Bisakah kasus kematian wartawan Udin dibuka kembali?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bisakah kasus kematian wartawan Udin dibuka kembali?
Sedikitnya ada 11 kasus pembunuhan wartawan yang tergolong “dark number”. Jangan sampai nasibnya seperti Udin.

JAKARTA, Indonesia – Menjelang dimulainya rangkaian acara hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day), 3 Mei, Dewan Pers berbagi gundah-gulana. Dewan Pers menjadi tuan rumah WPFD 2017, sebuah acara tahunan yang dikelola oleh UNESCO, badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.  

“Alasan penunjukan adalah karena Indonesia menjadi patron kebebasan pers di Asia, di mana ada jaminan hukum dan self regulation by press community,” kata Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers. Masalahnya, dunia pers di Indonesia masih dihantui kasus-kasus pembunuhan wartawan yang belum terungkap (dark number). Ini Pekerjaan Rumah Tangga (PR) yang tak kunjung usai.

“Setiap tahun lembaga internasional termasuk UNESCO bertanya kepada pemerintah, kepada Dewan Pers mengenai kasus-kasus ini.  Setiap kali pula kami di Dewan Pers bertanya ke kepolisian, bagaimana perkembangan kasus ini?” kata Stanley, panggilan akrab Yosep Adi Prasetyo dalam kegiatan Kelompok Diskusi Terfokus (FGD) dengan tema  “Menakar Suatu Kasus Kedaluwarsa”, yang diadakan Dewan Pers pada hari Jumat (28 April 2017. 

Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah mantan anggota Dewan Pers termasuk Prof Bagir Manan, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Mudzakir dan wakil dari Mabes Polri. “Kemudian, ada juga tagihan dari komunitas wartawan. Kita tahu, setiap tahun ketika orang melakukan tabur bunga di makam Udin selalu ada aksi untuk menagih janji dan solidaritas kepada Udin, yang aksinya salah satunya ke Kapolda untuk menanyakan apa yang sudah dilakukan oleh Polda DIY,” ujar Stanley.

Dewan Pers membuat daftar beberapa pertanyaan yang sering diajukan, terkait dengan nama-nama yang sering ditanyakan. Ada 11 nama, 11 kasus. Ini catatan yang disampaikan Stanley:  “Pertama, Udin tahun 1996.  Kedua, Naimullah dari Sinar Pagi di Kalimantan Barat, juga dark number, tidak tahu penanganannya seperti apa. Ketiga, Agus Mulyawan, Asia Press, meninggal di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999. Kita akan coba men-declare ini karena Komisi Kebenaran dan Persahabatan telah melakukan penyelidikan, menemukan fakta-fakta. Kita akan lacak kembali bagaimana penjelasan mengenai kematian Agus Mulyawan yang ditemukan satu makam dengan salah satu pastor yang meninggal dunia juga. Keempat, Sori Ersa Siregar, Aceh pada 2003, wartawan RCTI. Harus disampaikan secara terbuka,  ini bukan urusan polisi, ini urusan Dewan Pers untuk menjelaskan alasannya. 

Kelima, kasus Elyudin, Berita Sore, wartawan di Nias, yang sampai sekarang tidak ditemukan orangnya, jenasahnya, dan keluarganya tidak tahu dimana Elyudin. Ini harus di-declare juga.  Keenam, Herliyanto, Jember. Kejadiannya di Probolinggo. Tersangkanya bebas, dan dinyatakan orang ini tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukum karena pelakunya gila, dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Itu sedang ditagih UNESCO, Paris.  Dewan Pers harus menjawab dengan tenggat waktu 31 Mei 2017. Jadi, nanti kita bersama Bareskrim menyiapkan jawabannya.  Ketujuh, Prabangsa, sudah diadili. Pelakunya dihukum. Dia dibunuh karena dianggap menghina Bupati. Kedelapan, M. Syaifullah, wartawan Kompas, meninggal di Kalimantan Timur pada 2010. Kasusnya juga dark number. Kita sedang melacak dari  kompas. Kita juga bertanya ke teman-teman AJI di Kalimantan Timur, juga mungkin PWI, untuk menjelaskan tentang kematian Muhammad Syaifullah.   

