Ketika rumah-rumah Tionghoa tergerus arus modernisasi

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika rumah-rumah Tionghoa tergerus arus modernisasi
Banyak rumah di Pecinan Semarang berusia ratusan tahun

SEMARANG, Indonesia — Hari masih pagi, namun Kawasan Pecinan di pusat Kota Semarang sudah bergeliat. Saat Rappler mengunjungi kawasan yang berada di sepanjang Jalan Wahid Hasyim pada Rabu pagi ini, hiruk-pikuk aktivitas pedagang sudah terasa.

Banyak pedagang sibuk berjualan ragam bumbu rempah sampai masakan daging babi. Mereka berjualan di gang-gang sempit di antara rumah-rumah beraksitektur Tionghoa. Rumah-rumah tersebut  kebanyakan dipakai sebagai toko, warung makan maupun gudang sembako.

“Rata-rata di sini memang sudah berubah semua fungsi bangunannya, Mas. Tidak hanya digunakan untuk tempat tinggal, tetapi diubah jadi rumah usaha,” kata Sayuti, seorang pedagang di Gang Waru kepada Rappler.

Sayuti mengatakan saat ini ada puluhan bahkan ratusan rumah milik warga peranakan Tionghoa yang telah berubah menjadi toko. Letaknya pun menyebar hampir di semua gang Pecinan.

Ia mengatakan bahwa era yang semakin modern telah memaksa para pemilik rumah untuk berbenah. Mereka, lanjutnya hanya ingin bertahan hidup melalui usaha warisan keluarga. Jalan satu-satunya ialah merenovasi rumahnya menjadi ruko yang menjual berbagai macam barang dan jasa.

“Sejak lama saya sudah tidak tinggal di Pecinan. Sebab rumah yang ada di sini saya pakai sebagai toko mainan, sedangkan rumah tinggal saya pindahkan ke Jalan Peterongan,” ujar Sayuti.

Perubahan fungsi bangunan ternyata juga diamini oleh Radika Perdana. Ia adalah seorang penjaga kafe tembakau yang semula berfungsi sebagai rumah sekaligus gudang tembakau kering.

Radika mengatakan kafe tembakau dengan brand ‘Mukti Cafe’ tersebut sudah beroperasi sejak 2015 silam. Sementara bangunannya sudah berdiri di kawasan Chinatown Semarang sejak 1895 silam. 

“Mbah Yap Kay Tjay awalnya membuat gudang untuk menyimpan tembakau yang dibeli dari petani. Tembakaunya kemudian dijual lagi ke pabrik-pabrik rokok maupun eceran,” katanya.

Ia mengatakan gudang tembakau kemudian mengalami banyak perubahan bentuk terutama saat ruang penyimpanan tak mampu lagi menampung pasokan tembakau dari petani.

“Dari tahun 1895 akhir, keluarga Mbah Yap Kay berjualan tembakau. Dia beli dari petani lalu dijual lagi ke pabrik rokok. Sampai yang paling terkenal rokoknya Tjap Lelo Lelo Ledong,” sambungnya.

Setelah lama tinggal di gudang tembakau, pada 1960 silam sebagian bangunannya dijual kepada warga lokal. Praktis ada beberapa perubahan fungsi mulai jadi toko batik sampai sekarang jadi kafe. Namun ia memastikan bila sampai sekarang bentuknya tidak pernah berubah. “Hanya dipoles sedikit biar jadi kafe yang lebih modern,” ungkapnya.

“Karena orang Tionghoa kebanyakan berdagang. Kebetulan keluarganya punya usaha sampingan selain tembakau,”.

Lambat-laun, bisnis tembakaunya diwariskan kepada anak-anak dan cucunya. Kusuma Atmaja Agung sebagai anak Yap Kay kini jadi pengelola kafe. 

Di tangan para pewarisnya, gudang tembakau tersebut kini disulap jadi sebuah kafe bergaya minimalis. Ragam tembakau tetap dijual di dalamnya. “Dengan mengusung merek Agung Sigar, kami menawarkan kepada pembeli agar tak cuma menghisap rokok saja, melainkan juga belajar melinting biar orang tahu dengan apa yang dikonsumsinya selama ini,” bebernya.

