Dua tahun berlalu, kematian Akseyna masih jadi misteri

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dua tahun berlalu, kematian Akseyna masih jadi misteri
Polisi sulit mencari barang bukti yang baru karena kondisi TKP sudah berubah dan tidak steril.

JAKARTA, Indonesia – Tanggal 26 Maret selalu menjadi hari yang pilu bagi Sus Mardoto, ayah Akseyna Ahad Dori. Sebab, pria yang bertugas di TNI Angkatan Udara dengan pangkat Kolonel itu kehilangan putera keduanya di Danau Kenanga Universitas Indonesia.

Jasad Akseyna terlihat mengambang di danau kampus, tempatnya menuntut ilmu. Menurut penelusuran Krishna Murti yang ketika itu masih menjabat sebagai Direktur Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, mahasiswa program studi Biologi FMIPA itu sengaja ditenggelamkan oleh pelaku ketika dalam keadaan pingsan.

Ketika jasadnya dievakuasi, polisi menemukan ada batu di dalam tas ransel berwarna hitam yang dibawanya. Selain itu, terdapat luka lebam pada kepala dan tubuh korban. Sepatu korban juga robek diduga akibat diseret.

Sehingga, jelas bahwa mahasiswa yang akrab disapa Ace itu dibunuh dan bukan bunuh diri. Jasad Ace dievakuasi oleh polisi pada tahun 2015. Kini setelah dua tahun berlalu, Mardoto belum putus harapan untuk mencari tahu siapa yang tega membunuh buah hatinya.

Hingga kini Mardoto mengaku masih terus menjalin komunikasi dengan pihak kepolisian untuk mengetahui perkembangan kasus puteranya itu. Tetapi, dia merasa selama dua tahun terakhir tidak ada perkembangan yang cukup signifikan dari kasus kematian puteranya tersebut.

“Yang kami rasakan secara manusiawi memang setiap orang akan menemui kematian. Saya ikhlas (kematiannya), biar dia di sana lapang. Yang kami permasalahkan kasusnya kok tidak terasa perkembangannya? Bukannya bukti-bukti petunjuk di awal sudah banyak ditemukan oleh kepolisian?” tanya Mardoto yang dihubungi Rappler pada Minggu, 26 Maret.

Dia mengaku menyayangkan sikap polisi yang sempat mengambil kesimpulan bahwa anaknya bunuh diri tanpa dilakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka sempat memiliki dugaan demikian karena ditemukan surat wasiat yang diduga ditulis oleh Ace di kamar kostnya.

Mardoto menduga ada beberapa hal yang membuat kasus ini sulit diungkap polisi. Salah satu yang menjadi catatannya adalah TKP Ace ditemukan tewas justru tidak dijaga secara steril. Begitu pula TKP di kamar kost di Wisma Widya yang berada di Kelurahan Kukusan, Beji, Depok.

“TKP berantakan, baik di danau dan di kamar kost. Bahkan, di kamar kost sudah pernah dimasuki oleh rombongan yang mengaku teman anak saya. Ini menjadi seperti memburamkan penyidikan. Tentunya ini harus dibalas dengan penyidikan yang lebih kuat untuk membalas kesalahan awal,” kata Mardoto.

Dia mengaku selama ini menyerahkan kasus tersebut sepenuhnya kepada polisi untuk diselidiki. Walaupun menurutnya, keluarga Ace mempunyai kemampuan untuk melakukan penyelidikan seorang diri.

“Dari keluarga kami memang ada yang bisa menggunakan ilmu psikolog, karena ada memiliki gelar Master Psikologi, ibu Ace dosen dan saya (memiliki latar belakang) militer. Dalam hal ini kami menganalisis saja meskipun dalam beberapa hal,” kata dia.

Mardoto mengaku pernah masuk ke kampus anaknya secara diam-diam. Tetapi, hal itu dilakukan dalam batas untuk kepentingan mencari barang bukti.

Selain kecewa terhadap proses penyelidikan yang dilakukan polisi, Mardoto juga menyayangkan sikap Universitas Indonesia (UI) yang tertutup dan tak melihat kasus ini sebagai sebuah kasus yang perlu diungkap. Mardoto pernah melayangkan surat secara terbuka kepada pihak UI dengan tembusan kepada Komnas HAM dan Ombudsman. Isi surat itu meminta kepada UI agar dibentuk tim internal untuk menyelidiki kasus tersebut.

“Tapi, pihak UI sepertinya tidak melihat kasus ini seperti kasus yang harus dibongkar dan mencari pelakunya. Pihak UI tidak mau membentuk tim,” katanya.