Kesembilan, Ardiansyah dari Tabloid Jubi. Motornya diparkir di tengah jembatan. Orangnya lompat dari jembatan. Jenasahnya ditemukan 2 hari kemudian. Itu cukup di-declare oleh Dewan Pers saja karena keterangan sudah ada dan di Bareskrim sudah ada update informasi. Kesepuluh, Alfrets, Majalah Pelangi, meninggal di Kisar 2010. Penyelidikannya berhenti karena memang ini bukan kasus pembunuhan terkait dengan wartawan tapi terkait dengan konflik horisontal, di mana  Alfrets bagian dari pihak yang diidentifikasi kemudian menjadi sasaran dari amuk komunal. Kesebelas, Ridwan Salamun, sudah bukan urusan Polri lagi karena sudah keluar putusan Mahkamah Agung yang memutuskan bahwa pelakunya harus dihukum penjara. Hanya, pelakunya belum dieksekusi. Itu tanggungjawab Kejaksaan.”

Yang paling fenomenal memang kasus terbunuhnya Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), wartawan Surat Kabar harian BERNAS, di Yogya. Stanley menyampaikan secara garis besar kasus yang selalu menjadi ganjalan bagi situasi kemerdekaan pers di negeri ini. Udin membuat serial atau puluhan tulisan di Bernas tentang sejumlah penyelewengan yang dilakukan Bupati Bantul ketika itu, Kolonel (Art) Sriroso Sudarmo, yang disebut berambisi akan menjadi bupati lagi untuk masa jabatan periode kedua (1996-2001). Salah satu tulisan yang dianggap memojokkan adalah ini, karena Udin menulis “Tugas utama Kades, raih suara 200 Persen untuk Golkar”.  “Padahal, kita tahu, suara hanya 100 persen. Artinya, itu kemenangan telak untuk Golkar,” kata Stanley.  Dia kemudian memaparkan kembali kronologi kasus kematian wartawan Udin.

Kronologi Kasus Kematian Wartawan Udin

Tanggal 12 Agustus 1996, sekitar Pukul 22.00 WIB  rumah Udin diawasi dua orang tidak dikenal dengan kendaraan sepeda motor. Satu di antaranya sempat mendekat ke rumah Udin dan mengamati keadaan dalam rumah melalui lubang kunci pintu depan rumah. Ada saksinya. Salah satu tetangga Udin, Ny Ponikem memperhatikan tingkah aneh lelaki tersebut. Ia kemudian mencoba mendekat. Tapi saat ditanya dan dibantu membangunkan pemilik rumah, lelaki tersebut cepat-cepat pergi. Udin yang terlanjur keluar rumah tidak berhasil menjumpai lelaki mencurigakan yang menurut penuturan saksi ini ingin menemuinya. 

Tanggal 13 Agustus 1996, Sekitar Pukul 21.00 WIB, di kantor BERNAS, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono (wartawan BERNAS untuk liputan Bantul). Lelaki tersebut mengaku sebagai Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Wirokerten, Bantul, dan kedatangannya untuk urusan tanah. Tetapi setelah pertemuan singkat itu, Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan diketahui bahwa orang yang ditemui Udin tersebut adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah. 

Penyerangan terjadi pada Selasa malam itu sekitar pukul 23.30 WIB, Udin dianiaya lelaki tak dikenal di rumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tidak sadarkan diri. Dia dipukul, disodok bagian perut, kepalanya dipukul. Ia kemudian dibawa ke RSU Je-bugan Bantul. Karena RSU ini tak mampu tangani kondisi pasien yang luka parah, Udin dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Peristiwa itu didahului dengan beberapa kejadian tidak biasa. Diawali dari orang bernama Suwandi. 

