat memberikan kesaksian di persidangan.

Juniadi juga mengungkapkan jika Sugiharto pernah memintanya membuat surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif senilai Rp 2,5 miliar. “Iya, pernah (ada SPJ fiktif). Dari Pak Gi (Sugiharto),” kata Junaidi.

Selain Junaidi, saksi lain yang dihadirkan adalah Direktur Keuangan PT Quadra Solution Willy Nusantara Najoan. PT Quadra Solution adalah salah satu anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang menggarap proyek KTP Elektronik.

Willy mengatakan PT Quadra Solution mendapat untung bersih dari proyek KTP Elektronik sekitar Rp 79 miliar. Selain itu PT Quadra juga mendapatkan pinjaman sebesar Rp 36 miliar dari Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Jaksa KPK mempertanyakan motif Andi Narogong memberikan pinjaman Rp 36 miliar terseut ke PT Quadra. Wlly menjawab, “Beliau mendapat bunga yang lumayan, 12,5 persen.”

18 Mei 2017

Sidang lanjutan KTP Elektronik, KPK hadirkan dua adik Gamawan Fauzi

Persidangan kasus korupsi KTP Elektronik kembali dilanjutkan hari ini. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rencananya akan menghadirkan 9 saksi. Delapan saksi di antaranya akan dihadirkan secara langsung di ruang sidang, sedangkan satu saksi lainnya akan menjawab melalui teleconference. Saksi yang disebut terakhir adalah Paulus Tanos yang diketahui tengah berada di Singapura.

Dua saksi penting lainnya yakni dua adik mantan Menteri Dalam Negeri yaitu Azmin Aulia dan Afdal Noverman. Berikut daftar lengkap saksi yang dihadikan hari ini berdasarkan data dari humas Pengadilan Tipikor, Yohannes Priyana:

  • Paulus Tanos (bos perusahaan pemenang tender pengadaan KTP Elektronik)
  • Azmin Aulia (adik mantan Mendagri Gamawan Fauzi)
  • Afdal Noverman (adik Gamawan Fauzi dari satu ayah yang sama dan pengusaha yang pernah memberikan pinjaman uang Rp 1,5 miliar untuk keperluan membeli tanah dan berobat)
  • Ruddy Indrato Raden (Ketua Panitia Pemeriksa dan Penerima Hasil Pengadaan senilai Rp 30 juta)
  • Endah Lestari (Kepala Sub Bagian Sesditjen Kependudukan Sipil Kemendagri)
  • Junaidi (Bendahara pembantu proyek yang ikut menerima aliran dana KTP Elektronik sebesar Rp 30 juta)
  • Paultar Paruhum Sinambela (Kepala Subseksi Tematik dan Potensi Tanah BPN Jakarta Selatan)
  • Zudan Arif Fakrulloh (Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil)

Dalam persidangan sebelumnya yang ikut menghadirkan Gamawan Fauzi, Azmin memiliki peranan yang cukup signifikan. Ketika Gawaman disebut menerima aliran dana korupsi senilai US$ 4,5 juta, sebanyak US$ 2,5 juta diserahkan melalui Azmin.

Walau beberapa saksi mengatakan Azmin memiliki pengaruh yang kuat ke kakaknya untuk proyek pengadaan KTP Elektronik, namun Gamawan membantahnya. Dalam persidangan yang digelar 16 Maret lalu, mantan Gubernur Sumatera Barat itu mengaku pernah mendengar desas-desus adiknya ikut terlibat proyek KTP Elektronik.

“Saya dengar di media. Saya sempat tanya ke Pak Dirjen, apakah benar adik saya ikut proyek e-KTP, jawabannya tidak ikut. Saya tanya juga ke Azmin, dia jawab tidak ada ikut proyek Kemendagri,” kata Gamawan menirukan beberapa pernyataan yang dia dengar langsung.

15 Mei 2017

Tujuh saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan

Majelis Pengadilan Tipikor kembali menggelar persidangan kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik. Pada hari ini Jaksa menghadirkan 7 orang saksi dari pihak swasta yang mengerjakan proyek tersebut di dalam persidangan. Mereka adalah:

  • Mario Cornelio Bernardo (pengacara dari kantor Hotma Sitompul dan Associates)
  • Indri Mardiani (perwakilan Perum PNRI)
  • Rudiyanto (perwakilan PT Sucofindo, koordinator pekerjaan pendampingan teknis)
  • Andi Rahman (perwakilan PT LEN Industri, koordinator pekerjaan untuk pengadaan software dan peralatan Biometric)
  • Haryoto (perwakilan Perum PNRI, koordinator pekerjaan penerbitan, personalisasi dan distribusi kartu)
  • Yani Kurniati (perwakilan PT LEN Industri)
  • Fajri Agus Setiawan (perwakilan PT Sandipala Arthaputra)

Dalam persidangan sebelumnya, Jaksa memanggil Hotma Sitompul mengaku memang pernah menerima aliran dana dari proyek KTP Elektronik sebesar Rp 142,1 juta. Namun, Hotma mengaku tidak tahu jika dana tersebut berasal dari dana korupsi. Dia berpikir dana tersebut adalah dana pembayaran jasanya sebagai pengacara karena telah mendampingi terdakwa I, Irman, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Tetapi, Hotma mengaku sudah mengembalikan uang tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

8 Mei 2017

Pengakuan Hotma Situmpul

Dalam persidangan Hotma Sitompul mengaku dirinya telah menerima uang sebesar 150 juta dan 400 ribu dollar Amerika Serikat. Namun ia mengatakan duit sebagian uang tersebut sudah ia kembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

“Untuk yang 400 ribu Dollar sudah dikembalikan ke KPK, tapi 150 juta masih ada di kantor,” kata Hotma di hadapan tim majelis hakim.

Hotma mengatakan dirinya bertemu kedua terdakwa di kantornya karena saat itu ia diminta untuk menjadi kuasa hukum Kemendagri. Selain Irman dan Sugiharto, dirinya juga sempat melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di Grand Hyatt, tapi ia mengaku lupa kapan tanggal persis pertemuan teersebut.

“Mana saya ingat, sudah 2011 kejadiannya. Lupa,” Kata Hotma saat ditanya wartawan seusai sidang. Hotma tak banyak bicara selepas dari ruang persidangan. Sebelumnya, Ia dilaporkan telah menerima uang sebesar Rp 142,1 juta dari Irman, tapi fakta persidangan menyebutkan angka lebih besar.

Dirinya juga mengaku tidak mengetahui bahwa aliran dana yang ia terima merupakan hasil dari korupsi proyek KTP elektronik. Awalnya Hotma mengira uang itu berasal dari Kemendagri.