Kendati membentur tembok dan banyak tantangan yang harus dihadapi, tetapi dia mengaku tetap optimistis. Dia berharap kasus puteranya segera terungkap.

“Sebesar apapun yang menutupi pasti ada titik celah yang terungkap. Dan memang waktu yang menjawab. Masih optimis berharap ada titik terang,” tutur dia.

Keluarga diakui Mardoto memang masih dilanda kesedihan. Tapi, dia menyebut keluarganya perlahan-lahan sudah mulai bangkit dari keterpurukan akibat kasus kematian Ace. Jika mereka teringat Ace, keluarga memilih berziarah dan mendoakan mahasiswa berusia 18 tahun itu.

Dia juga berharap bagi pelaku yang masih berkeliaran agar segera sadar dan menyerahkan diri. Menurutnya, jika memang perbuatanya tidak bisa dibalas oleh manusia, maka Tuhan yang akan membalasnya.

“Saya harap pelaku sadar, karena apa yang telah dilakukannya akan ada balasan dari Tuhan. Kami berharap tetap diberi keadilan,” tutur Mardoto.

Tetap buka kasus

Dari kacamata kriminolog Universitas Indonesia, Kisnu Widagso, kasus kematian Ace memang tidak mudah untuk diungkap polisi. Sebab, jasadnya ditemukan di danau. Sementara, bukti-bukti mudah rusak jika berada di dalam air.

“Jika ditanya faktor apakah kasus itu sulit atau mudah diungkap bisa merujuk kepada standar seberapa integritas Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seharusnya, TKP jangan dirusak. Sekarang, apakah TKP masih utuh atau sudah rusak? Apakah pelaku meninggalkan jejak memadai untuk dilakukan pengembangan?” tutur Kisnu mengungkapkan analisanya ketika dihubungi Rappler pada Minggu, 26 Maret.

Dia mengakui jika TKP kasus kematian Ace sudah tak lagi steril. Selain barang bukti di danau yang kemungkinan besar sudah rusak karena larut di air, masyarakat yang seharusnya tidak mendekat ke TKP justru malah lalu-lalang di sekitar area tersebut.

Belum lagi tidak ada saksi yang berada di danau ketika kejadian pembuangan jenazah dilakukan di danau.

“TKP tidak bisa diisolir, sehingga bukti dan sisa kejahatan rusak. Sekarang, sulit mau mengembangkan kasus ini dari mana,” tuturnya.

Jika memulai penyelidikan dilakukan dari teman-teman Ace, pasalnya tidak ada yang melihat dan mengetahuinya. Seandainya pemeriksaan dimulai dari orang tua, mereka justru berada jauh di Yogyakarta.

“Bukti yang ditinggalkan oleh pelaku pembunuhan Ace di lokasi kejadian pun minim bukti. Merujuk pada kasus anak kecil yang tewas dan dimasukan ke dalam kardus tempo hari di Jakarta Barat lebih mudah diungkap, karena ada bukti yang ditinggalkan oleh pelaku,” katanya.

Menurut Kisnu kendati tergolong kasus yang sulit, tetapi bukan tidak mungkin bisa diungkap. Hanya saja untuk memulai kembali penyelidikan terbentur fakta harus dimulai dari mana.

Kisnu menyarankan agar kasus kematian Ace tetap dibiarkan saja terbuka. Sebab, setiap kasus memiliki batas kadaluwarsanya. Nanti, jika dalam beberapa tahun ke depan ditemukan tindak pidana dengan modus yang sama, maka polisi dapat membuka kembali, lalu mencocokan hipotesa kasus yang satu dengan kasus Ace.

“Di negara besar juga banyak kasus yang belum bisa diungkap. Makanya, tetap saja biarkan kasus ini dibuka. Siapa tahu ada modus operandi yang sama, sehingga polisi bisa mengembangkan kasus ini,” tutur dia.

Kisnu juga meminta agar media tetap mengawal kasus tersebut. Tetapi, jangan menekan polisi. Biarkan saja kepolisian bekerja untuk mengumpulkan barang bukti.

“Polisi juga bingung, karena barang buktinya kurang. Sekarang yang penting, tetap cari bukti dengan kasus tetap berjalan dan berusaha,” katanya.

Sementara, kepada polisi, Kisnu berharap mereka bisa mengumumkan kepada publik soal hasil penyelidikannya. Jika kepolisian buntu dan salah mengambil hipotesa bahwa Ace korban pembunuhan, maka mereka harus secara jantan mengatakan demikian dan menyertakan bukti-bukti yang ada.