Rabu 14 Agustus 1996 Pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami Udin malam sebelumnya. Pada hari Jumat Pukul 16.58 WIB, tim medis RS Bethesda menyatakan Udin meninggal dunia setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Artinya, tidak pernah bisa ditanya juga bagaimana dia dipukul dan sebagainya. Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian BERNAS untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.

Tanggal 19 Agustus, malam hari sekitar pukul 20.00 WIB, Serma Edy Wuryanto yang waktu itu dikenal sebagai Franki (yang dikenal penduduk setempat sebagai mandor pengeboran minyak di Laut Selatan) mengantar dua anggota Polres Bantul, berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orang tua Udin di Gedongan, Trirenggo, Bantul. Mereka meminjam sisa darah operasi Udin yang tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin. Frankia tau Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural. 

Pada tanggal 23 Agustus 1996, dalam sebuah konperensi pers akbar di kantor Pemda Bantul, Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo menyatakan diri tidak terlibat dalam kasus ini. Sedangkan Kapolres Bantul Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Kapolres juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers tersebut berlangung sambil mengatakan, “ biar Bupati Bantul bisa tidur nyenyak”. 

Pemasangan Police line  yang terlambat dianggap aneh oleh teman-teman wartawan. 

Pada tanggal 26 Agustus 1996, sekitar pukul 09.00 WIB, di Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin, polisi memasang police line, setelah 13 hari kejadian pembunuhan Udin berlalu. Di Jakarta, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI  Syarwan Hamid  menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas. Pada tanggal  27 Agustus, sekitar pukul 10.30 WIB, police line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh polisi. Dengan demikian police line ini hanya berumur kurang lebih 25 jam.  

Tanggal 2 September 1996, Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS menyatakan pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin. Keesokannya, mantan Mendagri Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul  Sri Roso Sudarmo. 

Tanggal 4 September 19996, Marsiyem, istri almarhum Udin, secara resmi menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Di kantor LBH Yogyakarta, Marsiyem mengatakan selama ini dirinya dipojokkan polisi agar mengakui adanya masalah perselingkuhan dalam keluarganya. Tanggal  5 September 1996, seorang seniman lukis berhasil membuat sketsa wajah pembunuh Udin dari keterangan Marsiyem. Sketsa wajah itu menurut Marsiyem, 90 persen mendekati wajah asli sang pembunuh. 

FGD Menakar Kedaluwarsa Kasus Hukum, Dewan Pers, 28 April 2017

Tanggal 13 September 1996, Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan Bantul dipanggil Komandan Kodim Bantul dan dicecar dengan pertanyaan seputar keterlibatan DPC PPP Bantul dalam upacara pemakaman Udin. Dandim Bantul mengatakan acara pemakaman Udin sudah dipolitisir. Proses penyidikan polisi terganggu oleh pernyataan orang, ini bukan, ini rekayasa, dan sebagainya.

Tanggal 23 September  1996, Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII mengizinkan pemeriksaan terhadap Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Di Jakarta, anggota Komisi II DPR RI dari FPP Ali Hardi Kiai Demak menanyakan penanganan kasus Udin kepada Menteri Dalam Negeri  Yogi S. Memet  dalam rapat kerja DPR RI di  Komisi II. 

Tanggal 21 Oktober 1996,  Dwi Sumaji, alias Iwik, warga Kavling Panasan Triharjo Sleman dan sopir di CV Dymas Advertizing Sleman, diculik di perempatan Beran Sleman, kemudian dibawa ke Parangtritis. Di Hotel Queen of The South Parangtritis. Iwik mengaku sebagai pembunuh Udin, disaksikan oleh Franki. Franki adalah nama undercover Serma polisi Edy Wuryanto setelah sebelumnya di losmen Agung Parangtritis, Iwik dicekoki minuman keras hingga mabuk, disediakan perempuan, dan diberi janji-janji muluk soal pekerjaan, uang, dan jaminan hidup keluarganya. Sebelumnya ia dijebak oleh Franki dengan alasan diajak bisnis billboard. “Kami berhasil ketemu Franki. Ceritanya tidak seperti itu,” kata Stanley Prasetyo.

