Curhatan komika Muhadkly Acho yang berujung laporan polisi

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Curhatan komika Muhadkly Acho yang berujung laporan polisi
Acho dinilai oleh pengelola dan pengembang apartemen Green Pramuka City telah melakukan pencemaran nama baik

JAKARTA, Indonesia – Aktor dan komika Muhadkly Acho tidak menyangka harus terjerat kasus hukum karena mengeluh mengenai fasilitas apartemen yang dihuninya di Green Pramuka City. Pihak pengembang melaporkan pria berusia 32 tahun itu ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Kekisruhan bermula di saat Acho kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak pengembang apartemen Green Pramuka, PT Duta Paramindo dan pengelola PT Mitra Investama. Kekecewaan itu, kemudian dituangkan Acho di blog pribadinya dengan judul “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” pada 8 Maret 2015.

Semula, ketika ingin membeli unit tipe dua kamar di apartemen tersebut tahun 2013 lalu, Acho dijanjikan berbagai hal positif.

“Saat itu di brosur tertulis, 80 persen area lahan di sana akan menjadi area terbuka hijau. Pihak marketing mengatakan ada empat tower. Kalau pun ada pembangunan, maka itu hanya satu tower yang sudah dilengkapi mall,” ujar Acho yang dihubungi Rappler pada Sabtu malam, 5 Agustus.

Ia mengaku membutuhkan suasana hijau itu di tengah padat dan bisingnya ibu kota. Janji lainnya yang disampaikan yakni masing-masing tower dilengkapi dengan tempat parkir seluas dua lantai di area bawah tanah. Parkir memang menjadi isu krusial bagi Acho lantaran ia menggunakan kendaraan untuk beraktivitas di ibukota.

Isu lainnya, yang sempat ditanyakan ke pihak marketing yaitu menyangkut sertifikat. Pengembang mengatakan sertifikat akan diberikan dua tahun pasca pemilik unit melunasi pembayarannya.

Semuanya terlihat ideal saat itu. Maka, ia putuskan untuk membeli satu unit di apartemen Green Pramuka dengan harga sekitar Rp 350 juta.

“Tapi saat itu belum ada pembangunan apa pun. Istilahnya kami inden lah di sana,” kata dia.

Ketika ia mulai menempati di tahun 2014, tidak ada masalah apa pun. Semua, terlihat seperti yang dijanjikan pengembang.

Namun, di awal Januari 2015 mulai muncul permasalahan. Hal tersebut dipicu adanya perubahan peraturan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak pengelola. Menurut Acho, perubahan aturan itu melanggar janji yang pernah disampaikan oleh pengembang dan marketing.

Ada lima perubahan aturan yang dicatat oleh Acho. Pertama, pembangunan yang masif di komplek apartemen. Dari yang semula hanya akan membangun satu tower, menjadi 17 tower.

“Ini kan tidak sesuai dengan konsep di mana 80 persen areanya akan menjadi area terbuka hijau. Entah berapa lama 17 tower itu akan dirampungkan,” kata Acho.

Kedua, menyangkut aturan penggunaan tempat parkir. Dari informasi yang ia dengar dari pengelola, para penghuni hanya dapat menempatkan kendaraannya di lantai dua basement. Sementara, lantai satu, akan digunakan untuk menampung kendaraan tamu dan dikenakan tarif parkir per jamnya Rp 4.000.

“Alhasil, kalau penghuni memarkir kendaraannya di sana, maka mereka juga diharuskan membayar tarif yang sama. Padahal, kami sudah membayar biaya bulanan Rp 200 ribu,” tuturnya.

Perubahan aturan parkir ini sempat memicu perdebatan dan demonstrasi yang besar antara penghuni. Bahkan, polisi sampai turun tangan dan memutuskan sementara waktu untuk kembali ke aturan semula, di mana dua lantai di basement dapat digunakan untuk memarkir kendaraan penghuni apartemen.

“Tetapi, yang saya dengar pada awal Agustus ini, komersialisasi area parkir akan diberlakukan lagi. Warga tentu saja keberatan. Kenapa kami hanya memperoleh sepertiga lahan, sementara dua pertiga lahan lainnya justru dikomersialkan? Padahal, unit milik kami dan kami sudah membayar,” katanya kesal.

Perubahan aturan ketiga, jika penghuni ingin melakukan renovasi terhadap unit apartemennya, maka mereka dikenakan biaya berdasarkan daftar tertentu. Acho memberikan contoh, jika penghuni ingin memasang wallpaper di dindingnya, maka mereka harus membayar izin sebesar Rp 1 juta. Biaya itu, kata Acho, belum termasuk biaya pengerjaan wallpaper jika menggunakan jasa orang lain.

Di blog, Acho mempertanyakan daftar biaya itu. Apakah itu termasuk pungli atau legal.

