Kontrasnya dua sisi kehidupan anak

Diego Batara Mahameru, Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontrasnya dua sisi kehidupan anak
Cahya harus berdagang tisu untuk tetap sekolah, sementara Alexander bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan biaya sekolah

JAKARTA, Indonesia – Bagi mereka yang sering makan ataupun nongkrong di Taman Ismail Marzuki,  tentu tak asing dengan anak-anak kecil yang menjajakan tisu. Mungkin, tanpa sadar, mereka pernah berjumpa dengan Cahya Nugrahaeni.

Anak perempuan berambut pendek ini tidak canggung saat diminta untuk memperkenalkan diri. “Nama ibu saya Kusaeni dan nama bapak saya Isak Tedi Nugraha. Cita-cita saya mau jadi penyanyi dan artis,” kata dia sembari tertawa kecil saat dijumpai Rappler pada Rabu, 19 Juli 2017 lalu.

Ia mengenakan baju lengan panjang berwarna merah muda, celana panjang, dan tas selempang berwarna hijau untuk menyimpan tisu serta uang dari pembeli. Sehari-hari, ia mulai berdagang sekitar pukul 12 lewat.

Cahya mengawali harinya sejak pukul 03:00 WIB. Setelah membersihkan diri, ia baru mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya.

“Kalau malam suka tak keburu karena aku capek habis jualan,” kata dia. Sekitar pukul 05:30 WIB, ia meninggalkan tempat tinggalnya di Citayam menuju sekolahnya di Gondangia, di mana ia terdaftar sebagai murid kelas 3 SD.

Ia mengaku senang belajar. Matematika adalah mata pelajaran yang paling disukainya. Ia hanya tersenyum malu-malu saat diminta menjelaskan alasannya. Hingga akhir, ia juga tak menjawab mengapa berhitung menjadi kegemarannya.

Selain bersekolah, Cahya juga mengikuti sesi belajar gratis dengan organisasi relawan setiap Sabtu dan Ahad. Bila di sekolah ia belajar sembari duduk di kursi, di sini ia bisa bermain dan bersenang-senang. Tak ayal, ranking satu pun disabetnya saat kenaikan kelas lalu.

Kegiatan sekolahnya selesai sekitar pukul 11:00 WIB dan setelah mengganti seragamnya dengan baju biasa, Cahya bergabung dengan teman-temannya di pelataran TIM untuk mulai berdagang. 

Mereka diawasi oleh salah satu orang tua anak-anak pedagang. Biasanya, pengawas merupakan tetangga atau kadang ibunya datang sendiri.

Tak pernah ada kepastian kapan Cahya bisa pulang ke rumah. Bila TIM ramai karena sedang banyak kegiatan, ia bisa menunggu hingga lewat pukul 22:00 WIB. Ia jarang pulang ketika matahari masih bertengger di langit.

Namun, sulung dari dua bersaudara ini tidak merasa capek atau sedih. “Soalnya bisa main-main sama yang lain di sini,” kata dia merujuk pada sekitar enam anak lainnya yang juga ada bersama Cahya.

Anak pedagang lain bernama Candra, dan hari itu tugas mengawasi kebetulan jatuh pada ibunya. Saat menawarkan tisu pada Rappler, ia mengaku butuh uang untuk sekolah.

Rupanya, ia sekarang tengah mengenyam pendidikan kelas VIII di saah satu SMP Negeri daerah Petamburan. Anak lelaki pemalu ini lebih banyak meminta ibunya untuk menjawab pertanyaan Rappler. Ia sendiri asik menjaga adik laki-lakinya yang baru berusia dua tahun.

Candra harus berjualan tisu agar bisa tetap sekolah. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Awalnya, Yani tampak enggan putranya diwawancarai karena ‘anak-anak sedang jualan,’ tetapi akhirnya ia bersedia berbincang. “Ini anak-anak jualan buat nambah duit sekolah,” kata dia.

Perempuan berusia 25 tahun ini tidak memiliki pekerjaan tetap, demikian pula dengan suaminya yang hanya sopir Kopaja lepas. Biaya sekolah Candra hingga saat ini masih belum lunas dibayarkannya.