Tanggal 24 Oktober 1996, memasuki pemeriksaan tahap ke lima, Dwi Sumaji alias Iwik mencabut seluruh pengakuan dalam pemeriksaan tanggal 21, 22, 23, dan 24 Oktober 1996 (dalam 4 kali pemeriksaan sebelumnya). Pencabutan pengakuan sebagai pelaku pembunuh Udin itu ia lakukan karena merasa dirinya hanya korban rekayasa. Pengakuan terdahulu dia sampaikan karena ia berada di bawah ancaman dan pengaruh alkohol, tekanan dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto. 

Tanggal 9 Desember 1996  Polda DIY menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan Udin di TKP dengan menghadirkan paksa Iwik. Tetapi Iwik berontak dan histeris saat ia dipaksa penyidik Polda DIY untuk memerankan diri sebagai pelaku pembunuhan Udin.

Tanggal 18 Desember 1996 Iwik dilepas dari tahanan Polda DIY dan penahanannya ditangguhkan.  

Tanggal 31 Desember 1996  Marsiyem secara resmi mendaftarkan gugatan kasus pelarungan darah Udin ke PN Bantul. Ini yang muncul di media. Gugatan ini diajukan Marsiyem mengingat terjadi kekisruhan atas nasib sisa darah Udin yang pernah di pinjam oleh Serma Pol Edy Wuryanto. “Tapi, belakangan diketahui bahwa ini kasus penghilangan barang bukti, berupa block note. Jadi sangat berbeda dengan opini, media, dan pengadilan,” ujar Stanley.

Tanggal 22 Januari  1997, kasus gugatan pelarungan darah Udin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul. Nilai gugatan seluruhnya adalah Rp 105.890.240. Dalam perkara ini, tergugat diwakili kuasa hukumnya dari Diskum Polda DIY menolak upaya perdamaian yang ditawarkan Majelis Hakim. Sedangkan  Hakim Sahlan Said SH yang semula diplot untuk memeriksa perkara ini ternyata kemudian mengundurkan diri. 

Tanggal 24 April 1997 Majelis Hakim dalam perkara gugatan menghilangkan barang bukti (block note) memutuskan mengabulkan sebagian gugatan Marsiyem. Serma Pol Edy Wuryanto dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan melawan hukum, sedangkan keterkaitan atasan Serma Edy Wuryanto dikesampingkan oleh hakim, dengan alasan tindakan Serma Edy Wuryanto adalah tindakan yang bersifat pribadi dan bukan atas perintah atasan yang bersangkutan

Tanggal 29 Juli 1997 Iwik mulai disidangkan. 

Tanggal 5 Agustus 1997, Iwik dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi. Dalam eksepsinya, Iwik mengungkapkan dirinya hanya korban rekayasa orang bernama Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto (Kanitserse Polres Bantul) untuk kepentingan bisnis politik dan melindungi Bupati Bantul. 

Tanggal 6 Oktober 1997 Sidang Iwik diteror secara brutal oleh pendukung saksi Serma Pol Edy Wuryanto. Hakim memberikan peringatan dan mengusir keluar seorang pengunjung sidang, pendukung saksi Edy Wuryanto. Iwik menolak kesaksikan Serma Edy Wuryanto dan dia mengatakan bahwa saksi berbohong.

Tanggal 20 Oktober  1997 Iwik membeberkan kesaksiannya. Selain menyatakan korban rekayasa dan bisnis politik, ia mengaku hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. 

Tanggal 3 November 1997 Iwik dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Amrin Naim SH, Yusrin Nichoriawan SH, Ahmad Yuwono SH, dan Hartoko Subiantoro SH. Pertimbangannya dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan Jaksa bahwa Iwik adalah pembunuh Udin. 

