Cerita Izzan, anak berkebutuhan khusus yang lolos ke ITB

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cerita Izzan, anak berkebutuhan khusus yang lolos ke ITB
Izzan didiagnosis Gifted Disinkroni atau sebutan bagi anak yang secara intelegensi memiliki kecerdasan luar biasa namun memiliki hambatan perkembangan

BANDUNG, Indonesia – Nama Musa Izzanardi Wijanarko mendadak jadi pemberitaan di berbagai media massa. Publik dibuat tercengang dengan prestasi bocah 14 tahun ini

Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia, Izzan, demikian dia biasa disapa, berhasil menembus seleksi masuk perguruan tinggi terkemuka, Institut Teknologi Bandung (ITB). Tak tanggung-tanggung, dia diterima di fakultas yang bisa dikatakan sulit, yakni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Yang menambah kagum, prestasi itu diperoleh dengan kondisi dirinya sebagai anak berkebutuhan khusus. Izzan sempat mendapat berbagai diagnosis oleh psikolog yang menanganinya, mulai dari hiperaktif, asperger syndrome, austism spectrum disorder, gangguan sensori integrasi, dan gangguan mobilitas.

Namun secara kecerdasan, Izzan melampaui teman-teman sebayanya. Skor IQ Izzan berdasarkan skala Wechsler mencapai 142, yang berarti sangat superior.

Akan tetapi kecerdasan otaknya tidak selaras dengan perkembangan sosial emosinya. Oleh sebab itu, Izzan kemudian didiagnosis Gifted Disinkroni atau sebutan bagi anak yang secara intelegensi memiliki kecerdasan luar biasa namun memiliki hambatan perkembangan karena adanya ketidakselarasan dalam dirinya.

“Waktu Izzan berumur 7 tahun 3 bulan, skor logika, analisis, abstrak, intelegensi seperti umur 16 tahun, tapi usia kematangan sosial emosinya masih berusia 4-5 tahun,” kata Yanti Herawati, Ibunda Izzan, saat ditemui di kediamannya di Jalan Tugu Laksana, Lembang Kabupaten Bandung Barat, Selasa 20 Juni.

Karena masalah itu, Izzan kesulitan mengikuti pendidikan formal. Kondisi itu membuat Yanti dan suaminya, Mursid Wijanarko, memutuskan untuk memberikan pendidikan home schooling bagi Izzan.

Yanti yang berperan sebagai guru bagi anak keduanya itu. Dia menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kondisi Izzan.

“Walaupun masih trial and error ya. Coba-coba, ini benar enggak, ini salah enggak. Rasanya banyak trial dan salahnya sih,” kata dia.

Dari sekian materi pelajaran yang diberikan, Izzan menunjukkan minatnya pada matematika dan fisika. Proses belajarnya berjalan sangat cepat, sehingga menurut Yanti, Izzan membutuhkan tantangan pendidikan yang lebih tinggi dan sesuai dengan minatnya.

Yanti dan Mursid mulai berencana memasukkan Izzan ke perguruan tinggi. Almamater mereka, ITB menjadi salah satu tujuannya. Apalagi di kampus Ganesha itu ada jurusan yang diminati Izzan.

“Saya konsultasi dengan dosen ITB waktu dia umur 6 tahun 8 bulan dan 7,5 tahun, mereka sendiri bilang ini cocok buat Izzan, setelah melihat kertas kerja Izzan,” tutur alumnus Planologi 89 ITB ini.

Ditolak berkali-kali

ILMUWAN. Izzan mengatakan bercita-cita ingin menjadi seorang ilmuwan entah di bidang fisika atau matematika. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Izzan kemudian disarankan untuk mengikuti jalur penerimaan mahasiswa ITB secara regular. Awalnya, Yanti menargetkan untuk bisa mendaftarkan Izzan ke ITB di usia 9 hingga 12 tahun.

Namun hambatan datang bukan dari Izzan sendiri, tapi justru dari prosedur kelulusan pendidikan dasar menengah yang diikuti melalui program paket A, B, dan C.

“Tapi itu ya ampun dari kita mulai coba untuk setara SD, sudah sulit sekali lingkungan memahami bahwa anak ini butuh pendidikan yang tidak biasa bagi anak seumurnya,” kata Yanti.

