Benarkah transaksi online jadi penyebab turunnya bisnis ritel?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah transaksi online jadi penyebab turunnya bisnis ritel?
CEO Mataharimall.com ini bicara tentang perubahan perilaku konsumen

JAKARTA, Indonesia  – Ruangan berukuran  sekitar 3 x 4 meter persegi itu dinamai “war room” bagi eksekutif Mataharimall.com, sebuah perusahaan e-commerce  O2O (online to offline) yang bernaung di bawah Grup Lippo. Hadi Wenas melewati sebagian dari kesehariannya sebagai chief executive officer (CEO) perusahaan itu di ruangan yang dinding kacanya dipenuhi tempelan kertas warna-warni. 

Isi kertas menyangkut materi rapat, strategi perusahaan, termasuk apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan bisnis dengan transaksi miliaran rupiah setiap hari. Tidak ada kursi di ruangan itu. Hanya meja rapat, sekaligus meja kerja Wenas.

Pria yang memulai karier dengan bekerja di perusahaan komputer Oracle itu merasa rapat sambil berdiri lebih efektif. Begitu informasi diproses di otak, maka tubuh secara langsung akan bereaksi untuk mengambil keputusan. 

“Ada peran gravitasi di situ. Lagi pula saya punya masalah di leher belakang. Rapat sambil berdiri kan bertumpu kepada dua kaki. Lebih sehat. Rapat tak perlu lebih dari 30 menit.  Singkat, jelas. Apa langkah selanjutnya, siapa yang melakukan apa dan kapan? “ kata Wenas, yang sebelum bergabung dengan perusahaan ini, pernah menjadi pendiri dan juga CEO Zalora, perusahan e-commerce di bidang fesyen.

Saya menemui Wenas di kantornya, Senin, 7 Agustus 2017. Situasi ekonomi tengah diwarnai pertanyaaan tentang apakah benar terjadi penurunan daya beli? Berbagai analisa muncul dari kalangan pemerintah maupun pendukung pemerintah. 

Rata-rata memperkirakan turunnya daya beli di sektor ritel terutama saat bulan Ramadan dan Lebaran 2017 akibat  konsumen beralih ke belanja online. Debat hangat juga terjadi di grup percakapan Forum Pemimpin Redaksi. (SIMAK: Daya beli turun selama Ramadan dan Lebaran 2017)

Padahal, CEO Bukalapak Achmad Zaky, ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, mengatakan bahwa pangsa pasar bisnis ritel daring atau volume transaksi e-commerce, sekitar 2%.  

Sales e-commerce memang naik 3% per tahun, tapi kontribusinya belum signifikan,” kata Zaky, ketika saya tanyai lewat pesan singkat, akhir 2017.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Profesor Bambang S. Brodjonegoro menjawab pertanyaan saya mengatakan, turunnya daya beli ini agak misterius.  Bambang menjawab hal ini saat menyampaikan rencana pelaksanaan Indonesia Development Forum di kantornya, Jumat, 4 Agustus 2017. 

Bambang mengutip data ekonomi kuartal I-2017 yang baik. Semester I tahun ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tumbuh tinggi sekitar 13,5% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

“Kenaikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ekspor, padahal ekspor itu tidak kena PPN. Jadi kalau PPN naik, ini pasti karena ada  transaksi. Data Kemenperin menunjukkan PPN banyak dari manufakturing,” kata dia.

Penurunan daya beli yang dianggap masih jadi misteri juga karena tidak terlacaknya transaksi di sektor e-commerce, yang berpotensi mengubah kebiasaan masyarakat dalam berbelanja.

“Yang masih jadi misteri, berapa data transaksi online, yang susah online itu belum terdata dengan baik. Jujur kita enggak berdaya mengatasi ini. Orang yang beli melalui Amazon, misalnya, bagaimana menagih pajaknya? Saya kok punya keyakinan statistiknya belum meliputi  transaksi online secara penuh, contoh Instagram, kan dipakai untuk promosi, statistik saja enggak merekam kejadian itu. Ini menurut saya masih misteri,” ujar Bambang. 

