Kisah santri waria ikut raih kemenangan pada hari Idul Fitri

Davin Rusady

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah santri waria ikut raih kemenangan pada hari Idul Fitri
Ketika momen Idul Fitri tiba, para waria ikut melaksanakan ritual salat Ied, ziarah dan silaturahmi

YOGYAKARTA, Indonesia – Pagi itu adalah hari pertama lebaran. Shinta Ratri mengenakan gamis, jilbab dan kaca mata hitam. Usai mengikuti Salat Idul Fitri di wilayah Kotagede, Yogyakarta, Shinta dan motor bebeknya bergerak menuju makam almarhum ayahnya. Makam tersebut terletak tidak jauh dari rumah Shinta di Kotagede yang juga menjadi tempat para kaum waria di Yogyakarta belajar agama Islam.

Bersisian dengan makam sang ayah, ada juga makam kakek dan nenek Shinta. Di antara ketiga makam tersebut, Shinta duduk dan berdoa. Sebentar saja, setelah menabur bunga dan menyiram air, Shinta bangkit, berjalan menuju motor bebeknya dan pulang ke rumah.

Tidak ada yang spesial di rumah Shinta saat lebaran tiba. Rumah itu sepi. Hanya ada beberapa stoples berisi kue di atas meja dan Shinta yang tinggal di sana. 

“Kalau lebaran biasanya santri-santri di sini pada mudik,” kata Nur Ayu, santri Pesantren Waria Al-Fatah yang tinggal persis di sebelah rumah Shinta.

Awal mula berdiri

ZIARAH. Ketua Pesantren waria, Shinta Fitri, melakukan ziarah ke makam almarhum ayah usai melakukan salat Ied pada Minggu, 25 Juni. Foto oleh David Rusady/Rappler

Shinta bercerita, gagasan berdirinya pesantren ini muncul setelah terjadinya bencana gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006 silam. Saat itu, beberapa kaum waria di Yogyakarta berkumpul dan mendoakan teman waria mereka yang menjadi korban dalam bencana tersebut. 

Setelah itu, waria-waria tersebut memutuskan untuk membentuk pengajian rutin yang dipimpin oleh K.H. Hamrolie Harun. Dia pernah menjadi pembimbing seorang waria bernama Maryani dalam pengajian mujahadah al-Fattah di Desa Pathuk, Yogyakarta.

“Beliau ngomong, ada ide pesantren waria itu supaya kawan-kawan waria bisa belajar bersama, salat berjamaah, dan memahami bagaimana pandangan Islam tentang waria,” kata Shinta. 

Pondok Pesantren pun resmi berdiri pada tanggal 8 September 2008 dan kini diketuai oleh Maryani. Shinta. Saat ini pesantren buka setiap Senin-Kamis.

Bersama seorang notaris yang biasa membantu kaum marginal, Suparyatun, ia bersama Maryani mulai menyusun AD/ART, mengajukan izin pendirian lembaga pesantren waria, dan mendaftarkan pesantren tersebut ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 2011. Berkas-berkas resmi milik pesantren hingga kini masih dijaga oleh Shinta.

Ada tiga agenda di Pesantren Waria Al-Fatah, yaitu pendidikan agama Islam kepada para waria, pendidikan kepada masyarakat mengenai eksistensi waria melalui kegiatan sosial, dan advokasi terhadap pemerintah. Kegiatannya bermacam-macam, mulai dari mengaji, salat berjamaah, diskusi, pentas seni, bakti sosial, hingga mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis.

Pada tahun 2014, Maryani meninggal dunia. Setelah itu, Shinta, mantan ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) 2010—2014, ditunjuk sebagai ketua pesantren oleh para santri waria. Pesantren yang sebelumnya berada di wilayah Notoyudan pun ikut pindah ke rumah Shinta. (BACA: Tadarus Al-Qur’an, ngabuburit ala santri ponpes waria Al-Fatah

Di sela-sela bercerita, muncul sosok perempuan berkerudung di depan pintu yang disusul seorang laki-laki mengenakan peci hitam. Perempuan dan laki-laki tersebut sungkem kepada Shinta. 

“Itu anakku yang aku angkat umur tiga bulan, yang laki-laki tadi suaminya,” kata Shinta.

Siang harinya, Shinta berjalan menemui tetangga-tetangganya. Para tetangga di sekitar rumah menerima Shinta sebagai tamu dengan baik. 

“Mohon maaf lahir batin, Pak,” ucap Shinta dalam bahasa Jawa.