Dimulai dari upaya mendapatkan ijazah SD, nama Izzan berkali-kali ditolak mengikuti ujian Paket A. Alasannya, umur Izzan pada saat mendaftar dikatakan belum mencukupi karena baru berusia 7 tahun. Ia diharuskan menunggu hingga usianya 9 tahun.

Setelah mendapat ijazah SD, Izzan mencoba mendaftar untuk Paket B, ujian persamaan tingkat SMP. Namun di Bandung, nama Izzan beberapa kali dicoret.

Akhirnya, Izzan didaftarkan di Tangerang Selatan. Ijazah SMP didapatnya saat Izzan berusia 10 tahun.

Setahun kemudian, Izzan mendaftar untuk ujian persamaan tingkat SMA di Tangerang Selatan, tapi ditolak. Kemudian ke Salatiga, pun ditolak.

“Izzan tuh sampai sedih. Dia salah apa sampai kesempatan aja enggak boleh. Kan kita suka baca orang nyontek, pakai kunci jawaban waktu UN. Nah dia (Izzan) tuh itu sampai bilang, yang nyontek-nyontek aja boleh ikut ujian. Saya salah apa, saya sih mau belajar aja, enggak pakai nyontek, enggak pakai kunci, tapi ikut ujian aja enggak boleh,” tutur Yanti menirukan keluhan putranya.

Yanti sebetulnya memahami alasan penolakan dari dinas pendidikan yang merasa khawatir terjadi tindak kekerasan atau pemaksaan pada anak untuk mengikuti pendidikan yang belum sesuai usianya. Tapi Yanti mencoba menjelaskan bahwa hal itu merupakan keinginan Izzan sendiri. Tetap saja hasilnya nihil.

Perjuangan mendapat ijazah SMA dilakukan hingga menghadap langsung ke Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar. Tapi tetap tidak membuahkan hasil.

“Kami sebenarnya cuma minta kesempatan saja, enggak macam-macam. Kalau kesempatan sudah dikasih dan dia enggak sanggup, ya sudah. Dia (Izzan) juga fair,” ujar ibu tiga anak ini.

Setelah pada 2012 dan 2015 terus mendapat penolakan, Izzan kembali mengajukan ujian persamaan Paket C pada 2016. Kali ini, tidak ada alasan lagi bagi dinas pendidikan untuk menolaknya.

Akhirnya, ijazah kelulusan SMA pun berhasil dikantongi. Sayang, di tahun itu, Izzan belum berhasil lolos ke ITB.

Pada 2017, Izzan mendaftar ke perguruan tinggi, tidak hanya ITB, tapi juga ke Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia. Izzan berhasil diterima di dua dari tiga universitas tersebut, yakni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB serta Teknik Elektro UI.

“Aku pilih ITB, dari sini (rumah) enggak terlalu jauh karena emang dari kecil mau di sana. Kalau UI buat back up aja kalau enggak diterima di ITB,” tuturnya.

Tidak heran jika Izzan memilih ITB. Selain ibu dan ayah kakaknya, Nadira Nanda ternyata juga kuliah di kampus tersebut. Ayahnya, Mursid, alumnus Teknik Industri 89 dan kakaknya kuliah di Teknik Geologi.

Idolakan Isaac Newton

Jika kamu bertemu Izzan, sepintas tidak ada yang istimewa dari remaja berusia 14 tahun itu. Izzan yang mengenakan kaca mata nampak seperti anak remaja seusianya.

Obrolannya ringan, polos, dan terkadang jahil. Beberapa kali terdengar dia bercanda dengan kakaknya, Nanda.

Tetapi, justru di balik penampilannya yang biasa, Izzan adalah anak jenius. Kecerdasannya jauh di atas rata-rata.

Pada usia 6 tahun, dia telah mampu mengerjakan materi matematika untuk anak usia 15 tahun. Bahkan menemukan sendiri rumus-rumus matematika yang ditemukan dari hasil observasinya.