Tanggal 2 November 1997, Iwik divonis bebas. Majelis hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny. Endang Sri Murwati, S.H, Ny. Mikaela Warsito, S.H., dan Soeparno, S.H. Pertimbangan hakim membebaskan Iwik, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang dituduhkan selama ini berarti gugur.

Hakim juga menganggap keterangan memberatkan dari Serma Edy Wuryanto dalam persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Kemudian muncul tuntutan dari komunitas pers dan masyarakat agar polisi mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.

Stanley Prasetyo kemudian menunjukkan amar putusan hakim, yang membebaskan Iwik dari dakwaan pembunuhan Udin.

Pertanyaan Besar Menggantung Terkait Kasus Udin

Kasus Udin sudah pernah diangkat ke pengadilan. Pengadilan mengadili Iwik, dan memutus bebas. Pembunuh Udin belum ditemukan. Lantas, apa status pengadilan yang ada? Bagaimana gelar perkara oleh kepolisian yang sebenarnya saat itu? 

Pembunuhan Udin terjadi 21 tahun lalu, saat itu polisi masih menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).  Terhitung sejak pembunuhan Udin, pejabat Kapolda Yogyakarta telah berganti sebanyak 17 kali. 

“Dari segi ketentuan hukum, Dewan Persmerujuk kepada aturan yang ada, tidak  mungkin  membuat pengadilan ulang. Nebis in idem, sesuai Pasal 76 ayat (1). Pasal 78 ayat (1) KUHP menyatakan, “kewenangan menuntut pidana hapus karena lewat waktu (Butir 4): mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun”.  Pertanyaannya, apakah betul per 16 Agustus 2014, kasus Udin sudah kedaluwarsa karena ketentuan hukum?” tanya Stanley kepada peserta FGD.

Bagaimana dengan peluang penyidikan baru? Kasus pembunuhan Udin tidak akan kedaluwarsa karena pembunuhannya belum pernah diadili. Kedaluwarsa terkait dengan hak untuk menuntut seseorang ke pengadilan. “Contoh: Seseorang menulis di surat kabar  yang isinya menyerang nama baik seseorang kemudian dituntut dengan tuduhan melakukan kejahatan dengan pencetakan (P 310 ayat 2 KUHP). Sebelum diperiksa perkaranya, tertuduh pergi ke luar negeri. Baru 1,5 tahun kemudian ia pulang. Maka ia tak dapat dituntut lagi karena hak penuntutan itu telah kedaluarsa,” kata Stanley.

Ketua Dewan Pers kemudian meminta pendapat ahli hukum pidana Prof Mudzakir. Menurut Mudzakir yang hampir setiap tahun diundang berbagai pihak untuk membahas kasus pembunuhan Udin, kasus Udin termasuk delik biasa. Berarti, ada kepentingan umum, pengaduan atau proses penuntutannya tidak perlu ada pengaduan dari pihak korban/dirugikan, yang otomatis menjadi kewajiban aparat penegak hukum untuk memprosesnya. Masyarakat juga boleh melakukan pelaporan. Jadi, istilahnya delik jabatan. Tuntutan itu karena jabatannya. 

Presentasi Ahli Hukum Pidana Prof Mudzakir di FGD Menakar Kedaluarsa Kasus Pembunuhan Wartawan, Dewan Pers (28/4/201)

Terkait dengan delik aduan, dalam konteks ini, harus ada aduan dimana penyidik melakukan penyelidikan setelah aduan. 

Apakah kasus pembunuhan Udin sudah kedaluawarsa sehingga tidak bisa dibuka kembali, menurut Mudzakir, suatu perkara pidana tidak bisa lagi dilanjutkan ke pengadilan jika”

  • Pelaku –belum diproses tapi sudah diduga dia adalah pelakunya, tersangka/terdakwa meninggal dunia. 
  • Pelaku, tersangka, terdakwa, mengalami gangguan jiwa –tadi sudah ada contoh kasus- atau balita –menolak dengan anak. Anak di Indonesia 18 tahun. Saya keberatan dengan UU anak, kenapa 18 tahun.  mahasiswa semester 1, sudah jenggotan, pacar sudah banyak, tapi kalau melakukan tindak pidana masuknya pengadilan anak.  Maka, Saya katakan dalam psikologi perkembangan kejiwaan, itu remaja. Remaja mungkin sampai usia SMA.  Tapi, ini mahasiswa semester 1, semester 2.  Maka, kalau di sini istilahnya balita, sebelum 12 tahun. 
  • Lewat waktu. 