Untuk mendapatkan informasi lain yang menjawab misteri itu, saya menemui Wenas. Saya juga menindaklanjuti percakapan dengan Achmad Zaky mengenai kesiapan e-commerce Indonesia berhadapan dengan pesaing asing dan menjadi pemain ekonomi digital terbesar di ASEAN. (BACA: Ekonomi digital di ASEAN akan mencapai US$ 200 miliar dolar).


Wenas mengaku optimistis dengan bisnis yang tengah dikelolanya, juga bisnis e-commerce di Indonesia.  

“Pada Q 2 lebih spesial, karena kita fokus ke healthy growth, healthy consumer, dengan  lebih fokus tingkatkan pelayanan, kemudahan bertransaksi, di samping kompetisi produk dan  harga, program diskon yang menarik.  Sehingga penjualan naik signifikan,” kata Wenas.

Ia melanjutkan, setiap perusahaan punya prinsip berbeda-beda dalam mencapai tujuannya. 

“Kalau kita sebagai bagian dari Lippo Group, pada akhirnya bisnis harus sustabinable, seperti Matahari Deparment Store yang berusia 57 tahun. Kami menuju ke sana, jangan sampai bisnis berumur single digit kemudian enggak ada. Untuk mencapai hal itu tidak hanya bisa fokus ke mengakuisi customer begitu saja, kita juga perhatikan program apa yang perlu dijalankan, bagaimana mencipatkan healthy costumer versus yang less. Tidak hanya perlu program diskon. Perlu andalkan layanan, kemudahan transaksi, akses ke situs penjualan, kemudahan aplikasi dan lainnya,” ujar Wenas.

Saya bertanya tentang pengaruh turunnya (pertumbuhan) daya beli, dengan beragam analisis yang ada. Wenas kompak menjawab bahwa pangsa pasar bisnis e-commerce di Indonesia kurang 2%.  Mirip jawaban CEO Bukalapak Zaky.   

“Masih kurang dari 2% dari total ritel offline dan online. Kelihatannya kecil, tapi ini proses yang perlu kita lalui secara bertahap.  Angka (volume transaksi) yang kita miliki saat ini, adalah angka di Tiongkok 6-8 tahun lalu. Kita menuju ke angka 6-8% dari total ritel di Indonesia. Menurut saya masih on the right track. Angka 2% itu sudah termasuk penjualan melalui media sosial seperti Instagram, Facebook dan lainnya. Di sisi lain adalah angka penjualan ritel mencakup online dan offline yang meliputi grosir besar, ritel modern, conveniencet stores, sampai ke jualan di media sosial,” ujarnya. 

Wenas mengatakan, dia tak begitu saja bisa menarik kesimpulan mengapa ada anomali antara angka-angka ekonomi makro yang baik, dengan lesunya daya beli sebagaimana dikeluhkan para pengusaha termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia.

