Mei 1998: Luka lama yang kembali terbuka karena Pilkada DKI

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mei 1998: Luka lama yang kembali terbuka karena Pilkada DKI
Serangan terhadap Ahok ikut meluas hingga ke warga keturunan atau yang berwajah mirip orang Tionghoa lainnya.

JAKARTA, Indonesia – Sudah 19 tahun sejak tragedi Mei 1998 berlalu, namun lukanya masih tetap basah. Kasus kekerasan dan pemerkosaan terhadap warga keturunan Tionghoa ini tak kunjung diusut hingga tuntas. Pelaku tak tersentuh, korban dan keluarga yang bertahan berpeluh demi keadilan.

Mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, perwakilan korban, serta organisasi kemanusiaan turut hadir dalam peringatan ini.

“Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, Tragedi Mei 98 seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Apa yang terjadi memperlihatkan, ketika sentimen etnis dimainkan dan perpecahan terjadi karenanya, maka yang menjadi korban bukan saja warga masyarakat dari etnis yang disasar, tetapi juga warga masyarakat lainnya,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, pada Senin, 8 Mei.

Ia merujuk pada sentimen anti-Tionghoa yang intensitasnya meningkat selama Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Salah satu calon yang berlaga, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama merupakan keturunan Tionghoa dan nonmuslim, hingga menerima serangan bertubi-tubi karena suku dan agamanya tersebut.

Serangan terhadap Ahok meluas hingga ke warga keturunan, maupun yang berwajah mirip orang Tionghoa lainnya. Beberapa waktu lalu, sebuah akun Facebook dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran menuliskan status ‘perempuan keturunan Tionghoa halal diperkosa’ yang membangkitkan trauma Mei 98 bagi banyak orang.

Belum lagi adanya potensi sentimen agama dan anti-rasial yang berkembang di kalangan anak-anak usia sekolah. Orang tua mereka melihat adanya potensi Tragedi Mei 98 terulang lagi, dan menjadi sangat khawatir. Di daerah lain, seperti Tanjung Balai, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu pun terjadi perkelahian berbasis etnis.

“Dari kondisi tersebut, kami memandang penting dan mendesak untuk mengingatkan pemerintah agar menuntaskan penyelesaian kasus-kasus kejahatan teradap kemanusiaan yang terjadi dalam kerusuhan Mei 98 untuk mencegah kejahatan yang sama berulang,” kata Azriana. Karena itulah, tema peringatan 19 tahun ini adalah “Mewujudkan pemerintahan yang ingat, hormat, dan adil pada sejarah.”

Habibie pun memiliki pendapat yang sama. Dalam sambutannya, ia mengatakan akan mengajak seluruh gubernur untuk menandatangani kontrak terkait penanganan pelecehan seksual.

“Saya melihatnya semakin meningkat,” kata dia. Ia mendorong korban dan Komnas Perempuan untuk bersama-sama menyampaikan rekomendasi ke Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk segera menuntaskan kasus ini.

Dalam janji kampanye serta Nawa Cita, Jokowi memang mencantumkan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sayangnya, hingga saat ini belum ada yang betul-betul rampung.

SARA untuk politik

Pada kesempatan yang sama, Djarot pun mencontohkan bahayanya memainkan isu SARA untuk politik lewat Pilkada DKI Jakarta lalu. Ia mengatakan sudah berbuat banyak untuk masyarakat Jakarta seperti perbaikan fasilitas hingga subsidi, yang berujung pada tingkat kepuasan atas kinerja yang tinggi.

Namun, ia dan Ahok gagal menjabat untuk periode selanjutnya. “Jangan politisasi SARA untuk dapatkan kekuasaan dan jangan politisasi tempat-tempat ibadah,” kata dia.

Ia berharap pilkada di daerah lainnya tidak akan mengulangi apa yang terjadi di Jakarta. Perang berbasis identitas, seperti khotbah Jumat di masjid yang menyerukan ‘pilih pemimpin muslim’ serta adanya kasus jenazah tak disalatkan lantaran memilih Ahok-Djarot pada putaran pertama. Ia tak ingin kerusuhan dan tragedi Mei 98 terulang lagi karena hal ini.

Meski tak merujuk pada kelompok atau tokoh tertentu, Djarot mengatakan ancaman datang dari siapa saja yang hendak mengotak-ngatik Pancasila sebagai dasar negara. Ia mengatakan masyarakat dan lembaga negara yang berwenang harus berani menghadapi serta menindak.

“Perjalanan bangsa ini pernah ternoda dengan konflik sosial yang sebenarnya dipicu melalui konflik politik dan itu kemudian menimbulkan banyak korban bukan hanya jiwa, harta benda, tapi juga pelecehan seksual terutama untuk kaum perempuan. Ini luka,” kata dia. Untuk itu, peringatan Mei 98 adalah suatu landasan supaya kasus tersebut tak terulang lagi.

Terkait dengan bantuan untuk para korban sendiri, Djarot menjanjikan penerbitan SK Gubernur yang menggratiskan retribusi makam bagi para korban. Tak hanya di TPU Pondok Ranggon, namun juga pemakaman lain.

Ia meminta supaya Komnas Perempuan dan kelompok solidaritas korban mendata makam-makam korban yang masih tersebar dan menyerahkannya ke Pemprov DKI Jakarta. Dengan demikian, keluarga korban tak perlu khawatir terkait biaya perawatan makam.

Retribusi gratis ini baru dimulai sejak tahun lalu atas insiatif pemprov sendiri, namun tanpa surat keputusan. Keluarga korban seringkali sulit menjelaskan ke pihak pengurus TPU soal mereka tak perlu membayar lagi.

Djarot juga berharap pemerintahan periode selanjutnya di bawah Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno untuk melanjutkannya. “Segera kita siapkan SK pembebasan retribusi selamanya untuk korban kerusuhan Mei 98, tolong dicatat nama dan lokasi di mana supaya ada kepastian. Bulan ini selesai,” kata dia.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, selain TPU Pondok Ranggon, jenazah korban tersebar di 8 TPU lainnya. Bahkan, ada juga yang berlokasi di Tangerang dan Solo. Kisaran jumlah korban di satu lokasi ada sekitar 100 jenazah tak bernama. Kuburannya hanya bertuliskan “Korban Tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta.”

Meski demikian, laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat ada 1.217 jiwa meninggal dalam kerusuhan selama 3 hari tersebut. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga menyebutkan ada 85 perempuan keturunan etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual termasuk perkosaan yang dilakukan secara berkelompok. Sayangnya, temuan ini disangkal dan ditepis begitu saja oleh publik dan pemerintah.

Apakah memang kasus ini tidak dituntaskan dan dipelihara untuk menjadi momok bagi warga keturunan? Tindakan pemerintah, untuk mengusut atau membiarkan, yang akan menjawabnya. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!