Ini alasan hakim menolak permintaan suntik mati korban tsunami

Adi Warsidi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ini alasan hakim menolak permintaan suntik mati korban tsunami
Suntik mati belum dikenal di Indonesia dan bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP.

BANDA ACEH, Indonesia – Pengadilan Negeri Banda Aceh menggelar sidang terakhir perkara permohonan suntik mati (euthanasia) yang diajukan oleh Berlin Silalahi (46 tahun), Jumat 19 Mei 2017. 

Sidang dipimpin hakim tunggal Ngatemin, SH, MH dimulai pukul 11.00 WIB, tanpa menghadirkan Berlin, yang diwakili oleh kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Mila Kesuma, SH dan Yusi Muharnina, SH. 

Sidang pembacaan putusan adalah yang ketiga kalinya digelar untuk perkara tersebut. Sidang perdana digelar pada 15 Mei 2017 untuk mendengarkan keterangan saksi dan sidang kedua pada 18 Mei 2017 untuk melihat jejak rekam medis terhadap kondisi Berlin Silalahi. 

Dalam dokumen putusannya setebal 24 halaman, Hakim menyebutkan Berlin mengajukan permohonan euthanasia atau suntik mati karena kondisinya yang tidak berdaya, melalui kuasa hukumnya pada 3 Mei 2017. 

Dalam pemeriksaan fakta-fakta, Berlin adalah korban tsunami yang telah berpindah-pindah barak. Dia kemudian mengalami kelumpuhan pada 2013 dan menjali pengobatan baik di rumah sakit maupun secara tradisional. “Sejak 2013, total tidak bisa bekerja lagi,” kata hakim. 

Berlin semakin putus asa sejak digusur dari barak pengungsian oleh Pemerintah Aceh Barat dan belum mempunyai tempat tinggal sampai sekarang. Saat ini, dia menumpang sementara di kantor YARA. Euthanasia yang dimohon, dipicu karena ketidakberdayaan atas kondisi yang dialaminya.

Hakim Ngatemin kemudian membaca puluhan poin pertimbangan terkait kasus yang dimohonkan oleh Berlin. Salah satunya adalah euthanasia atau suntik mati belumlah dikenal di Indonesia dan bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP. 

Euthanasia juga disebut melanggar HAM terkait hak hidup dan lebih penting haram hukumnya dalam agama Islam, sesuai dengan Alquran dan pendapat para ulama. “Agaman Islam, sesuai dengan agama pemohon,” kata Hakim. 

Pemohon diharapkan terus mencari solusi atas kondisinya, dan harus mendapat perhatian pemerintah. Apalagi, saat ini ada program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) yang menjamin setiap warga mendapat pelayanan kesehatan dengan baik. “Menderita, tapi masih bisa diupayakan cara-cara untuk kesembuhan,” kata hakim.

Karenanya, hakim kemudian memutuskan dua hal dalam amar putusannya. “Pertama, menolak permohonan pemohon dan yang kedua pemohon dibebankan untuk membayar biaya persidangan sebesar Rp 179.000,” kata hakim mengetuk palu sidang. 

Sementara itu penasehat hukum pemohon, Mila Kesuma mengatakan Berlin tidak bisa dihadirkan ke ruang persidangan karena kondisinya yang susah bergerak. 

Terkait putusan hakim, kata Mila, pihaknya untuk sementara menerima dulu putusan yang dikeluarkan hakim tersebut. Selanjutnya, putusan tersebut akan dikomunikasikan dengan Ketua YARA, Safaruddin, yang saat ini sedang berada di luar daerah. “Bagaimana langkah selanjutnya, nanti kami sampaikan kembali, sambil menunggu ketua,” katanya. 

YARA juga mengomunikasikan putusan hakim kepada Berlin dan keluarga. “Selanjutnya nanti akan kita ambil langkah terbaik,” kata Mila. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!