“Kalau dari opini makro terus-terang saya belum bisa menarik konklusi. Tetapi saat ngobrol dengan para pemain industri yang sama, ada 2 kubu.  Satu kubu mengatakan the whole macro is softening,  tidak menurun (transaksinya),  tetapi pertumbuhannya melambat dibandingkan prediksi awal. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa yang terjadi adalah perubahan perilaku konsumen. Ada yang mengatakan pembeli beralih ke transaksi online. Yang saya maksud perubahan perilaku adalah, saat ini orang tidak lagi membeli dalam jumlah banyak untuk stok barang-barang. Belinya kalau butuh, sehingga memang basket size-nya lebih kecil.  Belanja lebih sering, lebih sedikit. Mengapa? Karena sekarang ada convenience stores  menjamur di mana-mana. Pada tahun 2012, saya ingat angkanya 15 ribu stores, dari dua pemain utama saja. Sekarang, saya dengar yang satu jaringan punya 15 ribu toko, satunya lagi 12 ribu toko. Bayangkan, ada 27 ribu toko, hanya dari dua merek paling terkenal. Ini artinya akses masyarakat konsumen ke barang lebih banyak dan lebih dekat. Dan juga kalau lihat disparasi harga di tingkat grosir, hypermarket, supermarket, sampai ke convenience store bedanya sedikit. Harganya dekat semua. Padahal ide awal convenience store itu harganya lebih tinggi dibandingkan grosir atau ritel modern besar. Karena dekat dan mudah diakses. Kita lihat yang terjadi saat ini tidak seperti itu lagi. Perubahan perilaku itu juga terjadi misalnya, orang yang biasa beli air mineral kemasan yang besar, kini beli yang kemasan kecil. Beli mie instan dalam kardus dengan jumlah banyak, kini beli sedikit.  Bisa ditenteng di tas plastik,” kata Wenas. (BACA: Benarkah Sevel tutup karena larangan penjualan minuman beralkohol?)


Tentang masih tertinggalnya pangsa pasar e-commerce di Indonesia, Wenas mengatakan ini tidak hanya berkaitan dengan usia bisnis, melainkan juga faktor lainnya. 

It’s a matter of education and time. Di Tiongkok sekarang memberi angpao, bingkisan uang, melalui transaksi online.  Tahun 2016, ada sekitar US$ 200 juta transaksi angpao lewat messaging. Di negara maju seperti AS dan Tiongkok, tahun ini angka penetrasi pasar bisnis e-commerce baru 12-15% terhadap total bisnis ritel (offline dan online). Angka itu bukan angka kecil, angka yang normal melalui itu. Enggak bisa tiba-tiba ke 5% misalnya,” ujar Wenas.

Edukasi penting

“Kalau berkaca dari negara yang lebih maju, the whole ecosystem need to educate their consumer. Menurut saya, e-commerce sebagai  platform harus bisa memberikan nilai tambah. Apa? Sistem ini membuat jumlah orang di tengah-tengah proses perdagangan (middleman) jadi makin sedikit. Kalau tadinya mau mendistribusikan barang dari produser ke konsumer harus melalui melalui kota besar, sedang dan  kecil, kini tidak perlu. Middleman dari 5 jadi 2 atau satu saja. Harga lebih baik. Dari situ, berarti e-commerce punya nilai lebih dibanding pasar tradisional. Siapa yang harus edukasi? Sebaiknya bukan hanya pemain  e-commerce, tetapi didukung payment provider seperti bank dan layanan pembayaran lain, pemerintah, logistic provider, semuanya saling dukung. Termasuk platform pemasaran digital seperti pemain media sosial. Semuanya  harus edukasi masyarakat bahwa belanja di online lebih mudah dan memberikan nilai tambah dalam arti rantai pemasaran dari produsen ke konsumen lebih singkat,” kata Wenas.


Bersaing di pasar ASEAN

Pe-er-nya masih banyak, tetapi definitely possible. Mungkin banget. Kita perlu melihat bisnisnya bagaimana. Bagi pemain lokal seperti kami, kompetisinya makin ketat. Tapi bagus untuk kondisi kewirausahaan. Kalau biasa-biasa saja enggak seru. Kompetisi yang sehat menguntungkan konsumen. Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan perusahaan lokal untuk bersaing dengan pemain besar dari luar yang mulai masuk. Kita masih banyak ketinggalan dalam bisnis e-commerce dibandingkan dengan pemain besar asing. Tapi, kalau berkaca dalam sejarah, ketika perang kemerdekaan kita juga bersenjatakan bambu runcing,” kata Wenas.

Memahami pasar lokal penting. “Karena konsumen memiliki kebiasaan dan selera yang berbeda. Behaviour sensitivity adalah kelebihan pemain lokal,” ujarnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!