“Ketentuan kedaluwarsa, dibedakan antara delik biasa dan delik aduan. Rinciannya ada Pasal 78. Dalam Pasal 78 jelas sekali ada konstruksi yang dilihat.  Dalam kasus Udin, ada penganiayaan, pembunuhan. Kita anggap itu adalah pembunuhan berencana, berarti 18 tahun. itu yang terberat. Hukum mati atau seumur hidup, 18 tahun. Kalau agak rendah di bawahnya 12 tahun.  Baik 12 tahun maupun 18 tahun, kalau berdasarkan penghitungan itu, sudah masuk kedaluwarsa,” kata Mudzakir. 

Apakah Kasus Pembunuhan Udin Kedaluwarsa?

Menurut Mudzakir, ada dua  hal terkait hal ini. “Tempatnya ada 2 hal: Pertama, pelapor, itu ada batas. Kedua, Penanganan perkara kedaluwarsa. Kalau pengadu sudah habis masa melapor, penyidik –ketika menerima laporan- tidak bisa lanjut. Kedua, yang menjadi masalah, penanganan perkara yang kedaluwarsa oleh aparat penegak hukum. Kalau pengadu, berarti produk hukum yang dikeluarkan adalah cukup ditolak. Perkara  ini tidak bisa lanjut karena sudah kedaluawrsa, sudah closed.  

“Pertanyaannya, bagaimana kalau laporan segera dilaporkan tapi aparat penegak hukum ternyata sampai lampau waktu tidak bisa menyelesaikan. Ini yang menarik.  Hukum yang terkait dengan ini, tidak jelas.  tapi, kalau yang mengadu, jelas sekali.  Misalnya, Delik keluarga,  enam bulan harus selesai. Jadi, batas-batas waktunya selesai.  Pengujian dari hasil proses penyidikan kasus Udin, sampai hari ini masih misterius.  Benar, sudah dikonstruksikan, bahwa ini, ini. Itu pelakunya sangat jelas. tapi, sampai akhir jabatannya tidak pernah ada update progress perkara itu. Ketika ganti pimpinan, kita gelar lagi, sama juga seperti itu,” ujar Mudzakir.

Menurut Mudzakir, menilik proses pengusutan kasus pembunuhan wartawan Udin, dia menduga terjadi beberapa hal:

  • Dari proses ini karena tidak ada gelar perkara yang jelas bisa diuji, diduga terjadi mal-praktek profesi penyidik. Artinya, saat melaksanakan profesi penyidik, mungkin ada bagian-bagian tertentu yang bisa terjadi mal-praktek, mungkin dengan cara menghilangkan bukti yang penting atau lainnya sehingga perkara itu tidak bisa dituntut.  
  • Kemungkinan menyalahgunakan wewenang dalam penyidikan.  Penyalahgunaan wewenang itu hampir setiap tahapan: menahan, memproses, dsb. 

Tanda-tanda itu sudah ditandai dengan adanya Iwik yang menjadi tersangka. Walaupun background-nya ada, masyarakat mungkin banyak yang tidak percaya dengan persidangan Iwik. “Kemudian, penuntut umum menuntut bebas. Itu agak aneh. Kalau dia harus menuntut, seharusnya dites, diuji, ketika pra penuntutan harus rigid, semua proses harus rigid, baru dituntut.  Tapi, ternyata dituntut bebas.  Tuntutan bebas, Saya kira, sah-sah saja.  Hanya, mengapa dalam proses pra-penuntutan itu tidak cermat dalam konteks ini. Itu yang menyebabkan kita menduga-duga: ada apa dibalik itu? kalau tadi saya katakan, potensi dugaan penyalahgunaan wewenang itu menjadi nyata, atau sebagai bukti ada proses yang tidak tepat, atau tadi kalau dikatakan error in persona karena gagal mengkonstruksi motif. Maka, motif menjadi penting.  Motifnya apa? Baru kemudian, arahnya kemana.,” kata Mudzakir.

  • Dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. “Menurut saya, kalau benar asumsi yang saya bangun di sini, apakah juga perkara itu juga ikut berhenti?  Ini menjadi pertanyaan, apakah orang mencari keadilan untuk menegakkan kasus Udin juga harus berhenti?  

Karena bukan korban yang melaporkan kedaluwarsa tapi justru penanganan perkara yang kedaluwarsa yang diduga di dalamnya ada indikasi mal-praktek. ini yang belum diatur dalam KUHAP. Oleh sebab itu, di masa depan perlu dipikirkan: kalau secara ilmiah bisa diuji, ternyata tidak bisa dibuktikan, semua harus angkat tangan. Tapi, kalau ada dugaan seperti itu, seharusnya ada solusi hukum yang lain, prosesnya harus beda. Kalau tiba-tiba di-cut dengan Pasal 78, menurut saya, kurang tepat dan kurang adil dalam konteks ini,” ujar Mudzakir.

Bagaimana menindaklanjuti kasus pembunuhan Udin dan wartawan lain yang terancam kedaluwarsa?  “Saya terus memikirkan, upaya hukum apa lagi? Karena kalau prosedural formal, dalam arti menafsirkan Pasal 78 secara teks, perkara ini closed, tidak bisa dibuka kembali karena sudah melewati batas waktu,” ujar Mudzakir.

Begitupun, Mudzakir sepakat bahwa mendiamkan diri dalam satu proses sampai batas waktu kedaluwarsa, juga tidak boleh sebagai aparat penegak hukum.  Maka, harus ada jaminan profesional bahwa sampai seberapa serius penyidik dengan fakta-fakta yang ada.  Sehingga, publik bisa yakin bahwa ini sulit untuk dibuktikan. “Kalau kejahatan yang lain, sembunyi sampai dimana bisa ditemukan. Kita kagum. Tapi, untuk kasus ini membingungkan karena kejahatannya tidak terlalu sulit untuk dicari pelakunya,” ujarnya. 

Menurut Mudzakir, “Kalau ini bisa selesai di Indonesia saja, prosedurnya apa? Mungkin Mahkamah Agung belum ada gambaran semua terkait dengan kasus seperti ini. apakah perlu dibawa ke internasional.  Kalau ke internasional, bukankah kita juga harus menjaga nama baik Republik Indonesia?  Tapi, kalau diselesaikan di Indonesia, Republik Indonesia juga memberi nama baik untuk dirinya sendiri karena perkara ini menjadi perhatian internasional.  Jadi, dilematis bagian yang terakhir.  

Mantan Ketua Dewan Pers yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengatakan, jika melihat kasus Udin secara murni yuridis, murni digmatik, kasusnya sudah kedaluwarsa. “Itu terjadi 21 tahun yang lalu. Kedaluwarsa, kedaluwarsa, dia kehilangan hak untuk menuntut.  Pertanyaan apakah ada jalan yuridis? Kalau jalan ilmiah, yakin banyak.  Dari perangkat hukum yang ada, apakah ada jalan atau tidak?  Jadi, dari perangkat hukumnya.  Karena, polisi, jaksa harus jalan dari perangkat hukum yang ada.  Dari perangkat hukum yang ada mungkinkah kita menemukan jalan hukum, pembenaran secara hukum, bahwa polisi masih melanjutkan pekerjaan ini? Dasar pemikiran bisa dari pemikiran Prof. Mudzakir,” kata Bagir Manan.

