Yenny Wahid: Buang jauh-jauh sikap tirani mayoritas atas minoritas

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Yenny Wahid: Buang jauh-jauh sikap tirani mayoritas atas minoritas
Isu sentimen sosial-politik berbasis agama terasa semakin kuat semenjak perhelatan Pilkada DKI Jakarta

 

JAKARTA, Indonesia – Beberapa waktu terakhir, isu sentimen sosial-politik berbasis agama marak muncul di dunia. Di Indonesia sendiri,  sentimen ini muncul, dan terasa semakin kuat semenjak perhelatan Pilkada DKI Jakarta. 

 Kepentingan politik yang dibalut oleh agama saling berbenturan, yang membuat kondisi hubungan antar-agama di Indonesia menjadi tidak begitu baik.

 Salah satu yang menjadi pusat perhatian dalam konteks hubungan sosial antar umat beragama adalah hubungan antara kelompok agama mayoritas dan kelompok agama minoritas.  

 Konflik antara kelompok agama mayoritas dan minoritas sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, dan tak jarang, pemicunya adalah aksi tirani mayoritas atas minoritas.

Ditemui dalam gelaran pertemuan bertajuk ‘Relations Between Religious Majorities, Minorities, and the State in United States &  Indonesia’ pada Senin (31/7), Yenny Wahid,  yang juga direktur institusi Wahid Foundation, mengiyakan hal tersebut.

Ia mengklaim setidaknya tercatat lebih dari 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang ditujukan pada kelompok minoritas di Indonesia hingga tahun 2017.

“Salah satu pelanggaran kebebasan beragama yang kerap terjadi di Indonesia adalah persekusi dan diskriminasi oleh kelompok mayoritas di suatu daerah,” ujar Yenny saat memaparkan hasil kajiannya.

Namun, Yenny juga menekankan bahwa walaupun Indonesia memiliki penduduk mayoritas muslim, diskriminasi kepada kelompok muslim juga sering terjadi. Terutama pada daerah-daerah dimana kelompok muslim menjadi kelompok minoritas.

“Di sejumlah wilayah, mereka (muslim) juga kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan oleh agama mayoritas di daerah. Contoh kasus seperti di Papua atau Bali,” jelas Yenny.

Yenny juga menambahkan bentuk tindakan persekusi dan diskriminasi yang paling umum terjadi pada kelompok minoritas di Indonesia adalah perlakuan yang berbeda ketika akan mengakses fasilitas publik, serta hambatan ketika ingin menjalankan ritual ibadah. 

Seperti contohnya yang dialami oleh kelompok Jamaah Ahmadiyah Indonesia, yang dianggap oleh sebagian muslim Indonesia sebagai agama menyimpang atau ajaran sesat.

“Tidak dikasih KTP, atau hak lainnya seperti melakukan pernikahan atau mendirikan rumah ibadah,” tuturnya

Ia menekankan pemerintah setempat harus mendorong kebebasan beragama diperoleh oleh semua kelompok, tanpa memikirkan apakah kelompok tersebut mayoritas atau minoritas. 

Pemerintah juga tidak boleh mau ditekan oleh sekelompok orang dari kelompok mayoritas yang ingin menghalangi kebebasan beragama kelompok minoritas.

Dalam acara ini juga turut hadir Prof. Brett Schaffs dari Brigham Young University, seorang pakar hukum dan studi kehidupan beragama dari Amrika Serikat. 

Ia menambahkan bahwa konflik antara kepentingan kelompok mayoritas dan minoritas terjadi karena perbedaan pandangan kelompok-kelompok tersebut terkait freedom of expression dan freedom of religion.

“Di AS juga terjadi gesekan antara kelompok penggiat HAM, khususnya aktifis gay rights dengan sejumlah komunitas agama. Kelompok yang satu menggunakan argumen HAM yang menjadi hak mendasar yang dimiliki setiap manusia, kelompok yang lannya menganggap HAM adalah pemberian Tuhan, sehingga harus dijalankan sesuai perintah Tuhan. Dari sanalah muncul konflik,” jelas Schaffs.

Guna menghadapi isu yang sedang marak muncul di kedua negara tersebut, Yenny dan Schaffs menawarkan sejumlah gagasan yang dapat diimplementasikan sebagai sebuah solusi, terutama untuk mencegak tindakan fanatisme beragama yang berujung pada sikap radikal dan ekstrimisme.

“Yang terpenting, semua individu dan kelompok mayoritas harus membuang jauh sikap dan keinginan untuk mendominasi kelompok minoritas. Sikap seperti itu merupakan akar dari diskriminasi, kekerasan, dan kebencian antar umat beragama yang memicu sikap radikal dan ektrimisme,” jelas putri Presiden RI ke-4 itu.

Sementara Schaffs menawarkan solusi dalam konteks yang lebih umum. Solusi yang ditawarkan Schaffs meliputi pemahaman nilai-nilai ‘kebebasan yang bertanggung jawab’, mensosialisasikan toleransi dan pluralisme, hingga menjaga etika kehidupan beragama.

“Kita membutuhkan sosialisasi antar umat beragama. Kita juga harus menerapkan kebebasan yang bertanggung jawab, jangan menyalahgunakan hak itu,” ujar Schaffs.

”Setiap pemeluk agama juga harus menghargai dan menjaga etika kepada sesama, memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan,” tambah sang professor.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!