Waspada: Bencana longsor di sekitar kita

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Waspada: Bencana longsor di sekitar kita
Sebanyak 40,9 juta jiwa beresiko terpapar bencana longsor.

 

JAKARTA, Indonesia — Longsor yang menyapu puluhan rumah di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, sudah terjadi tiga hari lalu. Namun bayangannya belum benar-benar hilang dari benak Ismiatun.

Saat bencana itu terjadi, ibu berusia 47 tahun ini sedang memasak. Ia terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara bergemuruh yang sangat hebat. Saat itu, ia langsung bisa menebak apa yang terjadi: dinding tebing di dekat rumahnya ambrol!

Ismiatun langsung berlari mencari ibu mertuanya di dalam rumah lalu menggandengnya ke luar. Sementara suara gemuruh tanah semakin terdengar jelas. Ia mempercepat langkah namun gundukan tanah menerjang bak air bah.

“Saya terlepas dari gandengan ibu saya, lalu saya lari keluar rumah,” kata Ismiatun.  Ia sempat menoleh ke belakang untuk memastikan keselamatan ibu mertuanya. Namun yang dilihatnya hanya gundukan tanah. “Rumah saya sudah tertimbun.”

Selain kehilangan ibu mertua, Ismiatun juga harus merelakan anak dan 10 ekor kambingnya ‘dilahap’ tanah. Bencana longsor yang datang pada Sabtu pagi, 1 April 2017, itu telah mengambil semua yang dicintainya hanya dalam hitungan detik.

Kini, untuk sementara, Ismiatun tinggal di rumah kepala Desa Banaran yang ‘disulap’menjadi tempat pengungsian para korban longsor. Di sana puluhan warga ikut mengungsi bersamanya.

Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) menghitung jumlah korban tanah longsor yang menerjang Desa Banaran mencapai 28 orang. Sampai hari ini, baru tiga orang yang berhasil dievakuasi. Ketiganya dalam kondisi tewas. Sementara 25 korban lainnya masih hilang tertimbun tanah. Mari berdoa ke-25 orang ini masih hidup.

Sudah diprediksi

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan tanda-tanda bencana longsor yang menerjang Desa Banaran sebenarnya sudah muncul sejak 11 Maret.

Saat itu warga menemukan retakan pada dinding tebing Banaran. Sepekan kemudian retakan pada tebing itu semakin melebar hingga mencapai 9 meter. Bahkan, pada 26 Maret, retakan bertambah lagi menjadi 15 meter.

Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo kemudian menginstruksikan warga untuk mengungsi ke rumah Kepala Desa mereka. Karena pada saat itu, hujan terus mengguyur daerah tersebut. Hal ini bisa menyebabkan dinding tebing yang telah retak tersebut mendadak ambrol.

Namun warga hanya mengungsi ketika malam. Saat pagi, mereka kembali ke rumah untuk memanen jahe. Ketika banyak warga sedang memanen jahe inilah bencana longsor itu datang. BNPB mencatat peristiwa ini terjadi pada pukul 07:40 WIB

“Sejak adanya tanda-tanda longsor, masyarakat kemudian mengungsi sementara pada malam hari. Sementara, di siang harinya mereka kembali ke rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari,” kata Sutopo.

Siapa yang menyangka jika maut bernama tanah longsor itu justru datang pada pagi hari, ketika cuaca sedang cerah dan jahe siap dipanen? 

Bukan semata karena hujan

Beberapa hari setelah longsor menyapu puluhan rumah warga, Tim kaji cepat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama BNPB dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) langsung terjun ke lokasi.

Mereka ingin mencari penyebab tragedi mengerikan ini. Tim menemukan hujan deras yang turun pada malam sebelum longsor bukanlah satu-satunya penyebab ambrolnya dinding tebing.“Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya longsor,” kata salah satu tim ahli dari UGM, Bagus Bestari Kamarullah, Senin 3 April 2017.   

Ia menyebutkan longsor yang menyapu Desa Banaran antara lain karena tingkat kemiringan tebing yang sangat curam. Kondisi ini diperparah dengan struktur bebatuan tersebut yang berupa lapukan dari letusan gunung berapi.

Selain itu, tanaman yang tumbuh di sekitar tebing juga bukan jenis tanaman yang bisa ‘mengikat’ tanah. Bagian lereng bukit, misalnya, ditanami pohon-pohon jahe. Ada juga pohon bambu. “Tanaman bambu itu tidak cocok di tebing,” kata Bagus.

Bencana mematikan

Tak keliru jika Indonesia disebut negeri yang penuh dengan potensi bencana. BNPB mencatat, sejak awal tahun hingga 2 April 2017, terjadi 882 bencana di tanah air. Sebanyak 251 dari 882 bencana tersebut adalah tanah longsor. Korban tewas akibat tanah longsor yang terjadi pada periode tersebut mencapai 22 orang. Angka ini belum termasuk korban longsor di Ponorogo. 

Tahun lalu, bencana longsor menempati urutan kedua dalam daftar bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Total, sepanjang 2016, terjadi 612 bencana longsor. Angka ini hanya kalah dari bencana bencana banjir yang terjadi hingga 766 kali. 

“Longsor bencana mematikan, korbannya banyak,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pada Minggu, 2 April 2017. Jika ancaman bencana longsor ini tak segera diantisipasi, bukan tak mungkin korban jiwa akan terus bertambah.

Sebab BNPB mendata setidaknya ada 274 kabupaten/kota di Indonesia yang berada di daerah rawan longsor. Daerah-darah rawan longsor tersebut antara lain wilayah sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

BNPB juga menghitung 40,9 juta jiwa yang tinggal di daerah-daerah tersebut beresiko terpapar bencana longsor. Bahkan sebanyak 17,2 persen dari 40,9 juta jiwa tersebut beresiko tinggi tertimbun longsor.

Pada saat yang sama, pemahaman masyarakat terhadap bencana ini masih rendah. “Kemampuan masyarakat untuk menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor masih minim,” kata Sutopo.

Kenali sebelum longsor terjadi

Banyaknya daerah yang masuk kategori rawan longsor membuat bencana satu ini seolah berada di sekitar kita. Kabar baiknya, bencana longsor bisa diprediksi. Berikut beberapa ciri yang menandakan bahwa suatu daerah rawan terjadi lonsor:

  • Daerah berbukit dengan kelerengan lebih dari 20 derajat
  • Lapisan tanah tebal di atas lereng
  • Sistem tata air dan tata guna lahan yang kurang baik
  • Lereng terbuka atau gundul
  • Terdapat retakan tapal kuda pada bagian atas tebing
  • Banyaknya mata air/rembesan air pada tebing disertai longsoran-longsoran kecil
  • Adanya aliran sungai di dasar lereng
  • 8. Pembebanan berlebihan pada lereng karena adanya bangunan.
  • 9. Pemotongan tebing untuk pembangunan rumah atau jalan

 —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!