 Diskriminasi dan perlakuan kasar terhadap waria

SILATURAHMI. Salah seorang santri waria, Nur, yang baru saja menunaikan salat Idul Fitri mendatangi pesantren waria di Kotagede pada Minggu, 25 Juni. Foto oleh Davin Rusady/Rappler

Usai bersilaturahmi, Shinta kembali ke rumah dan bercerita mengenai pesantren. Bagi Shinta, kehadiran Pesantren Waria Al-Fattah bagi para waria sudah menjadi kebutuhan karena para waria yang ingin beribadah biasanya tidak diterima di ruang publik. 

“Misalnya, Mbak Nur salat di masjid. Nanti ketika dia berdiri, ada yang mengundurkan diri dari safnya. Itu terjadi pada waria, baik yang salat memakai sarung atau mukena. Makanya, kita memberikan ruang nyaman ini untuk belajar agama,” ujarnya.

Di samping banyaknya perlakuan diskriminatif yang diterima, Pesantren Waria Al-Fattah mendapatkan dukungan dari organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama. 

“Kami punya pembina dari NU, mereka sangat mendukung. Tetapi, dengan Muhammadiyah, kami tidak ada hubungan sama sekali. Mereka tidak mengutuk dan juga tidak mendukung,” kata Shinta menjelaskan. 

Para waria ini juga diperlakukan secara diskriminatif ketika ingin menempuh pendidikan atau mencari pekerjaan. Sikap itu muncul, karena lingkungan sekitar tidak menerima mereka. Padahal, penerimaan terhadap kaum waria merupakan hal paling mendasar. 

“Ketika waria diterima keluarga, dia tidak akan putus sekolahnya, dia bisa punya pekerjaan yang baik, tidak berada di jalan dan dekat dengan ‘dunia malam’. Karena imbas dari waria yang tidak diterima, dia akan lari dari keluarganya, kemudian di perantauan dia bekerja seadanya karena tidak punya kemampuan,” tutur dia memaparkan. 

Tidak hanya itu, pelecehan fisik dan verbal pun kerap diterima oleh para waria. Nur mengungkapkan banyak juga waria yang mendapat kekerasan fisik. Sebagai contoh, waria yang mangkal, tahu-tahu ditusuk orang dan kepalanya dipukul. 

“Kalau melakukan tindak kriminal seperti itu mereka selalu rapat, tutup helm. Motifnya mungkin untuk pelampiasan,” kata Nur. 

Berdasarkan penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Waria (LGBT), 79,1% responden menyatakan pernah mengalami kekerasan psikis, 63,3% menyatakan pernah mengalami kekerasan budaya, 46,3% menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 45,1% menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual dan 26,3% menyatakan pernah mengalami kekerasan ekonomi.

Karena tindakan kekerasan yang diterima tersebut, 17,3% populasi LGBT pernah berpikir untuk bunuh diri dan 16,4% populasi LGBT pernah melakukan percobaan bunuh diri. Sementara, ancaman kekerasan budaya justru datang dari keluarga dengan persentase 76,4% dalam bentuk pengusiran. Dalam penelitian tersebut, tertulis juga bahwa kaum waria mengalami tindakan kekerasan seksual paling banyak dibanding ketiga kelompok lain.

“Pernah ada masalah bola. Karena tim favoritnya kalah, pelampiasannya waria yang di jalan. Kami sebagai teman, membantu dengan memberi dukungan moral. Aku pernah hidup di jalan juga. Kami, tuh, seolah dianggap orang yang tidak berguna. Kadang kami diancam pakai senjata tajam untuk ‘melayani’ orang,” tuturnya. 

(BACA: Sebuah asa di Pesantren Waria Yogyakarta)

Samar-samar, terdengar suara lain dari kejauhan memanggil Shinta. Mereka adalah Jessi dan Yeti, dua teman Shinta yang juga waria. Meski Jessi dan Yeti tidak merayakan lebaran, mereka ingin berkunjung ke rumah Shinta untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat lebaran.

Sore itu, adzan maghrib terdengar jelas hingga ke ruang tamu rumah Shinta. Nur Ayu yang berperan sebagai juru masak di pesantren datang membawa mangkuk-mangkuk berisi ketupat, opor ayam, krecek, dan tahu. 

Sementara, Jessi, Yeti dan Shinta tengah asyik berbincang soal adanya lima gender dalam kebudayaan Bugis, sejarah Nommensen di Medan, khotbah Quraish Shihab di Istiqlal, hingga radikalisme. Di sisi lain, Nur justru serius memerhatikan layar telepon genggamnya, layaknya tingkah masyarakat kota masa kini. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!