Radikalisme yang mengancam hak-hak perempuan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Radikalisme yang mengancam hak-hak perempuan
Perempuan dan anak-anak disebut menjadi korban yang sangat terancam dengan perkembangan kondisi terkini.

JAKARTA, Indonesia – Meningkatnya tindak intoleransi di Indonesia dinilai semakin mengkhawatirkan. Penegakan hukum yang lemah membuat Tanah Air menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme dalam kehidupan sehari-hari maupun politik.

Perempuan dan anak-anak disebut menjadi korban yang sangat terancam dengan perkembangan kondisi terkini.

“Mereka paling merasakan eksklusi sosial, ketergantungan ekonomi pada jatah hidup, akses pendidikan yang susah, dan ketidakjelasan masa depan,” kata aktivis perempuan Musdah Mulia di Jakarta pada Minggu, 21 Mei.

Musdah melihat radikalisme membawa kriminalisasi dan viktimisasi perempuan. Contohnya, lewat Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif yang berlaku di banyak tempat. Komnas Perempuan mencatat ada 421 aturan yang merugikan perempuan.

Ia juga menyoroti semakin kentaranya bibit-bibit intoleransi di kalangan anak-anak. Musdah dan sejumlah mahasiswanya dari UIN Syarif Hidayatullah menemukan anak-anak yang baru masuk PAUD sudah banyak dilarang bergaul dengan teman-temannya yang tak seagama.

Akibatnya, banyak yang menjadikan sebutan kafir -atau nonmuslim -sebagai bentuk hinaan di kalangan anak sekolah. Tak jarang yang merundung teman sekolahnya yang berbeda dari segi ras maupun agama.

Keadaan semakin diperparah dengan penggunaan tempat ibadah seperti masjid atau gereja untuk kepentingan politik.

“Maraknya khotbah yang mengusung kepentingan partai itu tidak boleh diomongin di masjid atau gereja. Sebagai public space, tidak boleh menjadi alat politik,” kata dia.

Ia juga mengkritisi ajaran agama yang semakin menjanjikan surga dan menjadikan neraka sebagai ancaman. Salah satunya, kenalannya yang minta didoakan pergi umrah, namun yang dimaksud ternyata mengikuti aksi demo besar-besaran beberapa waktu lalu.

Musdah melihat ada proses cuci otak yang telah terjadi. “Mereka dibilang kalau ikut demo itu sama ibadahnya seperti umrah,” kata dia.

Berdasarkan kajiannya, ia menemukan kelompok radikal cenderung militan dalam menyebarkan pemahamannya. Waktu yang dihabiskan mencapai 40 jam per pekan, dan korban diiming-imingi janji masuk surga hingga mendapat istri bidadari.

Ajaran semacam ini justru bertentangan dengan nilai dasar agama yang menyoroti kebaikan dan perdamaian sebagai intinya.

“Agama di masyarakat sudah salah kaprah karena menjanjikan surga neraka, mengapa bukan diajarkan kebersihan dan sebagainya untuk hidup bermasyarakat?” kata Musdah.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan ada upaya perubahan ideologi negara. “Sekarang yang tampak, ada yang menyebutnya, Pancasila rasa syariah,” kata dia.

Intoleransi sudah menyebar tidak hanya sekedar ‘berbeda agama’ namun juga berbeda aliran atau pilihan politik. Kekerasan berbasis jender juga semakin nyata, mengingat kasus pelaporan akun media sosial yang mengatakan ‘pendukung Ahok halal diperkosa.’ Dalam hal ini, pemerkosaan bukan lagi persoalan syahwat, tetapi upaya penundukan perempuan dan menunjukkan kekuasaan.

Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan kalau teror itu pada awalnya adalah upaya perebutan kekuasan antara lelaki. “Tetapi perempuan yang jadi korban,” kata dia.

Dian pun mendorong masyarakat untuk secepatnya melakukan tindakan supaya keadaan tidak semakin parah. Caranya, dengan memberikan pendidikan kritis terutama kepada perempuan.

Rubiyanti Kholifah dari AMAN Indonesia mengatakan cara masuknya radikalisme dapat melalui 3 jalur: pertemanan, persaudaraan, dan pemujaan. Seringkali satu individu terpapar nilai-nilai intoleran dari pergaulan di lingkungan sekolah, masyarakat, maupun dari pernikahan.

Meski demikian, cara ini dapat juga dilakukan untuk menanggulanginya. “Misalkan, untuk anak-anak muda kita biasakan bergaul dengan anak seumuran tapi dari latar belakang berbeda,” kata dia.

Terkait perempuan, AMAN Indonesia juga membuat Sekolah Perempuan Perdamaian Pondok Bambu. Di sana, mereka mengajarkan pendidikan kritis seperti di universitas kepada ibu-ibu.

Hasilnya cukup signifikan, ibu-ibu dapat menjadi pintu masuk nilai toleransi kepada keluarganya. Warga pun menjadi lebih kompak dan tidak cepat menghakimi seseorang.

Salah satu kasus yang menjadi tolak ukur keberhasilan adalah ketika ada seorang remaja yang hamil di luar nikah. Ketimbang mengusir atau menghakimi seperti kejadian pada umumnya, warga cepat mengurus BPJS dan memastikan anak  remaja tersebut lahir dengan selamat.

“Saya juga terkejut melihatnya, mereka tidak langsung menstigma korban atau menghakimi, tapi saling bahu membahu,” kata Ruby. Hubungan internal dalam keluarga juga lebih harmonis, karena anak berani terbuka berdiskusi dengan ibunya terkait hal-hal yang ia pelajari. Ia berharap gerakan semacam ini dapat diinisiasi hingga ke tingkat RT dan RW.

Musdah juga meminta masyarakat lebih berani bersuara bila menemukan intoleransi di tempat-tempat umum. “Kalau ada yang khotbah mengandung hate speech, tidak memberikan pencerahan, segera datangi. Itu tidak boleh,” kata dia.

Kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informasi juga harus lebih proaktif dalam menyaring informasi yang tidak mengandung konten ujaran kebencian ataupun sektarianisme agama atau etnis tertentu. “Secara konsisten melakukan penegakan hukum,” kata dia.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga harus memastikan sistem dan kurikulum sekolah bersih dari bibit radikalisme, juga para staf pengajar dan pengelola sekolah. Inklusivitas adalah nilai yang harus didorong dalam pendidikan Indonesia.

Tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003, kalau prinsip penyelenggaraan pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif. Ia kemudian mengusulkan supaya setiap institusi penyelenggara pendidikan berpegang teguh pada pasal ini dalam membuat kebijakan ataupun evaluasi.

Sejauh ini, diskriminasi berbasis agama masih ditemukan dalam proses belajar dan bahan ajar. Hasil penelitian SETARA Institute menunjukkan 65 sekolah melakukan tindakan diskriminatif. Pada 2014 lalu pun, Wahid Institute juga menemukan adanya dukungan guru dan pelajar terhadap tindakan pelaku perusakan dan penyegelan rumah ibadah. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!