Menag: RUU Perlindungan Umat Beragama bawa manfaat lebih besar

Anggar Devi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menag: RUU Perlindungan Umat Beragama bawa manfaat lebih besar

ANTARA FOTO

RUU Perlindungan Umat Beragama tengah digodok di Komisi III DPR

JAKARTA, Indonesia – Walau menuai pro dan kontra, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin optimistis Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama akan membawa manfaat lebih besar terhadap warga. Sebab, pada dasarnya RUU itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada umat beragama supaya mereka bisa memeluk dan menjalankan ajaran agama yang diyakini.

RUU itu sudah diajukan oleh Kementerian Agama sejak tahun 2015 lalu dan saat ini tengah digodok oleh Komisi III DPR. Lukman mengatakan di dalam RUU setidaknya memuat lima poin penting yaitu definisi penodaan dan penistaan agama, hak-hak penganut agama di luar enam agama yang diakui pemerintah selama ini.

Poin lainnya yang akan diatur di dalam RUU tersebut yakni jaminan pendirian rumah agama, pemakaman dan penyiaran agama.

Dalam membuat konten di dalam RUU tersebut, Lukman tidak sembarangan. Dia telah melakukan kunjungan ke beberapa tokoh agama dan masyarakat untuk meminta pertimbangan.

“Tentu plus minusnya ada, tapi kami tetap berkeyakinan bahwa di tengah-tengah banyaknya kendala, tantangan bahkan ancaman, kami meyakini bahwa manfaatnya bisa lebih besar,” kata Lukman dalam sebuah diskusi di Hotel Borobudur pada Rabu, 31 Mei lalu.

Dia menjelaskan dorongan agar UU ini segera disahkan sangat besar. Karena banyak yang berharap aturan itu bisa benar-benar memberikan perlindungan terhadap umat beragama dan itu harus ditetapkan oleh pemerintah.

Lukman mengatakan hubungan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia dicirikan dalam dua hal yakni relasi saling membutuhkan dan mengontrol. Relasi saling membutuhkan bermakna, penyelenggara negara membutuhkan agama sebagai spiritualitas karena dalam menjalankan amanat. Sebab, pejabat negara harus berdasar pada nilai-nilai agama ketika mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik.

“Agama membutuhkan negara sebab ketika nilai-nilai yang diusung agama diimplementasikan ke bumi dapat menjadi tradisi. Hal tersebut memerlukan fasilitas berupa perlindungan negara agar nilai-nilai agama bisa dilaksanakan,” kata Lukman.

Sementara, dalam konteks saling mengontrol, penyelenggara negara membutuhkan kendali ketika bertugas juga dari agama. Tujuannya agar ketika menunaikan tugas berjalan dalam koridor penyelenggara negara.

Lukman menilai pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang agamis. Hampir di semua wilayah di Indonesia pasti menjunjung tinggi agama.

Oleh karena itu agama mendapat posisi sentral dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

“Jadi negara memerlukan kontrol dari agama. Sebaliknya juga agama memerlukan kontrol dari negara. Karena ketika penganut suatu agama merasa menjadi mayoritas, maka tindakan eksesif dapat terjadi dan berakibat pada pengabaian hak-hak minoritas,” ujarnya.

Perlu peran tokoh agama

Lukman juga mengatakan kehadiran majelis-majelis agama di suatu daerah memiliki peran yang sangat penting dalam meredam maupun memelihara kerukunan hidup antar umat beragama.

“Relasi wawasan kebangsaan dengan keagamaan sebenarnya begitu fluktuatif tergantung dari para penyelenggara negara maupun agamawan,” ujarnya.

Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006, menurutnya merupakan pemberian tanggung jawab kepada kepala daerah khususnya terkait pendirian rumah ibadah serta pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Ia menuturkan kepala daerah semestinya memiliki pemahaman mengenai relasi antara kebangsaan dan keagamaan dengan cara proaktif mendukung FKUB, berkomunikasi dengan tokoh lintas agama hingga persoalan memfasilitasi rumah ibadah.

Permasalahannya, kata Lukman, banyak kepala daerah memiliki pemahaman yang mengancam relasi dalam menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Selain itu, keberagaman dan luas wilayah geografis Indonesia juga merupakan kendala dalam memutuskan suatu kebijakan.

“Semua persoalan tidak bisa digeneralisir begitu saja, sehingga penyikapannya harus sangat spesifik,” kata dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!