Dilema jurnalis ketika meliput kegiatan militer

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dilema jurnalis ketika meliput kegiatan militer

EPA

Di satu sisi, mereka diwajibkan untuk mengabarkan berbagai informasi kepada publik. Di sisi lain mereka dibatasi oleh aparat militer karena menyangkut keamanan negara.

JAKARTA, Indonesia – Sebagai pembawa pesan bagi publik, jurnalis diharapkan bisa meliput dan mengabarkan berbagai peristiwa. Termasuk kegiatan yang bersentuhan dengan aparat militer.  

Sayangnya, tidak semua jurnalis bisa mendapatkan informasi dengan mudah. Salah satunya ketika berhadapan dengan aparat militer. Mereka kerap membatasi informasi dengan alasan menyangkut rahasia dan keamanan negara. 

Bahkan, tidak sedikit di antara aparat militer yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis yang tetap meliput satu isu tertentu yang dianggap sensitif. Salah satunya, ketika satu pesawat militer jatuh dan menimbulkan korban jiwa. 

Data dari organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut tahun 2016 terdapat 78 tindak kekerasan yang dialami oleh jurnalis. Laporan pada periode 2012-2016 menyebut, enam kasus di antaranya melibatkan oknum personel TNI Angkatan Udara.

Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI Angkatan Udara, Jemi Trisonjaya mengakui bahwa aturan yang berlaku di TNI memang kaku dan tidak fleksibel. 

“Oleh sebab itu, banyak di antara anggota yang berusaha idealis dengan menerapkan aturan tersebut ketika menghadapi wartawan yang tengah meliput,” ujar Jemi yang ditemui di Forum Koordinasi dan Konsultasi (FKK) Kemenkopolhukam pada Selasa, 12 April lalu. 

Jemi menjelaskan anggotanya perlu menerapkan aturan itu karena ada banyak isu yang dianggap sensitif, misalnya terkait penjagaan aset negara serta keselamatan banyak pihak. 

“Pesawat TNI AU yang jatuh, dikhawatirkan bisa meledak karena membawa amunisi. Hal itu tentu dapat membahayakan wartawan yang berusaha meliput dari dekat,” kata Jemi menjelaskan alasan mengapa aturan tersebut kaku. 

Selain itu, pihak TNI juga harus mempertimbangkan dampak psikologis pada keluarga korban jatuhnya pesawat. Mereka pasti sulit menerima ada anggota keluarga yang terluka atau meninggal akibat peristiwa tersebut. 

Pernyataan Jemi tersebut diamini oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo. Dia mengatakan terkadang pewarta lebih fokus kepada tugas yang diberikan oleh kantor dan mengabaikan keselamatan ketika meliput peristiwa jatuhnya pesawat. 

“Kadang wartawan tidak tahu risikonya. (Yang penting) datang saja dan ambil foto,” ujar pria yang akrab disapa Stanley itu di tempat yang sama. 

Dikenai sanksi

Namun, TNI AU berusaha untuk tidak menutup mata terhadap adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh personel mereka. Usai menerima laporan adanya tindak kekerasan, pelaku akan diproses di dalam internal aparat pertahanan di bidang dirgantara itu. Namun, sering kali proses internal tidak memuaskan wartawan yang menjadi korban. 

“Tuntutan dari AJI dan yang lainnya tetap kita lakukan proses hukum tetapi tidak sama dengan yang diharapkan teman-teman wartawan, ’harusnya dipecat, harusnya dipenjara’. Tidak seperti itu. Tentunya ada aturan-aturan hukum yg berlaku di TNI dan TNI AU,” kata Jemi.

Sebelum, menjatuhkan sanksi, pihak TNI akan mempertimbangkan mengapa tindak kekerasan bisa terjadi. Bisa saja oknum TNI sedang melaksanakan tugasnya. Namun, tidak tertutup kemungkinan faktor emosi bisa menyulut tindak kekerasan tersebut. 

Oleh sebab itu, ke depannya TNI AU ingin mengedukasi pewarta media mengenai hal-hal apa saja yang boleh dilakukan peliputan. Jemi mengatakan TNI AU sudah mengadakan tur bagi pers dan menjelaskan seluk-beluk TNI AU. Tujuannya agar jurnalis bisa mengetahui banyak informasi dan peraturan internal di dalam TNI AU. 

Dilema aturan

Sayangnya, adanya pembatasan tersebut menjadi dilema bagi jurnalis sendiri. Mereka khwatir kebebasan untuk memperoleh informasi dibatasi. 

Dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers, pasal 4 ayat 3 tertulis “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Sementara, dalam UU nomor 14 tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi ada bab yang mengatur informasi yang dikecualikan, salah satunya mengenai militer Indonesia. 

Di dalam UU tersebut pasal 17c bab 5 poin 3 mengatur jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya. Selain itu juga ada poin yang mengatur tentang gambar dan data tentang situasi serta keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer sebagai informasi yang tak boleh diungkap ke publik.

Kedua aturan itu dianggap menimbulkan wilayah abu-abu dalam peliputan di wilayah kemiliteran, termasuk TNI AU. 

“Kebebasan pers adalah isu penting yang kita bahas pada hari ini. Memang tejadi satu hal yang cukup dilematis,” ujar Menkopolhukam Wiranto saat membuka FKK yang diadakan di Klub Eksekutif Persada Halim, Jakarta Timur. 

Tetapi, di mata Yosep kebebasan pers juga harus ada batasnya. Oleh sebab itu, dia berencana untuk membuat pedoman-pedoman peliputan setelah berkonsultasi dengan TNI AU. 

“Apa saja yang boleh dan tidak boleh (diliput). Misalnya apa yang boleh dilakukan di Lanud Halim,” kata Yosep.

Sebelumnya, Dewan Pers juga telah membuat usulan panduan meliput terorisme yang diterbitkan oleh AJI di tahun 2013. Dewan Pers pun juga membuat pedoman kegiatan yang sama.  Panduan-panduan tersebut, kata Yosep, diharapkan mencegah terjadinya kekerasan terhadap jurnalis dan mendorong mereka untuk ikut serta menjaga kestabilan negara. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!