“Saya baru sadar sejak mulai dipanggil-panggil untuk pemeriksaan. Kami ini orang-orang terhormat jadi waktu tahu uang itu bukan murni dari Kemendagri, ya dikembalikan saja,” tuturnya. 

Jaksa hadirkan Hotma Sitompul sebagai saksi

KEBERATAN. Hotmal Sitompul ketika tengah mewakili kliennya, Margriet Megawe dalam sidang pembunuhan Engeline di Pengadilan Negeri Denpasar, 22 Oktober 2015. Foto oleh Luh De Suriyani/Rappler

Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik. Dalam sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tujuh saksi yang terdiri dari empat latar belakang yakni pengacara, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan BPKP.

Tujuh orang saksi itu adalah

  • Mario Cornelio Bernardo (pengacara dari kantor Hotma Sitompul dan Associates)
  • Hotma P.D. Sitompul (pengacara yang pernah digunakan jasanya oleh oleh terdakwa I, Irman, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri)
  • Heru Basuki (Kasubdit Pelayanan Informasi Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dia disebut ikut menerima aliran dana senilai Rp 40 juta)
  • Iman Bastari (mantan Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)
  • Lydia Ismu Martyati Anny Miryanti (Sekretaris untuk urusan pendistribusian KTP Elektronik untuk wilayah Jakarta, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan)
  • Asniwarti (staf di Direktorat Jenderal Keuangan. Dia diduga menerima uang Rp 60 juta dari pengadaan KTP Elektronik)
  • Mahmud Toha Siregar (auditor madya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)

Dalam proses persidangan hari ini, jaksa kembali menelusuri aliran uang yang diduga ikut diberikan kepada orang-orang yang membantu proyek tersebut. Mario merupakan saksi yang ketika diperiksa sudah menjadi napi untuk kasus penyuapan pada tahun 2013 lalu.

Dia mewakili seorang klien yang melaporkan kasus penipuan. Sang klien bersikeras meminta agar yang dilaporkan dan sudah menjadi terdakwa dinyatakan bersalah. Maka Mario pun menyanggupi dan menghubungi makelar khusus di Mahkamah Agung.

Mario memberikan uang Rp 300 juta kepada makelar kasus bernama Djodi yang sehari-hari bekerja pegawai MA. Dari Djodi, uang itu kemudian diberikan kepada Suprapto, staf kepaniteraan MA.

Saat Djodi ditangkap KPK tahun 2013, Mario pun ikut menyusul. Dalam persidangan, dia divonis empat tahun penjara.

Belum diketahui pasti apa yang digali KPK melalui Mario. KPK juga memanggil Hotma, paman Mario, yang diketahui pernah digunakan jasanya oleh terdakwa I, Irman. Dalam dakwaan JPU, Hotma disebut pernah menerima aliran uang sebesar US$ 400 ribu dari Irman.

Sementara, untuk pembayaran jasanya, Hotma menerima uang sebesar Rp 142,1 juta dari Irman. Dana tersebut bersumber dari anggaran Kementerian Dalam Negeri.

4 Mei 2017

Mantan Direktur Utama PNRI akui Andi Narogong atur proyek pengadaan KTP Elektronik

DITANGKAP. Pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong keluar mobil setibanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 23 Maret. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menangkap Andi Narogong usai ditetapkan sebagai tersangka. Foto oleh Reno Esnir/ANTARA

Sidang kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Jaksa Penuntut Umum menghadirkan tujuh saksi dalam persidangan tersebut.

Mereka berasal dari pihak swasta yang diduga terlibat dalam proyek e-KTP, termasuk konsorsium pemenang tender proyek, yaitu Percetakan Negara RI. Para saksi yang hadir yaitu

a. Isnu Edhi Wijaya (mantan Direktur Utama Percetakan Negara RI)
b. Wahyuddin Bagenda (Direktur Utama PT LEN Industri)
c. Arief Safari (Direktur PT Sucofindo)
d. Abraham Mose (mantan Direktur Utama PT LEN Industri)
e. Agus Iswanto
f. Andra Agusalam
g. Darma Mapangara

Di dalam persidangan, Isnu mengakui ada intervensi pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam proyek pengadaan KTP Elektronik. Sejak awal proyek, Andi telah mengatur spesifikasi teknis dalam proyek yang memakan anggaran sebesar Rp 5,9 triliun.

“Dalam pelaksanaannya, kami diundang Andi ke Ruko Fatmawati. Kami dikenalkan dengan beberapa orang dan di situ ada presentasi dan diskusi,” ujar Isnu.

Dia mengatakan pertemuan antara Andi dengan PNRI berlangsung sebanyak tiga kali. PNRI, kata Isnu disiapkan untuk mencetak kartu.

Isnu juga mengatakan dikenalkan ke Andi Narogong oleh Irman, yang saat ini menjadi salah satu terdakwa. Irman mengatakan kepada Isnu bahwa Andi adalah orang yang nantinya mengerjakan proyek KTP Elektronik.

Maka, Irman meminta agar Isnu menuruti apa pun perintah dan berkoordinasi dengan Andi. Dalam kenyataannya, semua produk dalam spesifikasi teknis yang diarahkan Andi sejak awal memang digunakan dalam konsorsium proyek KTP Elektronik.

 

27 April 2017

Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey akan dihadirkan sebagai saksi di sidang ke-12

Dalam sidang ke-12, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menghadirkan 10 saksi. Satu di antaranya adalah Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey. Nama Olly ikut terseret, karena di dalam surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) uang dari pengadaan KTP Elektronik itu sebesar US$ 1,2 juta. Saksi kunci, Nazaruddin juga menyebutkan hal yang sama. 

Bagi-bagi uang pengadaan proyek KTP Elektronik itu dilakukan pada tahun 2011-2012. Saat itu, Olly masih menjabat sebagai anggota Komisi III DPR dan Bendahara PDIP. 

Sementara, keterangan dari Choel Mallarangeng juga menyebut bahwa Olly ikut menerima aliran uang korupsi proyek Hambalang tahun 2010 sebesar Rp 2,5 miliar. Saat itu, Olly masih menjabat sebagai anggota Badan Anggaran DPR.

Selain Olly, sembilan orang lainnya yang rencananya dihadirkan sebagai saksi berdasarkan keterangan Humas Pengadilan Tipikor Yohannes Priyana, dalam sidang hari ini yaitu: 

1. Mahmud.
2. Henry Manik,
3. Toto Prasetyo,
4. Djoko Kartiko Krisno,
5. Mayus Bangun,
6. Evi Andi Noor Halim,
7. E. P. Yulianto,
8. Irvanto Hendra Pambudi,
9. Mudji Rachmat Kurniawan,

17 April 2017

Sidang ke-10, jaksa hadirkan 6 saksi

Sidang mega korupsi pengadaan KTP Elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto kembali digelar. Dalam persidangan hari ini, Jaksa KPK berencana memanggil 6 orang saksi dari Ditjen Dukcapil Kemendagri, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dan ketua tim lelang.

