Survei SMRC: HTI populer di kalangan menengah perkotaan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Survei SMRC: HTI populer di kalangan menengah perkotaan
Penyebaran ajaran cenderung halus, lewat adu argumen dan infiltrasi kelembagaan

JAKARTA, Indonesia – Masyarakat akhir-akhir merasa khawatiran terhadap masa depan bangsa lantaran membesarnya pergerakan kelompok fundamentalis seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kedua organisasi yang mengatasnamakan agama ini memiliki tujuan untuk mengubah dasar negara menjadi kekhilafahan atau negara Islam.

Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) mengadakan survei dengan tema “NKRI dan ISIS: Penilaian Massa Publik Nasional” selama tanggal 14-20 Mei. “Keprihatinan itu belakangan kemungkinan muncul terkait dengan gejala intoleransi dan teror di masyarakat,” kata Direktur SMRC Saiful Mujani di kantornya pada Ahad, 4 Juni.

Hasilnya, dari 1.350 responden, 79,3 persen menolak jika Indonesia menanggalkan Pancasila dan UUD 1945 dan mengadopsi sistem kekhilafahan. Sementara 9,2 persen – atau setara 1 dari 10 orang di Indonesia – yang secara eksplisit menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.

ISIS sendiri memang sudah cukup dikenal di Indonesia, dengan 66,4 persen responden mengaku tahu keberadaan organisasi tersebut. Namun, hanya separuhnya yang paham kalau cita-cita mereka adalah menegakkan negara Islam.

“Dari yang tahu, hanya 2,7 persen yang menyatakan setuju dengan cita-cita tersebut,” kata Saiful.

Sementara HTI, organisasi lokal namun mengusung semangat serupa, justru kalah populer. Tidak sampai sepertiga responden yang mengetahui gerakan politik tersebut.

Namun, tingkat dukungannya jauh lebih tinggi. Mereka yang memahami cita-cita HTI untuk membentuk negara Islam di Indonesia, sebanyak 11,2 persen mendukung hal tersebut.

“Atau sekitar 3,2 persen dari total populasi nasional,” kata Saiful. Menurut dia, karena HTI mengusung nama Indonesia dan lebih diterima sebagai produk lokal; berbeda dengan ISIS yang dipandang sebagai paham asing.

Populer di perkotaan

Meski tak terlalu dikenal, HTI justru memperoleh sambutan positif di kota-kota besar. Berdasarkan demografi, masyarakat perkotaan yang berusia muda cenderung mendukung pergerakan HTI.

“Di DKI dan Banten cenderung lebih banyak yang positif pada HTI,” kata Saiful. Tingkat persetujuan mencapai 20,7 persen, diikuti oleh Jawa Barat dengan 14,4 persen, dan Jawa Tengah serta D.I. Yogyakarta dengan 13,6 persen.

Sementara di Indonesia Tengah dan Timur, tingkat persetujuan masyarakat terhadap HTI tidak ada yang mencapai 10 persen.

Dari segi umur dan profesi, warga yang masih bersekolah atau kuliah cenderung lebih reseptif dengan tingkat persetujuan 19,8 persen. Kelompok ini diikuti dengan pegawai swasta, wiraswasta, guru atau dosen, pekerja profesional, dan ibu rumah tangga.

Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Tomagola menjelaskan kalau pergerakan HTI menggunakan cara yang elegan. Ketimbang menggunakan aksi otot seperti Front Pembela Islam (FPI) atau ISIS.

“Mereka dakwah dan adu argumen. Sistemnya seperti tanding wacana atau perang wacana, itu yang diutamakan HTI,” kata dia. Anggota HTI akan mengangkat suatu topik, kemudian mempersoalkannya.

Mereka kemudian akan melihat kerangka pikiran lawan bicaranya dan menebang satu persatu argumen tersebut. Setelah lawan mulai meragukan kebenaran argumen dan pemikirannya, mereka mulai mendoktrin dengan gagasan kekhalifahan ala HTI.

“Membuat orang ragu dengan argumennya, kemudian dihantam. Seperti gaya Zakir Naik,” kata Thamrin.

Proses lainnya adalah infiltrasi lembaga pemerintahan. HTI tidak segan mengajak lembaga-lembaga pemerintahan maupun pendidikan untuk menggelar acara bersama. Dari situ, mereka memasukkan orang-orangnya dan menyebarkan ideologi khilafahnya dari dalam.

Mantan Rektor Universitas Islam Azyumardi Azra membenarkan hal ini. Selain memasukkan kader, paham juga disebarkan lewat materi pendidikan hingga kegiatan organisasi di masjid atau rohis.

“Saya lihat betul juga ada dosen di kampus-kampus terkemuka yang pahamnya seperti itu (khilafah),” kata dia.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah tak boleh ragu untuk menutup pintu bagi paham-paham tersebut. Thamrin mengatakan, benteng terkuat untuk menghadapi gempuran ideologi HTI adalah dengan konsisten mempertahankan argumen dan menutup pintu kerja sama.

Meski terlihat mengkhawatirkan, namun mayoritas warga tetap menolak meninggalkan Pancasila dan beralih ke ideologi negara Islam. Penolakan dan keinginan supaya kelompok seperti ISIS dan HTI dibubarkan pun sangat kuat.

“Kalau sikap publik diartikan sebagai sikap kebanyakan orang, dan aspirasi untuk melarang sebuah organisasi itu sebagai lawan atau musuhnya, maka ISIS, HTI, dan yang sejenis dengan itu adalah musuh publik Indonesia,” kata Saiful.

Berdasarkan survei, untuk menghadapi ISIS, pemerintah perlu meningkatkan nasionalisme warganya. Karena responden yang reseptif terhadap pendekatan ISIS cenderung tidak memiliki kebanggaan atas Indonesia.

Sementara untuk HTI, nasionalisme tidak berperan besar. Namun komitmen pemerintah untuk menjaga demokrasi, serta kestabilan ekonomi, politik, hukum, dan HAM sangat berperan.

“Memburuknya kondisi faktor-faktor tersebut dapat memperkuat dukungan pada HTI,” kata Saiful. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!