Cerita awal mula diberlakukan pasal penodaan agama

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cerita awal mula diberlakukan pasal penodaan agama
Belakangan, pasal 156a tidak lagi bertujuan melindungan agama atau Tuhan tetapi lebih menjustifikasi rasa tersinggung seseorang.

JAKARTA, Indonesia – Pasal 156 a KUHP atau lebih dikenal sebagai pasal penodaan agama kembali menjadi sorotan setelah persidangan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. 

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan semula, Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 untuk meredam konflik sosial antara warga konservatif dengan yang nonrelijius, penghayat kepercayaan, dan ateis.

Dalam laporan Human Right Watch (HRW) berjudul “Atas Nama Agama”, sejak awal tahun 1960an, perseteruan antara kalangan konservatif dengan penganut mistisisme – salah satunya Sunda Wiwitan – tengah tinggi. Ajaran tersebut dianggap menodai Islam.

Kala itu, banyak bermunculan perbuatan-perbuatan para pemeluk aliran yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Kalangan muslim konservatif kemudian membujuk Soekarno untuk mengambil tindakan.

Akhirnya, pada 27 Januari 1965, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang melarang setiap orang untuk melecehkan agama atau terlibat penodaan agama. Tak hanya itu, ia juga menetapkan pemerintah akan mengatur aliran-aliran kepercayaan dan menghukum maksimal 5 tahun penjara terhadap orang yang bermaksud “tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.”

“Dari sini jugalah lahir yang disebut kemudian 6 agama resmi,” kata Usman.

PNPS ini pun berubah menjadi Undang-undang pada zaman Soeharto. Pasal ini disebut hanya melindungi 6 agama mayoritas tersebut dari penodaan.

Perubahan fungsi

Saat Orde Baru, penggunaan UU ini pun berubah lebih untuk membungkam kebebasan berbicara dan berpendapat. Namun, ia sendiri menikmati keuntungan dari pasal penodaan agama ini, sebagai pembenaran atas pembantaian pada tahun 1965.

Menurut Usman, ruang sempit yang diberikan bagi penganut agama minoritas, kepercayaan, dan ateis semakin mengecil. Citra anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilekatkan dengan ateisme menjadi pembenaran kalau orang-orang ini memang layak dibunuh. Padahal, tidak demikian.

Setelah Soeharto tumbang, Usman melihat ketertarikan masyarakat untuk mengurusi keberagamaan seseorang semakin meningkat. Data SETARA Institute menyebutkan, jumlah kasus meningkat drastis. Bila pra-reformasi hanya mencatat 9 kasus, maka jumlahnya meroket mencapai 88 kasus pasca reformasi hingga tahun 2017. 

Saat ini, sudah 6 orang yang ditahan atau dipenjara karena Pasal 156 a. Mereka adalah Ahok, Otto Rajasa, Andrew Handoko Putra, Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis, dan Andry Cahya. (BACA: Mereka yang terjerat pasal penodaan agama)

Direktur Riset Peneliti SETARA Institute, Ismail Hasani, menjelaskan mengapa persoalan agama ini tumbuh semakin subur. Pertama-tama, karena adanya kekuatan ketiga yang tidak memiliki kekuatan politik, namun menunggangi demokrasi dan badan yang sudah ada.

“Kekuatan ketiga ini tidak mempunya modal politik selain agama,” kata dia.

Gerakan mereka dibarengi dengan upaya politik penyeragaman atas nama moralitas. Mereka yang memiliki pandangan dan kepercayaan berbeda akan langsung mendapat cap tidak bermoral dan sesat. Lebih parah lagi, akan dijerat dengan Pasal 156 a tentang penodaan agama jika menyampaikan pandangan berbeda.

Urusan etnis, agama, dan ras seringkali menjadi pemicu emosi seseorang melonjak dan mengaburkan rasionalitas, sehingga dukungan membabi buta mudah didapatkan. Salah satu contohnya terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta lalu di mana isu SARA santer dimainkan.

“Tidak usah heran kalau ada yang membawa-bawa isu agama. Karena yang secara agama itu minoritas itu mudah sekali disasar,” kata Usman.

Keadaan semakin diperparah dengan banyaknya pemimpin agama yang mempropagandakan pengucilan terhadap mereka yang berbeda baik secara keyakinan, jender, dan seksualitas. Agama yang seharusnya menawarkan keamanan dan kenyamanan malah menjadi sumber diskriminasi.

“Pekerjaan rumah yang cukup besar, di mana orang-orang yang berbeda bisa menemukan tempat nyaman dalam agama. Banyak pemimpin agama pun mempropagandakan penyeragaman semakin tidak memberikan tempat bagi mereka,” kata dia. 

Penghapusan

Peneliti Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah Tardi mengatakan berbagai kejadian belakangan ini semakin menyoroti pentingnya menghapus pasal tersebut karena perubahan fungsi. Kasus-kasus penghinaan agama tak perlu dikaitkan dengan pidana, tetapi perdata.

“Atau yang sifatnya rekonsiliatif,” kata Siti. 

Belakangan, pasal ini tak lagi bertujuan melindungan agama atau Tuhan tetapi lebih menjustifikasi rasa tersinggung seseorang. Pasal ini juga mengakomodasi massa kelompok tertentu dalam mencapai tujuannya.

Hasil penelitian lembaganya menunjukkan kasus-kasus yang berakhir pidana seringkali diiringi aksi massa besar-besaran. Bila tidak ada, maka penyelesaian cenderung di luar pengadilan.

Belum lagi, pasal-pasal yang bersifat pencegahan atau peringatan juga tak lagi diterapkan. Padahal, judul asli PNPS adalah ‘Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.’ Pasal 2 PNPS 1965 menyebutkan, langkah pertama yang dilakukan adalah mendapat peringatan keras dalam keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Usman juga mengatakan Indonesia telah mengadopsi Kovenan Hak Sipil dan Politik, yang melindungi seseorang dalam berpendapat.

“Kovenan ini melindungi entitas yang konkret, manusia. Bukan yang abstrak seperti ide atau simbol,” katanya.

Pada dasarnya, suatu hukum memang harus bertolak dari hak asasi manusia, di mana keselamatan dan perlindungan terhadap hak seseorang menjadi tolak ukur utama. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!