Jaksa KPK memang sudah mulai masuk ke tahap pengadaan proyek dalam pemeriksaan saksi-saksi di sidang. Pada sidang sebelumnya, jaksa KPK mengungkapkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam proyek yang akhirnya berimbas pada korupsi.

Keenam saksi tersebut yaitu:

1. Mahmud (PNS di Ditjen Dukcapil)
2. Joko Kartiko Krisno (Kasubbag Data dan Informasi bagian Perencanaan Sesditjen Dukcapil)
3. Hendry Mamik
4. Setya Budi Arijanta (LKPP)
5. Toto Prasetyo (PNS di Ditjen Dukcapil)
6. Husni Fahmi (Ketua Tim Lelang)

13 April 2017

Anggota tim teknis e-KTP mengaku dibiayai ke Amerika Serikat

Anggota tim teknis pengadaan proyek KTP Elektronik atau e-KTP dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Tri Sampurno mengaku pernah dibiayai oleh PT Biomorf Lone Indonesia untuk berangkat ke Amerika Serikat pada tahun 2012. Dia juga pernah mendapat uang sebesar US$ 20 ribu.

Peristiwa itu terjadi setelah L-1 Identity Solutions terpilih menjadi produk pengadaan AFIS dalam proyek KTP Elektronik. Produk itu ditawarkan oleh Johanes Marliem.

“Saya mendapatkan kabar dari Kementerian Dalam Negeri yang memerintahkan satu orang dari BPPT menghadiri undangan Biometric Consortium Conference,” ujar Tri saat memberikan kesaksian dalam sidang korupsi e-KTP untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.

Tri mengatakan seharusnya yang pergi saat itu adalah Menteri Dalam Negeri. Namun, karena jadwalnya padat, Menteri Dalam Negeri meminta Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil menggantikannya.

“Dari Dirjen disposisi ke Husni Fahmi,” kata Tri.

Husni Fahmi merupakan anggota staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT. Dia lalu meminta ada wakil BPPT yang mendampingi. Lantaran pekerjaan Tri berhubungan dengan data center, maka dia dipilih menemani Husni. Di Amerika, dia bertemu dengan Johannes.

Semula, Tri mengira bahwa perjalanan ke AS adalah kunjungan dinas yang dibiayai oleh Kementerian Dalam Negeri. Segala akomodasi mulai dari tiket pesawat dan hotel sudah ditanggung.

“Kenyataannya ini membuat saya sulit untuk merasa tenang karena tahu ternyata dibiayai oleh Biomorf,” tutur dia.

Dalam persidangan, Tri juga mengaku sebelum terbang ke AS, Tri mengatakan menerima uang saku dari Johannes sebesar US$ 20 ribu. Tetapi, uang tersebut langsung dia berikan kepada Husni saat berada di dalam pesawat. Selengkapnya baca di sini.

Jaksa hadirkan 10 saksi dalam sidang ke sembilan

Sidang ke-9 kasus mega korupsi pengadaan KTP Elektronik kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam sidang tersebut jaksa menghadirkan 10 saksi.

Mereka terdiri dari:

1. Tri Sampurno (Pegawai BPPT)
2. Gembong Satrio Wibowanto (Pegawai BPPT)
3. Salius Matram Saktinegara (Mantan Direktur LSN)
4. Maman Budiman
5. Dwidharma Priyasta (PNS BPPT)
6. Pringgo Hadi Tjahyono (Mantan PNS Ditjen Dukcapil)
7. Benny Kamil (Mantan Tim Teknis)
8. M Wahyu Hidayat (PNS Ditjen Dukcapil Kemdagri)
9. Saiful Akbar
10. Arief Sartono

Lantaran saksi yang dihadirkan jumlahnya banyak, maka pemeriksaan saksi pun dibagi menjadi dua termin. Termin pertama terdiri dari Tri Sampurno, Gembong, Saiful Akbar, Arif Sartono, dan Wahyu Hidayat. Sisanya diajukan di termin kedua.

10 April 2017

Sidang ke delapan, Jaksa hadirkan 8 saksi, termasuk saudara Andi Narogong

Sidang lanjutan kasus proyek pengadaan KTP Elektronik kembali digelar pada hari ini. Dalam sidang ke delapan, Jaksa menghadirkan delapan saksi.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari humas Pengadilan Tipikor, Yohannes Priana berikut delapan saksi yang akan dimintai keterangannya pada hari ini:

1. Sambas Maulana (pejabat Kementerian Keuangan)
2. Wirawan Tanzil (Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo)
3. Meidy Layooari (Asisten Chief Engineer BPPT)
4. Setiya Budi Arijanta (Direktur di LKPP)
5. F.X. Garmaya Sabarling (PNS Dirjen Dukcapil Kemendagri)
6. Berman Jandry Hutasoit (Manager di PT Hewlett Packard Indonesia)
7. Dedi Prijono (Wiraswasta)
8. Kristian Ibrahim Moekmin (PNS di Kementerian Luar Negeri)

Dedi yang merupakan saudara kandung tersangka Andi Agustinus atau Andi Narogong sudah pernah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait proyek yang beranggaran Rp 5,9 triliun pada Jumat kemarin. Kini kesaksiannya ikut dimintai oleh pengadilan.

Sebelumnya, Pengadilan Tipikor sudah mendengarkan kesaksian dari saudara Andi yang lain yakni Vidi Gunawan. Dia beberapa kali mengantarkan uang dari kakaknya bagi pejabat di Kementerian Dalam Negeri.

Sementara, Kristian akan didengarkan kesaksiannya karena pernah membuat makalah berjudul “Rancang Bangun Sistem Repository Dokumen Elektronik Dengan Menerapkan Digital Signatured.” Ide itu kabarnya juga diterapkan dalam pengadaan KTP Elektronik.

Sejauh ini, KPK sudah menetapkan empat tersangka yaitu Irman, Sugiharto, Andi Narogong dan Miryam S. Haryani.

6 April 2017

Dituduh terima uang, Anas merasa dikencingi Nazaruddin

BERSAKSI. Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kiri) bersama Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto (kanan) bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 6 April. Foto oleh Akbar Nugroho Gumay/ANTARA

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum meminta kepada majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya menyelidiki kasus proyek pengadaan KTP Elektronik dengan hati-hati. Dia berharap agar pengadilan tidak semata-mata menggantungkan informasi dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Berkaca dari pengalamannya dalam kasus korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet di Hambalang, Anas mengklaim juga dijebloskan oleh rekan satu partainya itu. Di hadapan Majelis Pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Ketua John Halasan Butar-Butar, Anas mengaku ditetapkan jadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena adanya informasi dari Nazaruddin.

