Koalisi Teluk Jakarta: Reklamasi dan tanggul raksasa bukan solusi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Koalisi Teluk Jakarta: Reklamasi dan tanggul raksasa bukan solusi
Sejumlah masalah yang justru akan timbul bila kedua proyek tersebut berjalan.

JAKARTA, Indonesia — Penolakan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno atas megaproyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta menimbulkan polemik tersendiri. Bahkan, perdebatan pun meluas ke tanggul raksasa Giant Sea Wall yang saat ini juga tengah berlangsung.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menegaskan menolak pembangunan pulau palsu yang ditujukan bukan untuk kepentingan publik di Teluk Jakarta dan pembangunan tanggul raksasa yang akan menutup Teluk Jakarta. Mereka melihat ada sejumlah masalah yang justru akan timbul bila kedua proyek tersebut berjalan.

Para pakar telah bicara di media massa dan diskusi-diskusi publik mengenai alasan ilmiah mengapa reklamasi dan tanggul raksasa bukanlah solusi terhadap Teluk Jakarta tapi malah mengandung banyak masalah,” kata Marthin Hadiwinata dari KNTI lewat keterangan tertulis pada Kamis, 18 Mei 2017.

Berbagai masalah yang telah diidentifikasi melingkupi perubahan kepemilikan pesisir dari umum ke privat; sedimentasi meningkat yang berujung pada banjir dan polusi yang lebih parah; biaya ekonomi dan sosial yang mahal demi kepentingan komersial; tertutupnya akses nelayan untuk mencari ikan; serta tergerusnya kondisi lingkungan di wilayah sumber pasir yang dikeruk untuk keperluan reklamasi.

“Perempuan pesisir dan perempuan nelayan terdampak beban ganda dan berlapis akibat pembangunan yang tidak memperhatikan  keadilan gender,” kata Marthin. Saat ini, proses pembangunan tanggul sudah berjalan di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dengan target sepanjang 20 kilo meter dengan anggaran Rp 10 triliun.

Hingga Maret 2017, total yang tengah dikerjakan sepanjang 4,5 kilo meter dan ditargetkan rampung 2018 mendatang. Tanggul berlokasi di Kelurahan Muara Baru, Jakarta Utara, dan berlanjut ke Kelurahan Kali Baru. 

Koalisi kemudian mendesak pemerintah untuk memperbaiki kondisi lingkungan di ekosistem perairan pesisir Teluk Jakarta. Mereka harus membenahi tata kelola air dan 13 sungai dari limbah padat dan cair secara bertahap, termasuk menghentikan swastanisasi pengelolaan air Jakarta dengan juga memperhatikan kebutuhan dan dampak spesifik yang dialami perempuan.

“Para pakar telah memperhitungkan cara tersebut akan lebih lestari dan menguntungkan dari segi ekonomi maritim secara jangka panjang. Sebagai bagian dari perbaikan lingkungan di Teluk Jakarta, hutan bakau yang telah banyak berkurang harus ditanam kembali,” kata Marthin.

Tak lupa, mereka meminta penyebaran informasi berbasis ilmu seperti kajian-kajian lingkungan untuk dibuka ke publik. Dengan demikian, masyarakat memiliki basis terverifikasi dalam menilai apakah reklamasi memang diperlukan atau tidak.

Koalisi, lanjut Martin, sangat terbuka untuk berdiskusi dengan penyelenggara maupun pihak berkepentingan dalam isu ini. Namun, semua diminta untuk berfokus pada masalah penting yaiut lingkungan dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

“Namun kami menolak jika isu reklamasi disetir demi kepentingan politik praktis atau penyubur prasangka-prasangka,” kata dia.

Mengapa dibutuhkan?

Sebelumnya, Staf Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali mengatakan justru reklamasi diperlukan untuk kepentingan Jakarta. Pertama adalah mengatasi penurunan permukaan tanah, banjir, dan akhirnya perluasan daerah.

Menurut Firdaus, ibu kota saat ini terancam kekurangan lahan untuk menampung penduduk yang semakin bertambah. Penduduk sebanyak hampir 13 juta jiwa harus berbagi lahan sebesar 662 kilo meter persegi. Pengembangan daerah tak mungkin dilakukan ke arah selatan, timur, maupun barat karena akan konflik dengan daerah lain.

“Karena tidak mungkin Bekasi mau kasih sejengkal pun, apalagi Tangerang. Jadi peluang di depan kita di laut,” kata dia.

Penurunan muka tanah pun tak dapat dianggap ringan. Jika dibiarkan, 13 sungai di Jakarta tak dapat mengalirkan airnya ke laut dan akan berdampak banjir. Belum lagi ancaman semakin meningkatnya air laut akibat pemanasan global. Karena menaikkan permukaan tanah adalah sesuatu yang mustahil, maka jalan terbaik adalah menurunkan permukaan laut.

Saat ini, berbagai daerah di Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut, atau yang ia sebut minus. Seperti misalkan, daerah Pasar Ikan yang saat ini berada 156 sentimeter di bawah permukaan laut.

Terkait dengan sistem pompa yang juga disebut menelan biaya besar hingga Rp 60 triliun menurut dia tak berdasar. “Itu darimana? Pompa kan cuma kalau hujan saja, tak sebesar itu,” kata dia.

Menurut dia, reklamasi dan pembangunan tanggul dapat menjadi jalan untuk mengatasi masalah keterbatasan wilayah sembari merestorasi ekosistem Teluk Jakarta yang tercemar.

Ia pun meminta bila memang ada metode lain yang lebih baik, untuk menyampaikannya ke pemerintah pusat. “Kalau ada cara lain, silakan sampaikan,” kata dia. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!