Sekolah awalnya meminta uang pembayaran sebesar Rp 1 juta pada awal masa ajaran untuk biaya administrasi dan gedung. Namun ia menawar dan akhirya nominal dikurangi menjadi Rp 700 ribu. Bila tidak dibayarkan hingga ujian kenaikan kelas, maka Candra terpaksa tak diperbolehkan ikut dan dapat dikeluarkan.

Pendapatan Yani dan suaminya yang hanya berkisar Rp 100-200 ribu per hari, belum dikurangi ongkos makan dan transportasi sehari-hari, membuat angka tersebut terasa mencekik. Akhirnya Candra pun diminta turun membantu cari uang.

Program Kartu Jakarta Pintar (KJP) rupanya tidak dapat dirasakannya, karena Yani bukan penduduk Jakarta. “Saya dari Surabaya, surat-surat semua juga dari kampung sana,” kata dia.

Ia juga mengaku sulit dan bingung kalau harus mengurus administrasi kependudukan Jakarta guna mendapatkan bantuan tersebut. Namun, ia tetap ingin putranya sekolah supaya bisa mendapatkan hidup yang lebih baik.

‘Kehidupan lain’ Alexander

Alexander saat mengikuti les aikido. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Lain Cahya dan Candra, lain pula Alexander Gunawan. Kehidupan Alexander berbeda jauh dengan Cahya dan Candra.Ketika Cahya dan Candra sudah bersiap sejak subuh, misalnya, Alex masih terlelap. Ia baru bangun pukul 06:00 WIB kurang untuk bersiap sekolah.

Ia merupakan siswa kelas 6 SD di salah satu sekolah swasta daerah Jakarta Timur. Jarak dari rumahnya ke sekolah yang hanya 10 menit naik mobil membuat Alex tak perlu khawatir terjebak kemacetan.

Bel sekolahnya berbunyi pukul 06:45 WIB, namun ia lebih suka sudah tiba di sekolah sebelum jam 06:30 WIB. “Aku bisa tidur dulu di kelas,” kata dia.

Kegiatan belajar Alex tidak selesai di sekolah saja. Begitu pulang selewat pukul 12, ia hanya sempat beristirahat selama 1-2 jam sebelum pergi les. Oleh ayahnya, ia didaftarkan pelajaran tambahan matematika, bahasa inggris, dan aikido.

Ia baru kembali lagi ke rumah pukul 20:00 WIB dan setelah menyegarkan diri, harus mengerjakan tugas sekolah. Alex kemudian baru punya waktu untuk membaca komik atau Majalah Bobo setelah selesai menyiapkan buku yang biasanya sudah lewat pukul 21:00 WIB.

“Sebentar aja soalnya jam 10 (22:00 WIB) aku sudah harus tidur, biar bisa bangun pagi,” kata bungsu dari lima bersaudara ini.

Alex jarang bermain dengan anak-anak tetangganya, meskipun ada juga yang satu sekolah dengannya. Ia mengaku tidak tertarik, dan lebih suka membaca komik ataupun bermain dengan komputer tablet yang diberikan kakaknya. Saat libur sekolah pun, ia lebih banyak menonton kartun seperti Doraemon atau Detektif Conan dari YouTube.

“Aku nggak nonton acara dari Indonesia soalnya di rumah tidak ada TV. Sama Papa tidak boleh,” kata dia.

Kebahagiaan anak

Cahya, Candra, dan Alex mungkin hanyalah segelintir dari potret kehidupan anak Indonesia. Ada yang lebih baik ataupun lebih buruk, dengan masalahnya masing-masing.

Saat ini, ada begitu banyak masalah terkait anak. Mulai dari persoalan pendidikan, kesejahteraan, hingga yang kompleks seperti perkawinan anak.

Juga bagaimana menyaring konten-konten dan informasi yang diterima anak supaya tidak berpengaruh buruk pada perkembangan mereka, mengingat belakangan ini tengah ramai kasus perundungan anak dan remaja. 

Bila mereka terjerat pidana pun, Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) masih menemukan lubang-lubang dalam penanganan proses hukum anak di bawah umur.

Pekerjaan rumah pemerintah masih banyak dalam hal perbaikan nasib dan kesejahteraan anak. Mengingat mereka adalah generasi penerus bangsa, yang menentukan nasib negara di masa depan. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!