“Saudara Nazaruddin mengatakan bahwa saya telah menerima mobil Toyota Harrier dari Teuku Bagus (mantan petinggi PT Adhi Karya). Padahal, di persidangan yang sama, terungkap pula bahwa anak buah Nazaruddin diancam oleh bosnya agar menyampaikan kesaksian sesuai keinginan Nazaruddin,” tutur Anas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 6 April.

Di persidangan kasus Hambalang, justru Teuku Bagus mengaku tidak mengenal Anas. Oleh sebab itu, sebelum hal yang sama menimpanya kembali, Anas sudah mewanti-wanti majelis pengadilan.

Menurut mantan anggota DPR di Komisi 2 itu, tuduhan Nazaruddin benar-benar tidak berdasar dan tidak dilengkapi bukti. Nazaruddin mengatakan Anas telah menerima uang sebesar US$ 3 juta dan Rp 20 miliar. Uang Rp 20 miliar disebut Nazaruddin diperoleh dari pengusaha Andi Agustinus untuk modalnya maju sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat. Namun, hal itu dibantah oleh Anas.

“Kalau dilihat BAP Nazaruddin itu ada yang tidak konsisten. Muka saya ini (serasa) dikencingi dan kepala saya ini diberaki oleh keterangan dia. Saya katakan kepada penyidik KPK ini peristiwa apa dan pesanan dari siapa. Jangan-jangan disusupi kepentingan tertentu,” tutur Anas.

Terkait dana kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2010 lalu, dia mengaku untuk pencalonannya sebagai Ketum, Anas menggunakan dana pribadi dan para relawan. Dalam kongres tersebut, kata Anas, Nazaruddin bertindak sebagai relawan dan bukan bendahara umum Partai Demokrat.

Selaku relawan, Nazaruddin disebut Anas juga menggalang dana bagi dua calon ketum lainnya. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu juga tak pernah mengucurkan dana senilai US$ 400 ribu untuk memenangkan rekannya Khatibul Umam Wiranu sebagai Ketua GP Anshor.

“Saya tidak pernah memerintahkan atau memberi instruksi untuk menyokong kebutuhan dana pencalonan yang bersangkutan untuk menjadi Ketua Umum GP Anshor. Saya justru datang ke Kongres GP Anshor di Surabaya karena diundang untuk memberikan materi,” katanya.

Anas memahami bahwa KPK menggunakan Nazaruddin sebagai justice collaborator (JC). Namun, dia mengingatkan bahwa belum tentu informasi yang disampaikan pemilik perusahaan Permai Group itu akurat.

“Ketika seorang penjahat dibutuhkan untuk menangkap penjahat yang lain, jangan lah cepat diberi label orang suci baru atau pahlawan. Boleh jadi dia masih terus melakukan perbuatan yang sebelumnya dilakukan tetapi dengan cara yang lain,” kata Anas kepada Majelis Pengadilan.

Kesaksian Anas perlu didengar oleh Pengadilan, lantaran dia disebut-sebut memiliki peranan secara langsung untuk mengawal anggaran proyek pengadaan KTP Elektronik di DPR. Sebagai salah satu orang yang mengawal dan memastikan proyek akan terealisasi, Anas diduga meminta agar Partai Demokrat mendapat jatah yang besar dari anggaran pengadaan proyek KTP Elektronik. 

Menanti “nyanyian” Setya Novanto dalam sidang kasus KTP Elektronik hari ini

SAKSI. Ketua DPR, Setya Novanto rencananya hadir sebagai saksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik. Foto oleh Yudhi Mahatma/ANTARA

Sidang kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik memasuki sidang yang ke-7. Pada hari ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) rencananya akan menghadirkan 11 saksi, termasuk di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan Ketua DPR Setya Novanto.

Kehadiran Setya tentu sangat dinanti mengingat namanya bolak-balik disebut dalam persidangan KTP Elektronik. Dalam lembar dakwaan KPK, Setya memang tidak tertulis menerima uang yang mengalir dari proyek KTP Elektronik. Tetapi, perannya sangat penting. Dia termasuk salah satu orang yang memastikan bahwa proyek tersebut berjalan.

Bersama Anas Urbaningrum, Setya mengendalikan proses persetujuan anggaran di DPR. Keduanya disebut mengoordinasikan setiap pimpinan fraksi untuk menyetujui anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.

“Sebenarnya, Setya Novanto bukan (duduk) di Komisi II DPR dan dia itu Ketua Fraksi. Tetapi, dia menyampaikan (mengenai proyek) itu kepada Ganjar. Itu yang kami dalami,” tutur Irene.

Sementara, kuasa hukum Setya, Rudy Alfonso memastikan kliennya akan hadir dalam persidangan hari ini. Dia juga mengaku tidak ada persiapan khusus yang dilakukan untuk menjadi saksi dalam persidangan hari ini.

Enggak ada persiapan. Beliau kan saksi,” katanya.

Sementara, Anas seharusnya hadir dalam persidangan pada hari Senin kemarin. Namun, absen.

Dalam lembar dakwaan KPK, Anas disebut menerima uang dari proyek KTP Elektronik sebesar US$ 5,5 juta. Sementara, dari kesaksian mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Anas juga menggunakan dana dari proyek tersebut untuk memenangkan dirinya sebagai Ketua Umum dalam kongres tahun 2010 di Bandung.

Saksi lainnya yang dijadwalkan hadir yaitu:

1.Achmad Fauzi (Direktur PT Quadra Solution)
2.Dudy Susanto (PT Softob Technology Indonesia)
3. Ade Komarudin (mantan Ketua DPR)
4. Anang Sugiana Sudiharjo (Direktur Utama PT Quadra Solution)
5. Suciati (pensiunan PNS Ditjen Dukcapil)
6. Markus Nari (anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar)
7. Evi Andi Noor Alam
8. Johares Richard Tanjaya
9. Yimmy Iskandar Tedjasusila

 3 April 2017

Perbedaan persepsi pegawai Kemendagri soal prosedur pembuatan e-KTP

Sidang ke-6 kasus korupsi KTP Elektronik rupanya mengungkap perbedaan persepsi dalam proses pengerjaan kartu itu. Menurut staf sub direktorat monitor evaluasi dan pengawasan kependudukan Direktorat Perkembangan Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Dian Hasanah, dalam aturan soal pembuatan KTP Elektronik yakni UU nomor 23 tahun 2006 disebut setiap warga harus ikut direkam sidik jari. Sementara, retina tidak perlu direkam.

