SMRC: Pilkada DKI tak mengubah peta politik nasional

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

SMRC: Pilkada DKI tak mengubah peta politik nasional
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi selama hampir 3 tahun ini berada pada angka 67 persen

 

JAKARTA, Indonesia — Kekalahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat di Pilkada DKI Jakarta sempat diprediksi bakal mengubah peta politik nasional. Kemenangan calon dari partai oposisi seolah-olah memutar balik dominasi partai pengusung pemerintah pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 mendatang.

Meski demikian survei terbaru Saiful Mujani Research & Consultant selama 14-20 Mei 2017 lalu menjawab kekhawatiran tersebut. Survei dilakukan terhadap 1350 responden dengan metode pemilihan populasi secara acak. Responden terpilih diwawancarai secara tatap muka, dengan margin of error 2,5 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Dana berasal dari CSR SMRC sendiri.

“Tidak ada pengaruh signifikan Pilkada DKI Jakarta terhadap peta politik nasional,” kata dia saat paparan survei opini publik “Peta Politik Nasional Pasca Pemilihan Gubernur DKI Jakarta” di Jakarta pada Kamis, 8 Juni 2017.

Hal ini terlihat dari stabilnya elektabilitas serta popularitas Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pengusungnya. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi selama hampir 3 tahun ini berada pada angka 67 persen; sementara tingkat kepercayaan 69 persen.

Demikian juga kondisi ekonomi nasional, di mana 57,1 persen responsen merasa kondisi akan tetap membaik. Angka ini diukur dari kondisi ekonomi rumah tangga dan proyeksi setahun ke depan, juga inflasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka inflasi per Mei 2017 secara tahunan adalah 4,33 persen atau masih dalam target pemerintah.

Kondisi politik, penegakan hukum, dan keamanan pun mendapat sentimen positif dengan rata-rata di atas 50 persen. “Bahkan yang mengatakan buruk lebih sedikit sekarang dibanding 6 bulan laku,” kata Djayadi.

Tingkat kepercayaan terhadap aparat penegak hukum juga tinggi. TNI memperoleh penilaian tertinggi dengan 90 persen; presiden 86 persen; KPK 86 persen; dan Polri 77 persen. DPR dan partai politik memperoleh nilai terendah dengan masing-masing 63 persen dan 56 persen.

Sikap elektoral 

Nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto diprediksi dapat mengalahkan Jokowi setelah berhasil memenangkan Anies-Sandi. Janjinya untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2019 mendatang turut menjadi salah satu pemanas masyarakat mendukung mereka.

Namun, survei menemukan Jokowi masih unggul dalam survei spontan dengan elektabilitas 34 persen. Prabowo menyusul di posisi kedua dengan 17,2 persen.

Bila keduanya dihadapkan langsung saat ini, Jokowi pun masih mengungguli Prabowo dengan jumlah pemilih 53,7 persen; Prabowo hanya mendapat 37,2 persen.

“Untuk mengejar hampir 17 persen dalam dua tahun itu sulit. Apalagi lawannya incumbent,” kata Djayadi. Ia menemukan kemiripan antara Jokowi dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat survei serupa tahun 2007.

Saat itu, SBY berhadapan dengan Megawati untuk Pilpres 2009. Ia mengungguli ketua umum PDIP itu dengan selisih hampir mirip Jokowi-Prabowo saat ini.

Bila Pilkada DKI Jakarta memiliki dampak, maka harusnya terlihat dari elektabilitas Prabowo yang mengalahkan Jokowi.

Peta dukungan partai pun masih stabil, di mana PDIP memuncaki pilihan dengan nilai 21,7 persen. Gerindra menyusul di belakang dengan 9,3 persen. Keduanya disebut sama-sama mengalami kenaikan dalam enam bulan terakhir ini.

“Kalau ada pengaruh, seharusnya sudah terlihat dari sekarang setelah Pilkada. Bukan pada 2019, itu ada unsur lain lagi,” kata Djayadi. Ia memperkirakan unsur melemahnya perekonomian sebagai faktor yang dapat menurunkan elektabilitas dan popularitas Jokowi.

Mempertanyakan fakta 

Paparan ini mendapat kritik dan sanggahan dari Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono. “Sebetulnya sebagai contoh mungkin secara tidak langsung, tetapi hasil yang diperoleh PDIP dalam Pilkada 2017,” kata dia.

Partai Banteng mengalami kekalahan di 44 dari 101 daerah yang melangsungkan pemilihan. Dia di antaranya termasuk provinsi besar seperti DKI Jakarta dan Banten.

Sedangkan, lanjut Ferry, Gerindra justru memperoleh hasil baik di pemilihan luar Jakarta. Ia menganggap kemenangan di Jakarta sedikit mempengaruhi hasil tersebut.

Menurut dia pun, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi pun cenderung menurun dengan bertambahnya jumlah suara yang menyerang Jokowi. Ia tak mencantumkan data pasti, namun mengamati dari media sosial.

Kondisi politik pun tak sebaik yang digambarkan, seperti merebaknya isu perseteruan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta pembacaan puisi Jenderal Gatot Nurmantyo yang dilijat sebagai otokritik terhadap pemerintah. “Itu faktor-faktor yang menurut hemat kami, elektabilitas dan popularitas Jokowi turun,” kata dia.

Terkait pandangan ini, Djayadi mengatakan kalau memang ada yang merasa Pilkada DKI Jakarta seolah meruntuhkan Jokowi dan mengunggulkan Prabowo. “Faktanya, memang Prabowo naik, tetapi Jokowi juga. Jadi seimbang, itu ada pengaruhnya gak kalau dilihat secara nasional?” kata dia.

Pilkada Jakarta mungkin membuat pendukung mantan Danjen Kopassus ini semakin lantang bersuara; namun demikian iuga pendukung Jokowi.

Terkait tumbangnya PDIP di Pilkada 2017, ia mengakui memang ada kemungkinan pengaruh politik ibu kota merembes hingga ke darrah lain. “Tapi itu kondisinya berbeda, kan PDIP ada juga koalisi dengan partai lain. Beda lagi kalau secara nasional,” kata dia.

Pada akhirnya, banyak hal dapat terjadi dalam setahun hingga dua tahun mendatang. Namun ia menegaskan kalau perubahan tersebut tidak disebabkan oleh Pilkada DKI Jakarta seperti yang ramai dibincangkan sekarang.

“Kalau nanti ada perubahan, itu karena faktor lain,” kata Djayadi. 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!