Ia mengaku tak segan memperkenalkan lagi gaya merokok tempo dulu. Mulai dari cerutu, rokok klobot rajangan, rokok linting (roling) hingga mencangklong. Pengunjung pun tidak diwajibkan membeli tembakau darinya.

Ia menjelaskan Mukti Kafe kini jadi jujukan para pecinta tembakau. Selain menikmati citarasa tembakau, para pengunjung juga kerap bernostalgia hingga malam hari.

“Puncak kunjungan di sini tiap Sabtu dan Minggu. Karena kita melawan arus, maka kita butuh keluwesan dan fleksibelitas. Merawat apa yang ada justru mampu menghasilkan hal yang luar biasa,” tuturnya.

Dikebiri rezim Orba

Di lain pihak, pemerhati kebudayaan Tionghoa Semarang, Tubagus P Svarajati, mengungkap sisi lain Pecinan yang berjuluk San Pao Lung Dang Ren Jie itu.

Dalam bukunya berjudul ‘Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota’, dirinya secara gamblang menyebut ada banyak perubahan frontal belakangan ini.

Bila tempo dulu rumah Tionghoa sarat filosofi dengan bentuk tetengger kuncup bulat api pada bagian atapnya serta terdapat dua pintu dengan bagian depan rumahnya yang melengkung. Kini, menurut Tubagus, hampir semua bangunan beralih fungsi.

“Tidak ada lagi yang bergaya Thiongoa asli. Hampir 80 persen rumah Pecinan jadi toko, tergusur minimarket dan yang paling parah pada bagian belakang rumahnya terpaksa dikepras untuk dibuat jadi jalan inspeksi sungai,” katanya.

Ia yang lahir dan besar di Gang Pinggir tahu persis perubahan fundamental kebudayaan Pecinan. Di sepanjang bantaran Kali Semarang semua rumah warga sudah kehilangan ciri khasnya.

Ia pun menyoroti alih fungsi rumah Tionghoa yang kini condong pada pusat kegiatan bisnis saja. “Hanya sedikit yang dipakai untuk hunian tetap,” tegasnya.

Rumah Pecinan di sepanjang Jalan Inspeksi, Wotgandul, Gang Lombok, Gang Pinggir dan Gang Waru saat ini kehilangan fasad atau tampilan mukanya, lantaran terkepras pembangunan. Ini, lanjutnya merupakan kedok mengebiri budaya lokal.

“Atas nama pembangunan, dengan alasan pelebaran jalan, bangunan-banguanan di Pecinan terpotong dan hanya menyisakan atap wuwungan bundar tumpul,” terang Tubagus.

Pun demikian dengan konsep acara Pasar Semarang Wisata (Semawis) yang kerap digelar tiap Imlek. Baginya itu bukan mengusung ciri khas masyarakat Tionghoa. Melainkan hanya sekadar ajang makan-makan saja.

“Semua perubahan bermula pada 1965 silam. Saat geopolitik bergolak, pemerintah rezim Orba melarang semua kegiatan berbau Cina. Selain membuat pemain barongsai tiarap, semua budaya juga dilarang. Orba memaksa orang Cina merubah rumahnya jadi ruko usaha. Semua tetengger dihapus. Nama-nama rumah dan jalan raya diganti nama Keindonesiaan,” tuturnya.

Sementara Jongkie Tio, Sejarahwan Tionghoa menilai ikon Pecinan kini hanya menyisakan Klenteng Tay kak Sie. Pasalnya di sana jadi klenteng tertua dan bisa dibilang klenteng Pertama di Semarang,” ujarnya.

Posisi Tay Kak Sie yang berada di Gang Lombok baginya juga punya nilai historis yang kuat. Nama Gang Lombok dikenal warga karena semula merupakan pusatnya kebun cabai. “Alkulturasi budayanya sangat kuat di sana,” tutupnya. —Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!