Padahal, selama ini publik menganggap dua teknologi tersebut ada di dalam e-KTP. Namun, menurut kuasa hukum terdakwa Irman dan Sugiharto, Soesilo Ariwibowo menepisnya. Soesiolo mengatakan dalam UU itu, tidak pernah ada satu pun ayat yang mengatur soal perekaman data retina dan sidik jari.

“Saya takut publik jadi salah kaprah. Baik teknologi perekaman sidik jari dan pembaca retina, tidak pernah ada dalam UU,” ujar Soesilo.

Mendengar pernyataan itu, majelis hakim kemudian bertanya kepada Dian apakah setuju dengan pernyataan kuasa hukum Sugiharto tersebut. Anehnya, Dian justru mengatakan argumen Soesilo tidak keliru. Majelis hakim kemudian menganggap pernyataan Soesilo lah sebagai kebenaran persidangan.

Nazaruddin: Ganjar tidak tolak uang eKTP, tapi minta jatah lebih besar

KESAKSIAN. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kanan), anggota Komisi III DPR Agun Gunandjar (kedua kanan) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kiri) memberikan kesaksian dalam sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan KTP elektronik (E-KTP) dengan terdakwa Sugiharto dan Irman (kedua kiri) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Maret. Foto oleh Sigid Kurniawan/ANTARA

Mantan bendara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin mengatakan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tidak menolak uang dari proyek pengadaan KTP Elektronik. Bahkan, dia sempat meminta agar jatah uang yang dia terima sama seperti didapat Ketua Komisi. 

“Dia memang nolak waktu itu ketika ditawari US$ 150 ribu. Waktu itu sempat ramai di media, tapi sebenarnya dia minta lebih besar dari itu,” ujar Nazaruddin di hadapan majelis hakim yang dipimpin John Halasan Butar-Butar. 

Dia membenarkan jika nominal uang yang diterima Ganjar mencapai US$ 500 ribu dan diberikan dalam beberapa kali transaksi.

Sementara, dalam sidang pada pekan lalu, Ganjar memang mengaku sempat ditawari uang oleh Mustoko Weni saat berada di gedung DPR, tetapi ditolak. 

“Saya tidak mau, Bu. Silahkan bagi-bagi saja ke yang lain,” kata Ganjar.

Politisi PDIP yang pernah duduk di Komisi II itu menyebut tak menerima uang suap sudah menjadi sikap dan prinsipnya. Dia mengaku belajar dari kasus sebelumnya yang juga sempat menyeret namanya. 

“Waktu itu ketika istri saya di Jepang untuk kuliah S2 dia merasa tidak tenang karena suaminya dipanggil ke pengadilan karena kasus serupa,” kata dia.

Ganjar secara terbuka mengaku dirinya selalu digoda untuk ambil jatah dalam kasus KTP Elektronik. Bahkan sempat ada orang tak dikenal yang datang menghampiri dirinya untuk memberikan sebuah tas suvenir. Namun dia juga menolak goody bag tersebut dan meminta si kurir untuk membawanya kembali.

Lalu, siapakah yang berbohong? Kesaksian Nazaruddin ini melukai Ganjar yang pada hari ini tengah berduka karena sang Ayah meninggal sekitar pukul 09:00 tadi pagi. 

Jaksa hanya hadirkan 8 dari 10 saksi dalam sidang ke-6 eKTP

SAKSI. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum (kiri) dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin (kanan) dijadwalkan hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi KTP Elektronik pada Senin, 3 April. Foto oleh ANTARA

Sidang kasus mega korupsi pengadaan KTP Elektronik memasuki sidang ke-6. Humas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Yohannes Priyana menyebut akan ada 10 saksi yang akan dihadirkan di antaranya sang peniup peluit dalam kasus tersebut Muhammad Nazaruddin. 

Namun, dari 10 saksi hanya 9 saksi yang hadir. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum tak jadi muncul. Enam saksi lainnya yaitu

1. Melchias Markus Mekeng: Ketua Komisi Keuangan DPR
2. Yosep Sumartono: pensiunan pegawai negeri Ditjen Dukcapil Kemendagri
3. Eva Ompita Soraya: staf Fraksi Partai Demokrat
4. Munawar Ahmad: dosen Prodi Teknik Informatika di ITB
5. Vidi Gunawan: saudara kandung Andi Agustinus alias Andi Narogong
6. Khatibul Umam Wiranu: anggota DPR dari Partai Demokrat 2009-2015
7. Mohammad Jafar Hafsah: mantan anggota komisi IV DPR
dari Partai Demokrat

8. Dian Hasanah: pensiunan PNS Ditjen Kependudukan Sipil Kemendagri

Kehadiran Nazaruddin menjadi salah satu yang ditunggu, lantaran dia lah yang menghembuskan informasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya bagi-bagi duit dalam proyek berbiaya Rp 5,9 triliun tersebut. Informasi itu disampaikan mantan bendahara umum Partai Demokrat tersebut ketika tengah diperiksa dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Sea Games.

“Jadi (untuk kasus) e-KTP jadi whistle blower, e-KTP prosesnya jalan, mudah-mudahan kerugian negaranya bisa balik. Itu tujuannya,” kata Nazar pada September 2016 lalu.

Ketika diperiksa KPK, Nazaruddin bolak balik menyebut Ketua DPR, Setya Novanto memiliki peranan dalam proyek tersebut. Bahkan, namanya disebut sejak tahun 2013.

Dia mengatakan Setya sulit tersentuh hukum, karena dia kerap menjadi sinterklas.

“Khusus untuk Novanto, ini orang kan kebal hukum. Karena apa? Karena (dia) sinterklas. Di mana-mana kan (bagi-bagi uang),” ujar Nazaruddin di bulan November 2013 usai diperiksa KPK.

Sementara, dari pengadaan KTP Elektronik, Nazaruddin menerima fee 10 persen dari Paulus Tannos, pemilik PT Sandipala Arthapura, perusahaan yang masuk anggota konsorsium Percetakan Negara RI, pemenang tender proyek tersebut.

30 Maret 2017

Kemenkeu loloskan anggaran proyek KTP Elektronik karena memenuhi aturan

KESAKSIAN. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kedua kanan), anggota Komisi III DPR Agun Gunandjar (kanan) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kedua kiri) memberikan kesaksian dalam sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan KTP elektronik (E-KTP) dengan terdakwa Sugiharto dan Irman (kiri) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Maret. Foto oleh Sigid Kurniawan/ANTARA

Mantan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo turut hadir bersaksi dalam kasus mega korupsi pengadaan KTP Elektronik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Kehadiran pria yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia tersebut sudah ditunggu sejak dua pekan lalu. Namun, saat itu Agus tengah berada di Eropa untuk menghadiri sebuah konferensi.

