XChange

Kisah para buruh jamu Nyonya Meneer menuntut upah yang belum dibayar

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah para buruh jamu Nyonya Meneer menuntut upah yang belum dibayar
Manajemen pabrik jamu Nyonya Meneer masih berhutang upah kepada buruh mereka

SEMARANG, Indonesia – Senin pagi 7 Agustus menjadi hari yang berbeda bagi Siti Musliatun. Raut wajahnya gelisah. Sejak pagi buta, dirinya rela menempuh perjalanan dengan naik sepeda dari rumahnya di Desa Perampelan, Sayung, Kabupaten Demak menuju pusat kota Semarang, Jawa Tengah.

Rasa lelah setelah bersepeda sejauh 20 kilometer seakan terbayarkan saat tiba di ruas Jalan Raden Patah, Semarang Timur.

Tujuannya tak lain untuk menyambangi tempat kerjanya di pinggir jalan itu. Pandangannya tertuju pada sebuah gedung bertuliskan ‘Nyonya Meneer’. Setelah menyandarkan sepeda onthelnya, ia bergegas mengetuk gerbang bangunan tersebut.

“Kemarin saya dihubungi sama Mbak Yuni disuruh kemari. Janjinya mau ngasih bayaran yang sempat tertunda,” ujar Siti kepada Rappler dengan suara terbata-bata.

Mbak Yuni yang ia maksud merupakan mandor buruh jamu di pabrik Nyonya Meneer Cabang Raden Patah. Sejak lama ia menggantungkan kepercayaan pada mandornya tersebut.

“Janjiannya pukul 09:00 WIB tetapi saya datang lebih gasik (awal) kenapa gerbangnya masih ditutup? Saya ketuk-ketuk pagarnya enggak dibuka-buka,” katanya lagi.

Kekecewaan tergambar pada wajahnya. Apalagi Siti rela meninggalkan anak dan suaminya demi mengambil upah harian di Nyonya Meneer.

Ia mengatakan sudah bekerja di Nyonya Meneer sejak 1983 silam. Selama ini, ia menjadi tenaga harian yang bertugas memilah bahan baku jadi serbuk jamu.

“Dulu tiap hari saya mengerjakan pengayakan serbuk jamu dan pengepakan kemasannya. Namun entah kenapa sejak delapan bulan terakhir upah saya enggak pernah dibayar sama pihak pabrik,” katanya.

Menurutnya keterlambatan pembayaran gaji sudah terjadi hampir dua tahun terakhir. Ia sangat berharap Nyonya Meneer berbelas kasih kepadanya dengan membayar semua upahnya. Sehingga bisa memberi makan bagi anak-anaknya di rumah.

“Saya harus nagih janjinya (Mbak Yuni). Karena kalau enggak ada duit, mau buat makan keluarga apa,”tuturnya.

Di usianya yang menapaki angka 57 tahun, ia mengaku kesulitan mencari pekerjaan baru. Satu-satunya harapan hanya bekerja sebagai buruh jamu.

Halah Mas, opo ono sing gelem wong aku wes tuo ngene kok (mas, apa ada yang mau mempekerjakan saya. Saya kan sudah tua),” kata dia.

Tak dapat uang pensiun

PENSIUN. Mantan sopir karyawan jamu PT Nyonya Meneer, Isubroto, mengaku tak dapat uang pensiun dari pihak manajemen. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Nasib serupa juga dialami Isubroto. Ia mengaku sudah 25 tahun mengabdikan diri untuk Nyonya Meneer.

Ditemui di rumahnya di Kampung Manis Hardjo II, Broto, Isubroto mengawali karier di Nyonya Meneer sebagai sopir mobil para karyawan pabrik jamu itu pada 1991 silam.

Di masa tuanya, ia sesekali mengenang betapa Nyonya Meneer pernah menjadi produsen jamu terkemuka di Indonesia. Ia menyebut jumlah pegawainya saat itu sangat banyak. Tiap bulan ia mendapat gaji Rp 60 ribu.

“Gajinya banyak waktu itu karena bisa menaikan derajat saya dimata masyarakat dan keluarga,” ujar Isubroto.

Hari-harinya bersama Nyonya Meneer sempat ia habiskan dengan penuh kebahagiaan. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana aktivitasnya begitu padat saat Nyonya Meneer meraih kejayaan. Jamu-jamu bubuk ia kirimkan ke sejumlah depot dan ia harus sering pulang larut malam.

Masalah pun mulai menghadang awal tahun 2000 silam. Saat itu, produksinya mulai tidak stabil.

Berbagai kesulitan keuangan ia lalui bersama ratusan buruh lainnya. Upah-upah jarang terbayarkan. Alhasil tunggakannya pun kian menggunung.

“Kondisinya pasang surut. Apesnya lagi pas umur saya dianggap melewati batas usia bekerja, malah enggak pernah dapat uang pensiunan sampai hari ini,” kata Broto merasa miris.

Jika dihitung sesuai masa kerjanya, maka ia seharusnya berhak menerima uang pensiunan sebesar Rp 63 juta. Tapi sayangnya, puluhan tahun dedikasinya terhadap perusahaan justru tidak dihitung.

“Mau gimana lagi, perusahaan ndak pernah ngasih. Banyak sekali teman yang bernasib seperti saya. Berulang kali ditagih, enggak pernah cair,” katanya.

Untuk menyambung hidup, Broto kini sesekali menerima order sebagai sopir freelance. Pesanan ia terima dari tetangga bahkan pihak Nyonya Meneer.

“Pihak pabrik kadang-kadang masih nyuruh saya untuk diminta mengantar pegawainya pulang maupun mengantar bosnya ke rumah Bukit Sari. Sekali jalan saya dikasih Rp 100 ribu,” kata dia.

Dengan kasus pailit yang mendera Nyonya Meneer, ia berharap manajemen pabrik jamu berbaik hati untuk memberikan hak-haknya selama jadi pegawai puluhan tahun. Sebab, kondisi ini berdampak terhadap nasib buruh lainnya yang tak jelas.

Warga iba

Mirisnya nasib yang dialami buruh Nyonya Meneer membuat masyarakat setempat menaruh rasa iba. Yuliani Hermin, pedagang warung makan depan pabrik jamu itu menuturkan tak tega melihat hidup para buruh yang nelangsa.

“Kebanyakan nganggur, ya ada yang ke pabrik buat mencari kabar terkait bayarannya. Buruhnya memang dari perempuan yang tinggal sangat jauh di Demak, Kaligawe dan Genuk,” kata dia.

“Saya kasihan kalau lihat mereka, kerja sejak masih gadis sampai sudah emak-emak namun bayarannya sering nunggak,” katanya lagi.

Ia menjelaskan Nyonya Meneer punya tiga pabrik besar yang dipusatkan di Semarang. Sebuah pabrik dan museum jamu dibangun di Jalan Kaligawe KM 4, pabrik jamu serbuk di Jalan Raden Patah dan pabrik minyak telon merek 99 di Jalan Letjen Suprapto. Kondisi keberadaan pabrik pun tidak beda jauh dengan nasib buruh yang tidak jelas.

“Yang dua (pabrik) tutup (sedangkan) yang satu di Raden Patah hanya mempekerjakan dua sampai enam orang saja,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Produsen jamu PT Nyonya Meneer dinyatakan pailit

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!