Benarkah Seven Eleven tutup karena larangan minuman beralkohol?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah Seven Eleven tutup karena larangan minuman beralkohol?
Konsep nongkrong yang ditawarkan Sevel sempat ditiru kompetitornya. Namun, pada akhirnya Sevel tak sanggup menghadapi persaingan

JAKARTA, Indonesia – Pada akhir Juni 2017 mendatang, tidak akan ada lagi istilah nongkrong di 7-Eleven. Gerai waralaba yang terkenal dengan minuman dingin Slurpee ini akan tak akan lagi beroperasi di Indonesia.

PT Modern Sevel Indonesia selaku pengelola 7-Eleven di Indonesia mengatakan pendapatannya terus menurun sejak 2015, hingga akhirnya merugi pada kuartal akhir 2016. Tentu saja ada banyak alasan yang menyebabkan Sevel tak dapat bertahan, namun yang paling disoroti adalah larangan menjual minuman beralkohol (minol).

“Karena penjualan minol tidak boleh, mereka mulai kehilangan salah satu competitive advantage dibanding yang lain,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani saat dihubungi Rappler pada Senin, 26 Juni.

Saat pertama kali muncul, Sevel memang menjual beragam bir dan minuman beralkohol kadar ringan lainnya. Mereka juga menyediakan kursi dan meja untuk pengunjung duduk dan berkumpul dengan teman-temannya sembari mengobrol.

Menurut Haryadi, konsep perpaduan bisnis ritel dengan gaya hidup anak muda Jakarta yang gemar nongkrong sangat menarik. Gerai waralaba lain yang sudah lebih dulu muncul, seperti Alfamart, Indomaret, dan Circle K tidak memberikan tempat duduk bagi pengunjungnya. Bahkan, akhinya gerai-gerai ini pun mengikuti gaya Sevel.

Adapun, dugaan menurunnya penjualan karena larangan berjualan minuman beralkohol sendiri memang masuk akal. Aturan tersebut baru keluar pada era Menteri Perdagangan Rachmat Gobel lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015.

Setelah tak dapat lagi menjual minol, Sevel pun mulai kelabakan berhadapan dengan pesaing yang sudah lebih dulu ada. Haryadi menilai manajemen Sevel juga kurang tanggap dengan perubahan ini.

“Kurang antisipasi. Ada permasalahan di manajemen yang tidak diantisipasi,” kata dia.

Akhirnya, problem keuangan yang sudah mulai nampak pun semakin membengkak karena tak mampu menutupi biaya operasional di 175 gerai Sevel Indonesia.

Akuisisi yang batal

Apalagi, rencana akusisi dengan Charoen Phokpand senilai Rp 1 triliun juga batal karena kesepakatan antar pihak yang berkepentingan tak tercapai. Ketiadaan modal untuk pengembangan strategi bisnis akhirnya mengantarkan Sevel angkat kaki dari Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai tumbangnya Sevel lebih dikarenakan rencana bisnis pemilik saham 7-Eleven kelewat agresif. Upaya mereka untuk meraup pangsa pasar sebesar-besarnya di sektor bisnis ritel tidak dibarengi dengan pengembalian dana investasi setimpal.

“Jadi sih menurut saya business planning-nya sejak awal keliru,” kata dia.

Manajemen juga kurang sigap melakukan penyesuaian dengan perubahan pola konsumsi masyarakat yang berubah sejak perekonomian melambat. Menurut dia, justru larangan minimarket berjualan minol tidak berpengaruh.

Bagaimanapun juga, penutupan Sevel ini tidak berdampak pada perekonomian Indonesia ataupun sektor ritel pada umumnya. Airlangga mengatakan karena faktor terbesar dalam masalah ini berasal dari dalam. Haryadi pun memiliki pendapat serupa, jika Sevel masih belum sebesar Alfamart dan Indomaret.

Sebelumnya, Direktur PT Modern International Tbk Chandra Wijaya mengatakan pihaknya akan menutup seluruh gerai 7-Eleven yang pengelolaannya berada di bawah perusahaannya. Chandra menyatakan bahwa penutupan seluruh gerai ini dilakukan karena perseroan memiliki keterbatasan sumber daya untuk melanjutkan operasional gerai convenience store tersebut. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!