Menurut Bagir, “Andaikata kita mensinyalir bahwa penyidikan tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh -misalnya. Itu harus dibuktikan, tidak bisa hanya sinyalemen dikatakan.  Tapi, periksa mereka. Dan kita harus punya ukuran, ini yang benar-benar, ini tidak benar-benar. Itu semua bicara yuridis. Sekali lagi, dari sudut ketentuan hukum pidana, sudah kedaluawrsa karena sudah 21 tahun. Dari sisi hukum katakan 18 tahun, ini sudah 21 tahun, absolutely sudah kedaluwarsa.  

Tapi, masih bolehkah kasus ini di-review?  Karena dalam KUHA Pidana, perkara itu dihitung sehari setelah perbuatan atau sejak saat korban ditemukan. Udin segera diketahui dia meninggal, tapi ini sudah 21 tahun. Apakah ketentuan yang berbunyi ini bisa ditafsirkan lain? Dari segi penafsiran hukum, apakah masih bisa kita cari-cari penafsiran lain? Misalnya, apa yang kita maksudkan dengan hak menuntut? Apakah hak menuntut itu termasuk hak penyidikan ataukah dia berdasarkan yang lain?  Bagaimana melakukan penuntutan kalau orangnya (pelakunya) tidak dipernah didapatkan?

“Keinginan kita meminta bantuan Polri meneruskan pekerjaan ini, harus punya landasan hukum yang baik.  Tidak bisa hanya keinginan kita saja. Rasa keadilan penting. Tapi kalau sudah jalur hukum, harus tunduk pada legal prosedur itu sendiri, tidak bisa hanya bicara principles,” ujar Bagir.

Meskipun menyatakan bahwa kasus Udin sudah kedaluwarsa, Bagir Manan memahami niat baik Dewan Pers untuk meminta membuka kembali kasus pembunuhan wartawan Udin dan wartawan lain yang tergolong dark number. “ Saya mengatakan kedaluwarsa. Tidak berarti saya tidak ingin menegakkan keadilan.  Tapi, kalau kita belum kita menemukan pembenaran yang logis, untuk melanjutkannya. Sepanjang ketentuan tertulis, bisakah kita menemukan satu prinsip, asas, atau apa yang memungkikan kita melanjutkkan itu? Apakah perlu disertasi baru?” kata Bagir Manan.

Pihak dari kepolisian sepakat dengan apa yang disampaikan Bagir Manan.

FGD kemudian membahas alternatif lain untuk menuntaskan kasus Udin, termasuk melalui jalur perdata. “Tadi saya juga memberikan alternatif, perdata. Kalau perdata, sifatnya individual keluarga korban,” kata Mudzakir.  Dia juga mengingatkan perlunya menegakkan perlindungan hukum terhadap wartawan, kemungkinan terjadi victimisasi karena pemberitaannya.  

“Pengalaman berdasarkan kasus ini, sebaiknya lembaga advokasi dan Dewan Pers menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum. Lawan kita bukan antara polisi dan Dewan Pers atau pers tapi  pelaku kejahatan, yang juga mengancam profesi polisi dan juga profesi pers atau jurnalis. Itu legal posisi yang harus dibangun. Potensi profesi menjadi korban di satu sisi, maka dalam hal menjadi korban wartawan, polisi harus bekerjasama untuk membantu ini,” kata Mudzakir.

Stanley Adi Prasetyo mengharapkan FGD ini segera ditindaklanjuti dengan jalur lain yang bisa ditempuh untuk merumuskan jawaban yang terang bagi Dewan Pers, yang mendapat pertanyaan yang sama setiap tahunnya.  “Penuntasan kasus-kasus dark number ini juga penting untuk melindungi wartawan yang masih hidup, semua mereka, agar tidak menjadi korban seperti yang sudah meninggal dunia tanpa kejelasan.  Melindungi wartawan yang melakukan tugas  peliputan investigasi,” kata Stanley – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!