“Polisi kan bisa salah, seperti kita melakukan penelitian. Ketika hipotesa kita salah, buktikan memang itu salah tetapi dengan data. Nah, masalahnya polisi tidak ada data itu. Mau kasus ini pembunuhan atau bunuh diri, polisi harus memaparkan datanya,” tutur Kisnu.

Dipanggil Ombudsman

Dihubungi secara terpisah, anggota Ombudsman dari unsur kepolisian, Adrianus Meliala mengatakan kasus kematian Ace memang menjadi salah satu perhatian organisasinya. Mereka sudah pernah memanggil terhadap Polres Depok untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut.

“Kami kan baru bulan kedua dan ketiga tahun ini mengadakan pertemuan dengan Polres Depok. Kami menanyakan kembali kasus tersebut. Tapi karena Kapolresnya baru, mungkin mereka melakukan semacam review ulang gitu terhadap apa yang sudah dilakukan,” ujar Adrianus.

Kapolres Depok kemudian melakukan pemeriksaan ulang terhadap orang yang dipanggil. Dengan harapan muncul petunjuk yang selama ini mungkin terlewatkan. Ombudsman masih mengamati bagaimana cara polisi bekerja memecahkan kasus tersebut.

Dia juga ingin memastikan jika pihak kepolisian tidak melakukan maladministrasi, seperti pembiaran kasus.

“Kalau memang mau terus dibuka lakukan langkah-langkah jangan didiamkan atau kalau memang tidak dibuka dan mau dihentikan silahkan, tapi nanti ada implikasi yakni mungkin keluarga tidak puas dan meminta kasus dibuka lagi. Tapi ketika polisi menggantung kasus itu salah. Itu yang kami pastikan apakah polisi menggantung kasus atau kesulitan dipecahkan,” kata Adrianus.

Belum dapat bukti baru

BARANG BUKTI. Pengembangan Kasus Pembunuhan Akseyna Tim Penyelam dari Brimob Kelapa Dua menyisir TKP pembunuhan Akseyna Ahad Dori untuk mencari bukti baru di Danau Kenanga, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin, 5 Oktober 2015. Foto oleh Indrianto Eko Suwarso/ANTARA

Sementara, Kasubdit Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Hendy F. Kurniawan mengatakan, kasus Ace memang merupakan pekerjaan rumah bagi dirinya saat masuk menjabat sebagai Kasubdit di Polda Metro Jaya.

“Itu (kasus Ace) pekerjaan rumah bagi saya yang pertama sejak saya menjabat. Kan concern saya ke (kasus) Akseyna tetapi ada beberapa benturan misalkan dari olah TKP awal, kemudian pemeriksaan saksi yang sudah lama. Setelah diperiksa lama, berhenti itu jadi problema sendiri ketika kita membuka kembali sebuah case (kasus),” ujar Hendy yang ditemui di Polda Metro Jaya pada Jumat, 24 Maret.

Dia mengakui jika hingga saat ini, polisi masih kesulitan untuk menemukan bukti baru dalam proses penyelidikan. Tetapi, ada beberapa analisa yang pembuktiannya harus dilakukan dengan menggunakan metode scientific investigasi.

Kesulitan lainnya yang dia hadapi yakni kondisi TKP yang berbeda. Saat ini TKP sudah terkontaminasi.

“Kalau sudah setahun itu kan susah untuk dianalisa, tapi tetap kami lakukan upaya yang intinya sains investigasi yang mengarah kepada dugaan pelaku,” kata dia.

Dari analisa barang bukti yang ditemukan berupa surat wasiat, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini memang mendapatkan informasi dari ahli Grafologi adanya perbedaan karakter penulisan.

“Dalam kesimpulan ahli itu ada dua penulis yang berbeda tetapi berbedanya ini siapa kan kami harus cari pembanding. Nah ini, yang kami harus intens untuk mencari pembanding siapa penulis yang memodifikasi tulisan tersebut,” kata Hendy lagi.

Sementara, untuk pemeriksaan saksi, sudah ada 13 saksi yang diperiksa. Walaupun sebelumnya, pihak kepolisian menyebut mereka sudah memeriksa 17 saksi. Saksi-saksi itu terdiri antara lain dari keluarga, teman kuliah dan penjaga tempat Ace kost.

Semoga kepolisian tidak menyerah dan terus mengungkap kasus kematian Akseyna. Sebab, kasus ini dapat mencerminkan kinerja kepolisian dalam kasus serupa lainnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!