Catatan hitam demokrasi era Jokowi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Catatan hitam demokrasi era Jokowi

ANTARA FOTO

Penegakan HAM yang juga termasuk dalam program Nawacita masih jauh panggang daripada api.

JAKARTA, Indonesia – Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi menggelar aksi di seberang Istana Negara pada Ahad, 21 Mei. Mereka menyuarakan refleksi tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan catatan buruk demokrasi yang menyertainya.

“Kami melawan militerisme, bangkitnya Orba (Orde Baru) dan evaluasi 19 tahun reformasi dan hampir 3 tahun pemerintahan Jokowi,” kata ketua LBH Pers Asep Komarudin kepada Rappler pada Minggu kemarin. 

Aktivis HAM lain lintas lembaga yang tergabung dalam Gema Demokrasi juga turut dalam aksi ini. Kritik mereka melingkupi bidang HAM, hingga peningkatan tajam konflik agraria selama Jokowi memimpin. Padahal, ia sempat menjadi harapan para aktivis demokrasi karena memiliki masa lalu yang cenderung bersih bila dibandingkan rivalnya di Pilpres 2014, Prabowo Subianto. 

Menantu almarhum Soeharto tersebut terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa penculikan 9 aktivis dan 13 lainnya yang belum ditemukan hingga saat ini. Prabowo yang saat itu menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus disebut secara sepihak mengerahkan pasukannya selama kerusuhan Mei 1998. 

Jokowi yang tak memiliki latar belakang militer dan mengedepankan wong cilik selama kampanyenya lantas lebih digaungkan. Sayang, penegakan HAM yang juga termasuk dalam program Nawacita masih jauh panggang daripada api. Masalah menyebar dalam pelbagai isu dari perempuan hingga warga Papua.

Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, berbagai tindak kekerasan oleh aparatur negara, sampai pelarangan terjadi secara masif di Papua,” kata Asep.

Mereka juga menghalang-halangi jurnalis asing yang hendak meliput keadaan di Bumi Cendrawasih, kendati pemerintah mengklaim sudah membuka akses. Warga perempuan juga mendapat tantangan yang semakin rumit, karena kultur politik tidak berpihak kepada mereka. Perempuan masih renta mengalami kekerasan, diskriminasi, hingga kriminalisasi.

Tercatat, masih ada 421 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif yang mengancam perempuan. Aturan tersebut melingkupi cara berpakaian hingga pembatasan waktu beraktivitas.

Salah satu yang disoroti adalah hukuman cambuk di Aceh, atau Qanun Jinayat yang dalam satu tahun pelaksanaannya saja telah mencambuk 180 orang. Termasuk di antaranya perempuan, hanya karena pacaran, atau berada terlalu dekat dengan lawan jenis. Perkawinan anak juga belum menemui akhirnya, bahkan tidak menjadi prioritas penghapusan.

“Hal ini tentunya mencabut anak perempuan dari hak anak yang lain diantaranya hak untuk memperoleh pendidikan,” katanya lagi. 

Gema Demokrasi menilai kalau seluruh gempita penegakan HAM selama kampanye hanya hidup sebagai jargon saat Jokowi terpilih. Pada akhirnya, melihat catatan hitam demokrasi ini, mereka menilai bahaya penindasan dapat dihidupkan oleh siapa pun termasuk yang mengaku sebagai representasi rakyat.

“Siapapun bisa mewarisi kekejaman, kebengisan dan kebiadaban Orde Baru. Dan itu artinya, pekerjaan rumah bagi kita para pejuang Hak Asasi Manusia dan pro demokrasi masih terlalu jauh dari selesai,” kata dia. 

Ia dan teman-temannya kemudian meihat bagaimana berjalannya pemerintahan ini, merasakan perjuangan mereka nampak lebih berat dan suram. 

Tak hanya fokus infrastruktur

TRANS PAPUA. Presiden Joko "Jokowi" Widodo bersama dengan Panglima TNI dan Menteri PU menjajal jalan Trans Papua. Foto oleh Biro Pers Istana

Juru bicara kepresidenan, Johan Budi membantah jika selama tiga tahun memimpin Jokowi dikatakan abai terhadap isu penegakan HAM. Apalagi sampai disebut hanya fokus ke isu ekonomi dan infrastruktur. Dalam pandangannya berada di lingkungan Istana selama hampir dua tahun justru mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga fokus kepada pembangunan sumber daya manusia, reformasi agraria dan penegakan hukum.

“Reformasi hukum sudah mulai, salah satunya dengan membentuk satgas Saber Pungli. Lalu, pemerintah pusat sejak dipimpin Pak Presiden mencoba untuk meluruskan perda-perda yang bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hal ini UU, misalnya mengenai investasi,” kata Johan yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin, 22 Mei.

Sementara, terkait dengan sosok Wiranto yang kerap dianggap sebagai orang yang melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Johan menjelaskan pemilihan mantan jenderal TNI itu sudah melalui berbagai tahapan dan proses. Setelah semua itu dilalui, Jokowi menilai Wiranto sesuai untuk memimpin Kemenkopolhukam.

Terkait dengan adanya Perda yang bersifat diksriminatif, Johan menyebut itu merupakan kewenangan dari Pemda untuk membuat Perda bersama dengan DPRD.

“Pemerintah pusat tidak berhak mencampuri,” kata pria yang selama satu dekade bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Soeharto boleh saja telah mengakhiri rezimnya 19 tahun lalu. Namun jiwa Orde Baru masih terus berkobar, lewat medium yang berbeda. – dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!