Malam kedua Idul Fitri, warga Pidie Aceh perang meriam

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Malam kedua Idul Fitri, warga Pidie Aceh perang meriam
Suara ledakan meriam karbit bisa terdengar hingga 10 km

PIDIE, Indonesia — Suara ledakan terdengar susul-menyusul di sepanjang bantaran Sungai Krueng Baro di Kecamantan Pidie, Kecamatan Indra Jaya dan Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu malam 25 Juni 2017.

Namun tak ada warga yang panik. Sebaliknya, mereka justru menikmati suara ledakan yang ternyata berasal dari meriam bambu dan meriam karbit. Di Pidie, menyulut meriam bambu dan karbit memang sudah menjadi tradisi yang digelar setiap malam kedua Idul Fitri. Tradisi menyulut meriam ini disebut Teut Bude.  

Tradisi Teut Bude ini sangat dinantikan warga. Ini bisa dilihat dari membludaknya pengunjung yang datang ke bantaran sungai. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang datang dari Banda Aceh, Birueun dan Lhokseumawe.

Pertunjukkan meriam Teut Bude memang memikat, terutama suara ledakannya yang menggema. Bahkan, saking kerasnya suara ledakan, sejumlah warga terpaksa mengungsikan orang lanjut usia dan bayi yang ada di desa tempat meriam disulut.  

Uniknya lagi, tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh pria, tetapi perempuan pun ikut membantu memeriahkan dengan membuatkan kue untuk para pembakar meriam karbit. Bahkan, ada juga perempuan yang ikut membakar.

Faisal (35), warga Desa Blang Garot, Kecamatan Indra Jaya, Pidie, kepada Rappler mengatakan tradisi itu telah dilaksanakan sejak lama. Namun dirinya tidak ingat tahun awal dimula.

“Sejak saya kecil, tradisi Teut Bude ini sudah ada. Namun dulu belum ada meriam karbit, hanya meriam bambu saja,” kata Faisal, Minggu 25 Juni 2017 malam.

Tradisi itu sempat meredup saat konflik bersenjata terjadi di Aceh antara GAM dan Pemerintah. Setelah perjanjian damai, warga yang ingin membakar meriam karbit semakin antusias. Tak jarang, warga di tiga kecamatan yang berada di perantauan ikut menyumbangkan dana untuk menggelar tradisi ini.

Faisal mengatakan dalam tempo semalam, dana yang dibutuhkan dalam satu desa sebanyak Rp 10 juta. “Dana itu hasil patungan warga sini yang berada di perantauan,” katanya.

Dulu, kata Faisal, tradisi itu dilaksankan pada malam pertama hari raya. Namun karena sekarang sudah digelar takbir keliling pada malam pertama, maka Teut Bude digeser ke malam kedua.

Ia juga menuturkan tradisi ini tidak akan dilakukan pada malam Jumat. “Jika pun malam kedua hari raya nantinya jatuh malam Jumat, maka kami menggeser ke malam Sabtu,” ujarnya.

Tradisi itu dilakukan sejak usai maghrib hingga menjelang subuh. Jadi sepanjang malam. “Saat terdengar azan Subuh, kami langsung berhenti,” jelas Faisal.

Meriam bambu biasanya dimainkan oleh anak-anak. Foto oleh Habil Razali/Rappler Meriam karbit dibuat warga dari drum minyak bekas. Beberapa drum disatukan sehingga menghasilkan sebuah meriam sepanjang 2-5 meter. Meriam tersebu kemudian diisi karbit dan diledakkan dengan cara dibakar. Hasilnya, suara ledakannya akan menggelegar hingga jarak 10km. 

Suara ledakan meriam karbit ini jauh lebih menggelegar dari meriam bambu. Karena itu meriam bambu hanya digunakan oleh anak-anak kecil.

Meriam karbit ataupun meriam bambu itu dijejer di sepanjang Sungai Krueng Baro dengan posisi saling berhadapan, sehingga terkesan sedang terjadi perang meriam.  

Lalu, saat api dinyalakan di ujung gagang kayu, ‘perang’ pun dimulai. Ledakan demi ledakan yang terdengar dari bantaran Sungai Krueng Baro menjadi hiburan tersendiri bagi warga sekitar.  —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!