Sejak awal Agus mengaku siap untuk memberikan penjelasan kepada Majelis Hakim mengenai persetujuan anggaran proyek KTP Elektronik. Bahkan, agar tidak lupa, dia sengaja membawa dokumen untuk mengingatkan kembali peristiwa yang terjadi antara tahun 2010 hingga 2011 itu.

Di hadapan Majelis Hakim, Agus mengatakan sistem anggaran tahun jamak atau multiyears dalam proyek KTP Elektronik sah-sah saja digunakan.

“Multiyears atau kontrak jamak bikini sesuatu yang salah. Kalau memang proyek lebih dari satu tahun dan tidak dapat dipecah, memang harus mengajukan izin multiyears,” kata Agus.

Menurut Agus, akan lebih memudahkan menggunakan sistem kontrak jamak, lantaran jika hanya mengajukan sistem anggaran selama satu tahun, maka pelaku proyek harus memulai kembali semua proses dari nol untuk merealisasikan proyek tersebut. Termasuk kembali melakukan tender dan menunjuk vendor.

Namun, sesuai dengan prosedur yang berlaku jika kementerian teknis memilih menggunakan sumber pendanaan dari APBN, maka kementerian tersebut perlu meminta izin kepada Kemenkeu.

Sebagai Menkeu saat itu, Agus mengakui memang meloloskan proyek KTP Elektronik Kemendagri yang dipimpin Gamawan Fauzi. Dia mengatakan akhirnya memberikan persetujuan untuk proyek tersebut karena Kemendagri selaku pemohon anggaran dinilai telah memenuhi anggaran.

Belum lagi, proyek itu disebut-sebut menjadi proyek prioritas lantaran datanya akan digunakan untuk pemilu tahun 2014.

Kepada penyidik KPK, Miryam mengaku diancam oleh enam anggota DPR

Kendati mengaku di hadapan Majelis Hakim bahwa dirinya diancam oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata Miryam S. Haryani justru mengatakan hal yang berbeda ketika berada di kantor lembaga anti rasuah tersebut. 

Kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Miryam mengaku sempat diancam oleh enam orang rekannya di DPR. Mereka di antaranya adalah politikus Golkar, Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, politikus Gerindra Desmond J Mahesa, politikus Hanura Syarifudin Suding dan politkus PDIP, Masinton Pasaribu. 

“Satu lagi saya lupa namanya,” ujar Novel di ruang sidang Tipikor. 

Kesaksian itu disampaikan Novel untuk menangkis tudingan bahwa KPK telah mengancam politisi dari Partai Hanura tersebut. Novel menjelaskan ancaman itu disampaikan kepada Miryam sebelum dia menjalani pemeriksaan di KPK pada Desember 2016. 

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh penyidik KPK lainnya, Irwan Santoso. Dia mengatakan Miryam sempat dipanggil oleh sejumlah anggota DPR agar tak memberikan kesaksian yang sebenarnya. 

Mengetahui hal itu, KPK sempat menawarkan mekanisme perlindungan bagi Miryam. Tapi hal itu ditolaknya. 

Sementara, salah satu politikus yang namanya ikut disebut, Bambang Soesatyo mengatakan akan mengambil langkah hukum. Bambang menyesalkan pernyataan Novel dalam persidangan hari ini, tanpa lebih dulu melakukan kroscek ke dirinya. 

Dia mengaku tidak pernah bertemu atau berkomunikasi dengan Miryam. Oleh sebab itu, dia mengaku heran mengapa namanya bisa disebut telah mengancam Miryam. Bambang menduga ada upaya untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap dirinya. 

“Kok sekarang malah saya yang dituduh menekan dan mengancam Miryam? Urusannya apa? Apalagi dikait-kaitkan dengan Komisi III DPR?,” ujar Bambang yang ditemui di DPR seperti dikutip media.

Dia  mengatakan akan meminta rekaman pernyataan Miryam kepada KPK saat pemeriksaan yang membawa-bawa nama dia dan beberapa anggota DPR sebagai barang bukti tindak pencemaran nama baik ke Polri.  

JPU tunjukkan video pemeriksaan Miryam ketika dimintai keterangan oleh KPK

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan  cuplikan video di hadapan Majelis Hakim ketika Miryam S. Haryani dimintai keterangan oleh penyidik lembaga anti rasuah itu. Ini merupakan pemeriksaan keempat yang terjadi pada bulan Januari 2017. 

Dari video tersebut terlihat Miryam tengah duduk di depan penyidik KPK, Irwan Santoso. Ketika melihat video tersebut, JPU langsung mempertanyakan di mana bagian ketika Miryam merasa tertekan.

“Yang terlihat malah saudara saksi terlihat begitu akrab dan seolah sudah mengenai penyidik,” ujar JPU Irene Putri. 

Saksikan videonya di sini:

Bahkan, dalam satu video, anggota Komisi V DPR itu terlihat berbicara berbisik kepada penyidik. Saat ditanyakan apa yang disampaikan sehingga harus berbisik-bisik, Miryam mengaku lupa. Sementara, Irwan menyebut Miryam tengah menyampaikan adanya ancaman dari sesama rekannya anggota DPR. Ancaman diterima Miryam sebelum dia bersaksi di sidang korupsi pengadaan KTP Elektronik pada 23 Maret. 

“Yang bisik-bisik itu saksi bilang apakah keterangan (tentang ancaman) itu akan masuk ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atau tidak,” ujar Irwan. 

Akhrinya, penyidik tidak memasukan keterangan Miryam soal ancaman itu demi keamanan anggota Fraksi Partai Hanura tersebut. 

Sidang kelima korupsi KTP Elektronik, JPU akan hadirkan Agus Martowardojo dan Ganjar Pranowo sebagai saksi

Sidang dugaan mega korupsi proyek KTP Elektronik akan kembali dilanjutkan pada hari Kamis, 30 Maret. Menurut informasi yang diperoleh Humas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Yohannes Priyana ada tujuh saksi yang rencananya dihadirkan dalam persidangan pada Kamis esok.

Mereka adalah:

a. Miryam S. Haryani (Anggota Komisi V DPR)
b. Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah)
c. Khatibul Uman Wiranu (Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Demokrat)
d. Agus W. Martowardojo (Mantan Menteri Keuangan yang kini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia)
e. Agun Gunandjar Sudarsa (Anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar)
f. Mohammad Jafar Hafsah (Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR)
g. Dian Hasanah (pensiunan PNS Ditjen Dukcapil Kemendagri)

Namun, Yohannes mengingatkan bahwa bisa saja jumlah saksi berubah, karena ada yang tak sanggup datang. 