Berbagai buku dibacanya, dari mulai novel hingga buku fisika setebal 740 halaman yang diperuntukkan bagi mahasiswa. Idolanya adalah Isaac Newton, yang ia kagumi berkat membaca biografi ilmuwan penemu Hukum Gravitasi itu. Izzan juga berharap suatu saat nanti bisa menjadi seorang ilmuwan.

“Yang pasti ilmuwan. Cuma enggak tahu (ilmuwan) matematika, atau fisika, masih galau,” tutur remaja kelahiran 24 Oktober 2002 itu.

Berhasil masuk ke ITB dengan jurusan yang diminatinya, seperti menjawab keinginannya menjadi ilmuwan. Izzan mengaku senang sekali saat dia dinyatakan lolos ke perguruan tinggi favorit di Kota Bandung. Saking senangnya, Izzan sempat merasa sombong dengan pencapaiannya ini.

“Padahal mencoba sebisa mungkin untuk tidak sombong, Cuma kadang-kadang merasa lebih unggul dari teman-teman seumur aku,” katanya jujur.

Izzan menyatakan siap menghadapi tantangan di dunia perkuliahan nanti. Dia pun mengaku sudah menyiapkan mental untuk bersaing dengan teman-teman yang usianya beberapa tahun lebih tua dari dirinya.

Secara akademik, Izzan yakin mampu bersaing. Ia pun telah menetapkan kriteria siapa saja orang-orang yang akan menjadi temannya.

“Aku akan berteman sama yang pintar-pintar. Kalau yang merokok dan berkata kasar, bakal aku jauhi,” ujar Izzan dengan nada yang masih terdengar kanak-kanak.

Tetapi didampingi orang tua

KELUARGA ALUMNI ITB. Izzan menjadi orang keempat di keluarganya yang berhasil kuliah di ITB. Ibunya, Yanti (pojok kiri) adalah alumni Teknik Planologi 1989, kakaknya, Nanda tengah menempuh studi Teknik Geologi, sedang ayahnya merupakan alumni Teknik Industri angkatan 1989 Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Yanti menyadari kendati sudah menjadi seorang mahasiswa, tetapi Izzan masih memiliki hambatan sosial dan emosi. Oleh sebab itu, dia mengatakan akan tetap mendampingi Izzan walau sudah menjadi mahasiswa. Apalagi, secara adminsitrasi, Izzan belum mandiri.

“Rekening tabungan yang dia punya masih taplus anak, yang masih memerlukan tanda tangan orang tua, jadi sementara akan saya damping,” katanya.

Yanti memahami walau Izzan sudah berhasil menggapai mimpinya untuk kuliah di ITB, tetapi itu bukan perjuangannya sejak ia dilahirkan. Perjalanan dan kisah Izzan masih panjang terbentang. Tugasnya sebagai orang tua hanya mendampingi dan memfasilitasi kebutuhan belajar ketiga anaknya, tidak hanya Izzan.

Perempuan 46 tahun ini berharap, akan ada lebih banyak lagi orangtua yang memberi perhatian kepada anak-anaknya, terutama anak yang terlahir spesial. Berdasarkan data yang diperolehnya, hanya 3 persen dari 1,5 juta anak-anak berkebutuhan khusus yang mendapat perhatian orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitarnya.

“Sisanya terbengkalai enggak ketahuan,” ujar perempuan yang pernah menulis buku parenting “Melihat Dunia” itu.

Yanti juga berharap, pemerintah bisa lebih aktif lagi memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti yang dilakukan negara lain.

“Kalau di negara yang maju terutama Israel dan Uni Soviet, mereka mengumpulkan anak seperti ini. Anak-anak ini dididik dan difasilitasi. Mereka sudah melakukan itu sejak 70 tahun lalu. Makanya bangsa-bangsa itu maju,” katanya.

Keberhasilan Izzan dalam meraih pendidikan yang diimpikannya diharapkan bisa memotivasi orang tua yang juga memiliki anak dengan kondisi serupa. Untuk itu, Yanti siap berbagi pengalaman dengan siapa pun.

Selain melalui buku “Melihat Dunia” yang pernah ia tulis berdasarkan pengalamannya dalam mendidik Izzan, Yanti siap dihubungi melalui ponsel. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!