Komunitas LGBT gelar upacara bendera di Yogyakarta

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas LGBT gelar upacara bendera di Yogyakarta
Banyak dari mereka tak bisa mendapatkan KTP

Yogyakarta, Indonesia – Komunitas Lesbian Gay Biseksual dan Trangender (LGBT) Yogyakarta merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan menggelar upacara bendera di halaman Gedung Balai Serbaguna Dwipari, Kamis 17 Agustus 2017. 

Upacara dipimpin waria pengelola pondok pesantren Al Fatah, Shinta Ratri, dengan peserta terbagi dalam tiga pleton, yakni anggota Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Peple Like Us Satu Hati (PLUSH), Youth Forum serta pondok pesantren waria Al Fatah.

Pleton waria berada di barisan paling ujung. Mereka kompak mengenakan kebaya berwarna merah dan jarit kain batik bawahan berwarna dominan putih. Ada di antara mereka yang mengenakan konde dan ada pula yang menguri rambutnya. Mereka mengaku berdandan sejak pagi, menyewa kostum kebaya, agar tampil beda untuk upacara bendera.

Di barisan berikutnya adalah peserta yang menggunakan baju bebas. Di antaranya membawa bendera dan memasang pin bermotif pelangi. Tiga personel paskibraka kemudian mengibarkan bendera merah putih. 

Saat bendera merah putih mulai dikerek, peserta langsung melantunan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan aba-aba seorang dirijen waria. Protokoler upacara sama dengan upacara bendera pada umumnya.

Bagi mereka upacara bendera dimaknai sebagai simbol kemerdekaan bagi komunitas LGBT yang selama ini kerap mendapatkan diskriminasi. Mereka, misalnya, mengaku kesulitan mengurus kartu identitas.

“Ini simbol perjuangan sekaligus pengingat bagi negara dan semua orang bahwa orang LGBT adalah warga negara dan kita punya hak setara dan sama, seharusnya tidak diperlakukan berbeda,” kata Mario Pratama, komandan upacara. 

Mario menambahkan komunitas LGBT sebenarnya tidak berniat melakukan upcara bendera yang ekslusif. “Pertimbangannya karena ruang aman bagi LGBT sangat terbatas,” katanya. “Barangkali di kampung masing-masing mereka tak bisa mengekspresikan diri.” 

Seorang peserta, Oki Blezinski, mengatakan dirinya masih kesulitan dalam mengekspresikan identitasnya sebagai transgender. Salah satunya ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

Waria pendatang yang mengaku berasal dari Batam itu sampai saat ini tak memiliki KTP. Satu-satunya kartu identitas yang dimiliknya adalah kartu tanda anggota Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo). 

Oki yang bekerja sebagai penata rambut di salon mengaku tinggal di Yogyakarta sejak 2010. Saat itu, berbekal bantuan dari teman di sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja, Oki bisa naik pesawat terbang dari Medan, transit Batam dan kemudian tiba di Yogyakarta. 

“Di bandara saya tunjukkan kopian KTP saya yang sudah sulit dikenali, tapi syukur waktu itu bisa lanjut mungkin karena saya datang ke Jogja dengan bantuan orang perusahaan. Kalau sekarang, tidak ada penjaminnya, saya tidak berani,” kata Oki. 

Oki mengaku telah berupaya mengurus KTP di tempat tinggalnya saat ini. Namun gagal karena persyaratan administrasi menuntut Oki mengurus kartu domisili dan keterangan dari tempat tinggal lama. 

Namun Oki kesulitan mendapatkan keterangan dari tempat lahirnya. Seperti banyak waria yang lain, Oki juga kesulitan dan tak lagi berkomunikasi dengan keluarganya di Batam. 

“Tak pernah komunikasi dengan keluarga. Terakhir punya KTP dan paspor itu tahun 1996. Setelah itu tidak lagi. Akibatnya, sekarang, banyak kegiatan potensial di tempat jauh dan memerlukan KTP harus saya lepaskan,” katanya.

Upacara bendera komunitas LGBT di Yogyakarta sendiri bukanlah yang pertama kali. Shinta Ratri, inspektur upcara, mengingat upacara pertama berlangsung lima tahun yang lalu. Dia berharap upacara bendera bisa rutin dilakukan setiap tahun. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!