“Dalam ketentuan yang sebelumnya diinformasikan kepada kami, jika penghuni ingin melakukan renovasi, maka mereka hanya menyetor uang deposit sebesar Rp 1,5 juta. Uang itu untuk berjaga-jaga jika saat pengerjaan menimbulkan kerusakan terhadap unit lainnya,” tutur dia.

Perubahan aturan keempat dan fatal yakni menyangkut sertifikat. Semula, pengembang mengatakan sertifikat dapat diberikan kepada penghuni dua tahun usai mereka melunasi pembayaran. Tetapi, kenyataannya, mereka mengatakan baru akan memberikan sertifikat jika 17 tower rampung dibangun.

“Kami harus menunggu sampai kapan? Sementara, kami tidak tahu kapan 17 tower itu selesai dibangun. Akibat tidak memiliki sertifikat, unit yang dihuni saat ini statusnya tidak jelas,” katanya.

Sedangkan, ada penghuni yang ingin menggunakan unit untuk kepentingan bisnis lainnya seperti digadaikan atau disewakan kembali.

Perubahan kelima, pihak pengelola tetap menagihkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sementara, sertifikat pun mereka belum punya.

Pengembang juga menagihkan PBB tanpa ada SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Cara penagihan pajaknya pun tergolong aneh.

“Mereka hanya menagihkan melalui kolong pintu. Angka pajak yang ditagihkan mereka yang tentukan dan uang pembayaran pajak justru diminta untuk ditransfer ke rekening pengelola. Saya enggak terima hal ini. Sebab, yang saya tahu seharusnya pembayaran pajak ditransfer ke rekening pemerintah dan bukan swasta,” katanya.

Kasus yang janggal

Tulisan di blog Acho rupanya mendapatkan respons yang cukup luas. Ada sekitar 200 orang yang memberikan komentar di tulisan itu.

Pihak pengembang pun geram dan melaporkan Acho ke polisi di tahun 2015. Ia mengaku tidak tahu jika sudah dilaporkan ke polisi oleh pihak pengembang sejak dua tahun lalu.

“Karena, mereka tidak pernah menyatakan keberatan atau menghubungi saya terkait tulisan yang saya unggah di blog itu,” katanya.

Usai mengendap selama dua tahun, akhirnya Acho diperiksa di kantor polisi. Kepada penyidik, Acho bertanya mengapa ia dipanggil polisi.

“Menurut penyidik, tulisan saya menyebabkan kerugian. Banyak orang yang semula ingin membeli unit di sana akhirnya batal. Ya, menurut saya wajar, karena itu kan memang fakta,” katanya.

Polisi kemudian malah menetapkan Acho sebagai tersangka sejak tanggal 26 April. Ia pun mengaku tidak habis pikir mengapa bisa dijadikan tersangka.

Pasalnya, ia tidak merasa telah mencemari nama baik siapa pun di tulisannya di blog tersebut. Ia tidak menulis nama pengelola dan pengembang. Acho hanya menulis pengelola apartemen Green Pramuka City.

Polisi menyangkakan Acho dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 310 dan 311 KUHP mengenai fitnah kepada orang lain. Pelapor menyerahkan screen shot tulisan blog Acho dan cuitannya di akun media sosial.

Pada 22 Juni lalu, ia kemudian mengirim surat kepada pihak pengembang dan pengelola agar dapat bermediasi sesuai dengan arahan penyidik di kepolisian. Tetapi, ajakan itu tidak direspons.

“Jadi, saya menilai, mereka memang ingin memidanakan saya melalui pengadilan,” kata dia.

Terancam dipenjara

Kini, kasusnya sudah bergulir hingga ke Kejaksaan Agung. Saat ini, pemeriksaan di Polda Metro Jaya sudah selesai dan akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Walau berstatus tersangka, Acho memang belum ditahan. Namun, jika sudah di tangan penyidik Kejaksaan, peluang untuk ditahan terbuka lebar. Acho pun tetap merasa tidak bersalah.

“Kasus ini sejak awal sudah janggal, karena perbuatan saya tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik,” tuturnya.

Lagipula, menurut Acho, tulisan di blog itu, tidak bertujuan sama sekali untuk mencemarka nama baik. Itu hanya sebagai bentuk kritik supaya pengelola bisa memperbaiki pelayanannya dan untuk calon pembeli agar tidak tertipu dengan semua yang diiklankan oleh pihak pengelola.

Kasus Acho ini menambah daftar panjang orang-orang yang dijerat dengan pasal karet pencemaran nama baik. Kasus serupa juga pernah menimpa Prita Mulyasari yang dipenjara tahun 2009 lalu karena keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni Internasional di surat elektronik justru tersebar ke publik.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan Prita mendapat dukungan yang luas. Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan Prita tidak bersalah. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!