“Namanya juga direncanakan,” ujar Yohannes ketika dihubungi Rappler melalui telepon. 

Miryam seharusnya hadir dalam persidangan pada hari Senin kemarin, karena Majelis Hakim ingin mengkonfrontir pengakuan dari sidang sebelumnya. Kader Partai Hanura itu mengaku ditekan oleh tiga orang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika dimintai keterangan dan membuat Berita Acara Perkara (BAP).

Sayang, saat ketiga penyidik yang dia tuding sudah menampakan diri di ruang sidang, justru Miryam yang absen. Menurut Ketua Majelis Hakim, John Halasan Butar-Butar Miryam mengaku sakit dan sudah mengirimkan surat sakit dari RS Fatmawati.

Sedang, Ganjar sudah membantah berulang kali bahwa dia menerima uang dari proyak pengadaan KTP Elektronik sebesar US$ 520 ribu atau setara Rp 6,9 miliar.

“Soal ini, saya sudah jelaskan saat dimintai keterangan oleh KPK. Saya memang tidak menerima uang (proyek KTP Elektronik),” ujar Ganjar kepada media di Balai Kota Surakarta.

Sementara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membutuhkan keterangan Agus mengenai penganggaran proyek yang membuat negara merugi Rp 2,3 triliun itu.

27 Maret 2017

Miryam S. Haryani absen dalam sidang

Anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani justru absen dalam sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik yang digelar di Pengadilan Tipikor hari ini. Miryam absen dengan alasan sakit. Dia menyerahkan surat keterangan sakit dari seorang dokter yang berpraktik di RS Fatmawati. 

“Di dalam surat itu tertulis bahwa Ibu Miryam harus istirahat selama dua hari,” ujar Ketua Majelis Hakim, John Halasan Butar-Butar. 

Kehadiran Miryam dalam persidangan pada hari ini sangat dinanti, karena pada persidangan Kamis pekan lalu, dia mengatakan berada di bawah tekanan ketika memberi keterangan kepada penyidik KPK. 

“Saya dipaksa oleh penyidik KPK, Pak. Diancam sama penyidik tiga orang. Memang tidak ada ancaman dalam bentuk fisik dan hanya menggunakan kata-kata,” ujar perempuan yang pernah duduk sebagai anggota Banggar itu di depan Majelis Hakim yang diketuai John Halasan Butar-Butar pada Kamis, 23 Maret. 

Pernyataan Miryam membuat hakim bingung karena disampaikan dengan tutur air mata. Lantaran pernyataannya disampaikan dalam kondisi di bawah tekanan, Miryam mencabut semua isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dia akan memulai dari awal dengan memberikan keterangan di persidangan di pengadilan Tipikor.

Merasa tidak percaya begitu saja terhadap pernyataan Miryam, oleh sebab itu Majelis Hakim meminta perempuan berusia 43 tahun tersebut untuk hadir kembali ke Pengadilan Tipikor hari ini. Padahal tiga orang penyidik yang dituding Miryam telah mengancamnya, yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Susanto sudah tiba di Pengadilan Tipikor. 

Namun, dengan absennya Miryam membuat sidang tidak memiliki esensi lantaran ketiadaan salah satu pihak yang ingin dikonfrontir.

“Oleh sebab itu, persidangan ditangguhkan hingga hari Kamis mendatang. Jaksa tolong pastikan Ibu Miryam bisa hadir pada hari Kamis esok,” kata John.

Sementara, JPU Irene Putri mengatakan akan mengusahakan agar Miryam bisa bersaksi. Rencananya, selain Miryam, KPK akan menghadirkan sekitar 5-6 saksi lainnya. 

Siap paparkan bukti

Di tempat yang sama, salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan mengatakan sudah siap diperiksa dan memaparkan bukti-bukti yang dibutuhkan, termasuk rekaman video ketika dia meminta keterangan dari Miryam dalam pemeriksaan sebelumnya. 

Jaksa hadirkan penyidik KPK

Dalam sidang kali ini, Miryam Haryani akan dikonfrontasi dengan tiga penyidik KPK. Miryam pada persidangan sebelumnya menyebut ketiga penyidik tersebut telah menekannya selama pemeriksaan. 

Ketiga penyidik KPK yang akan dihadirkan yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Susanto. Jaksa Penuntut Umum memastikan ketiga penyidik tersebut akan datang ke pengadilan. Dia mengaku tidak bisa menjelaskan lebih jauh 

23 Maret 2017

Miryam Haryani ingin cabut keterangannya di BAP

Mantan anggota Komisi II DPR Miryam Haryani akhirnya datang ke pengadilan tindak pidana korupsi untuk menjadi saksi. Kepada majelis hakim, Miryam mengaku diancam 3 penyidik KPK saat proses penyidikan.

Saat diperiksa, kata Miryam, penyidik KPK berkata, “Dia seharusnya sudah ditangkap sejak tahun 2010.” Miryam terlihat menangis saat mengaku ditekan oleh penyidik.

Ia juga mengatakan isi berita acara pemeriksaan saat dipanggil KPK tidak benar. Seperti diketahui, Miryam pernah empat kali dipanggil KPK, yakni pada  1, 7, dan 14 Desember 2016 serta 24 Januari 2017.

Miryam kemudian menyatakan mencabut semua pernyataannya yang terdapat dalam berita acara pemeriksaan. “Saya cabut semua keterangan yang ada di berita acara pemeriksaan yang dibuat ketika dipanggil KPK,” katanya.

Majelis Hakim merasa heran dengan pernyataan Miryam tersebut. “Seharusnya kalau Bu Miryam merasa keterangannya tidak benar dikatakan sejak awal,” kata Majelis Hakim.

Dua anggota dewan bantah terima duit 

Dua saksi dari DPR, yakni mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno dan mantan Wakil Ketua DPR Taufik Efendi, membantah telah menerima duit dari proyek pengadaan KTP Elektronik.

Bantahan tersebut disampaikan keduanya saat Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar-Butar bertanya kepada mereka, “Pertanyaan ini menyakitkan, tapi harus saya tanyakan. Terkait dengan pembahasan e-KTP apakah pernah menerima uang?”  

Taufik Effendi menjawab, “Tidak pernah.” Taufik juga mengatakan dirinya tidak tahu-menahu soal adanya bagi-bagi uang dalam proyek pengadaan KTP Elektronik. 

Bantahan serupa disampaikan Teguh Juwarno. Kepada hakim, Teguh memastikan dirinya tidak terlibat dalam kasus ini.  

Seperti diketahu, dalam surat dakwaan jaksa, Taufik Effendi disebut diduga menerima USD 103 ribu semetnara Teguh Juwarno disebut diduga menerima USD 167.000 ribu.

Dari tujuh saksi, hanya lima yang hadir

Jaksa Irene Putri mengatakan dari 7 saksi yang dijadwalkan hari ini, hanya 5 yang bisa mengikuti persidangan. Dua saksi lainnya tidak bisa datang karena alasan berbeda.

Kedua saksi tersebut yakni mantan anggota DPR Komisi II Miryam S Haryani dan Pensiunan PNS Ditjen Dukcapil Kemendagri Dian Hasanah. Miryam belum mengkofirmasi kehadirannya sementara Dian Hasanah mengabarkan dirinya sedang sakit.

“Saudara Miryam S Haryani belum memberikan konfirmasi. Sementara saksi Dian Hasanah mengabarkan sakit,” kata Irene Putri dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis 23 Maret 2017.

Berikut lima saksi yang akan memberikan kesaksian dalam sidang hari ini: 

  1. Mantan Dirjen Administrasi Kependudukan 2005-2009 Rasyid Saleh
  2. Kepala Bagian Perencanaan Kemdagri 2010-2016 Wisnu Wibowo
  3. Mantan Kasubag Penyusunan Program Bagian Perencanaan pada Sesditjen Dukcapil Kemdagri Suparmanto
  4. Wakil Ketua DPR Komisi II periode 2009-2014 Taufik Efendi
  5. Mantan Anggota DPR Komisi II 2009-2014 Teguh Juwarno.

Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar-butar meminta para saksi dari DPR memberikan keterangan lebih dulu, setelah itu baru saksi dari Kementerian Dalam Negeri.

KPK akan hadirkan tujuh saksi

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengatakan dalam sidang lanjutan mega korupsi pengadaan KTP Elektronik, akan ada tujuh saksi yang dihadirkan di Pengadilan Tipikor. Ketujuh saksi itu berasal dari unsur Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR.

“Dari tujuh saksi itu, empat orang adalah pejabat atau mantan pejabat di Kemendagri. Tiga orang dari anggota atau mantan anggota DPR RI,” ujar Febri di Gedung KPK, Jakarta pada Rabu, 22 Maret seperti dikutip media.

Dia menjelaskan pemeriksaan terhadap tujuh saksi itu masih berkaitan dengan aspek penganggaran pada proyek KTP Elektronik tersebut.

16 Maret 2017

Gamawan bantah terima uang proyek KTP Elektronik

Sementara, dalam sidang kedua, JPU KPK menghadirkan 8 saksi. Namun, dari 8 orang itu, hanya 7 orang saja yang bisa hadir. Satu saksi lainnya yakni mantan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo absen karena harus menghadiri konferensi di Swiss.

Sisa ketujuh saksi yang hadir yaitu:

1. Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
2. Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni
3. Mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Chairuman Harahap
4. Direktur Utama PT Karsa Wira Utama Winata Cahyadi
5. Mantan Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Rasyid Saleh
6. Kepala Biro Perencanaan Kementerian Dalam Negeri periode 2004-2010 Yuswandi A. Temenggung
7. Mantan Direktur Fasilitas Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Elvius Dailami

Sejak awal saat sidang dibuka, publik sudah fokus kepada bantahan yang disampaikan oleh Gamawan Fauzi. Dalam kesaksiannya, Gamawan mengaku tidak tahu jika ada uang proyek pengadaan KTP Elektronik yang tercecer hingga Rp 2,3 triliun. Bahkan, dari laporan keuangan yang diterimanya dari Badan Pemeriksa Keuangan, tidak ada satu pun yang mengindikasikan adanya kebocoran uang negara.

Untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, Gamawan bahkan sempat sesumbar dan bersumpah agar didoakan oleh rakyat Indonesia segera meninggal. Selengkapnya baca di sini.

Pengakuan lain yang menjadi sorotan publik yakni pernyataan Diah Anggraini, mantan Sekjen Kemendagri. Diah mengaku menerima uang dari Irman sebesar US$300 ribu dan dari Andi Agustinus sebesar US$200 ribu. Namun, Diah berkelit bahwa uang yang sempat diterimanya bukan berasal dari pengadaan proyek KTP Elektronik.

“Saya tidak tahu Yang Mulia dari mana uang itu berasal dan saya tidak bertanya mengenai asalnya,” ujar Diah di hadapan majelis hakim.

Diah juga bersumpah tidak pernah menggunakan uang yang diterimanya itu barang satu peser pun. Untuk menunjukkan itikad baik, dia telah mengembalikan uang tersebut ke KPK. Dalam dakwaan yang sempat dibacakan oleh JPU KPK, Diah didakwa telah menerima uang sebesar US$2,7 juta. Selengakapnya baca di sini.

9 Maret 2017

Praktik bagi-bagi uang terungkap

Sidang perdana praktik mega korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik akhirnya digelar. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mulai membacakan dakwaan. Terdapat sekitar lima JPU yang hadir dan sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, John Halasan Butar-Butar.

Sementara, JPU KPK menghadirkan dua terdakwa dalam sidang yakni Sugiharto, mantan direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, di Departemen Dalam Negeri dan Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Publik dan pengunjung persidangan terkejut, karena praktik bagi-bagi duit sangat kental dalam proyek ini. Dalam dakwaan yang dibacakan oleh JPU Irene Putri disebut ada kesepakatan DPR akan menyetujui anggaran pengadaan KTP Elektronik sesuai dengan grand design tahun 2010 yakni dengan anggaran Rp 5,9 triliun.

Proses pembahasannya akan dikawal oleh Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar. Sementara, sang makelar proyek Andi Agustinus alias Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.

Irene sempat menarik nafas sejenak sebelum dia membacakan rencana bagi-bagi duit anggaran proyek KTP Elektronik, dengan rincian sebagai berikut:

A. Sebesar 51 persen atau sejumlah Rp2.662.000.000.000,00 (dua triliun enam ratus enam puluh dua miliar rupiah) akan dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek;

B. Sedangkan sisanya sebesar 49 persen atau sejumlah Rp2.558.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus lima puluh delapan miliar rupiah) akan dibagi-bagikan kepada:

1. Beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri termasuk para terdakwa sebesar 7 persen atau sejumlah Rp365.400.000.000,00 (tiga ratus enam puluh lima miliar empat ratus juta rupiah);

2. Anggota Komisi II DPR RI sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261.000.000.000,00 (dua ratus enam puluh satu miliar rupiah);

3. Setya Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574.200.000.000,00 (lima ratus tujuh puluh empat miliar dua ratus juta rupiah);

4. Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574.200.000.000,00 (lima ratus tujuh puluh empat miliar dua ratus juta rupiah);

5. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen atau sejumlah Rp783.000.000.000,00 (tujuh ratus delapan puluh tiga miliar rupiah). Selengkapnya baca di sini. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!