Indonesia

Mengikis stigma HIV/AIDS dengan lukisan

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengikis stigma HIV/AIDS dengan lukisan
Seorang anak berusia 10 tahun memamerkan 20 karya lukisnya di salah satu pusat berbelanjaan di Kota Yogyakarta

YOGYAKARTA, Indonesia – Sekitar 20 karya lukis dipamerkan di salah satu ruang pamer di sebuah pusat perbelanjaan di Yogyakarta pada 15-23 agustus 2017. Lukisan-lukisan tersebut diguratkan di media kertas gambar, namun dilukis dengan berbagai pewarna bahkan digabung dengan guntingan koran sehingga menjadi kolase ataupun lukisan 3 dimensi. 

Ada lukisan yang dibuat menggunakan spray, pewarna crayon hingga pewarna batik atau arsiran menggunakan pensil. Tema pun lukisan beragam, dari bunga, daun, minuman dan makanan, masa kecil dan keluarga, hingga hari kemerdekaan. 

Hebanya lagi, semua lukisan tersebut adalah hasil karya anak berusia 10 tahun berinisial SR yang masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. SR telah terinveksi virus HIV sejak lahir.    

“Ini cara kami mengikis stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Bahwa tidak ada yang berbeda antara ODHA dengan yang lain. Bedanya, mereka harus minum obat ARV secara rutin,” kata panitia pameran dari Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) wilayah Kulonprogo, Wakiman, Rabu 23 Agustus 2017. 

Wakiman mengatakan saat ini masih banyak stigma dan diskriminasi terhadap ODHA akibat pemahaman yang keliru dari masyarakat terhadap HIV-AIDS dan cara penularannya. 

“Penularan HIV-AIDS ini tidak mudah, berpelukan bahkan berenang bersama tidak akan menularkan virus. Harus ada kontak langsung cairan tubuh,” kata pendamping yang kerap disapa Kun-Kun itu.

Terdapat ribuan ODHA di Yogyakarta

Wakiman mengatakan jumlah ODHA di Yogyakarta terus meningkat. Sejak KDS muncul pada 2004, jumlah yang terakumulasi mencapai kisaran 4000 ODHA, dengan sekitar 10 persen di antaranya adalah ODHA di bawah usia 15 tahun atau anak-anak.

Sebagian besar mereka tertular dari orang tua. Padahal, menurutnya, dengan perawatan yang baik, penularan dari orang tua terhadap janin dan bayi yang dilahirkan bisa dicegah. 

“Sebagian besar orang tua tidak tahu mereka positif HIV AIDS ketika hamil dan melahirkan. Jika informasi itu didapat lebih awal, kemungkinan menularkan pada bayi akan bisa dicegah,” kata Wakiman.

Wakiman mencontohkan beberapa perempuan ODHA yang didampinginya bisa melahirkan tanpa menularkan virus kepada bayinya. 

“Ada batas aman jumlah virus dalam darah ketika akan melahirkan, juga ketika melahirkan disarankan cesar. Ada beberapa bayi yang kemudian di tes secara berkala hingga usia 18 bulan hasilnya negative,” ujarnya.

Adapun peningkatan jumlah ODHA pada kelompok dewasa menurut Wakiman lantaran ada banyak pendatang, terutama pelajar, dari luar daerah yang baru mengetahui statusnya ketika berada di Yogyakarta. 

Banyaknya informasi dan fasilitas kesehatan rujukan memudahkan pendatang untuk melakukan tes HIV-AIDS di Yogyakarta. “Kami bekerjasama dengan Puskesmas dan Rumah Sakit di Yogyakarta. Jika ada yang positif langsung diarahkan ke kami agar mendapat pendampingan,” katanya. 

Lukisan karya SR (10 tahun) berjudul 'Hari Natal' dipamerkan di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Yogyakarta. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler  Bentuk pendampingan berupa pemberian informasi, sosialisasi dan juga asupan nutrisi. Kami juga mendorong mereka terbuka pada keluarga di daerah, namun dengan memberikan informasi lebih dahulu kepada keluarga. Sebab dukungan keluarga penting. “Terutama untuk pengawasan konsumsi  ARV,” katanya.

Anak pertama postif, ke dua negatif

Magdalena Diah Utami, ibunda SR, menyebut SR akan genap berusia 10 tahun Desember nanti. Magdalena mengatakan dirinya tertular HIV dari pasangannya pada 2007. 

Namun dia baru mengetahui statusnya positif setelah SR lahir dan berusia 8 bulan. Setelah itu, Magdalena berupaya mencari tahu tentang HIV-AIDS dan aktif bekerja sebagai relawan pendamping HIV-AIDS di Yogyakarta. 

“Saya mengikuti Program PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak) dengan terapi ARV intensif untuk menekan kemungkinan penularan dari sekitar 45 persen menadi 2 persen,” kata Magdalena.

Ketika anak keduanya lahir (dari pasangan berbeda) pada 2013, Magdalena melanjutkan, dia segera dibekali ARV dengan jenis Zidovudin untuk mencegah infeksi HIV dalam tubuhnya. 

Pada 2013 awal Magdalena bercerai karena KDRT dan suaminya yang juga ODHA meninggal pada 2015 karena Infeksi oportunistik (IO) akibat tidak mengonsumsi ARV. Anak keduanya yang kini berusia 4 tahun telah beberapa kali menjalani tes HIV dengan hasil negatif.

Konsumsi rutin ARV di rumahnya dilakukan oleh dirinya dan anak pertamanya. Dia menuturkan, putrinya paham bahwa dia memiliki HIV sejak berusia 4 tahun. Ketika awal masuk ke PAUD dan TK, Magdalena harus memberikan pemahaman lebih dahulu kepada sekolah dan walimurid setempat tentang bagaimana ODHA dan penularan HIV-AIDS. 

Posisinya sebagai relawan komunitas HIV-AIDS memudahkan Magdalena untuk melakukan sosialisasi sebelum membuka status anaknya kepada guru dan walimurid lainnya. 

“Setelah mendapatkan informasi, baru saya membuka status anak saya. Ini penting bukan untuk minta diistimewakan, tetapi agar lingkungan juga paham bagaimana menangani ODHA dan bagaimana virus itu menular,” katanya. 

Sebab, anaknya sering alergi coklat dan susu. Ketika guru dan walimurid tahu, mereka dengan segera mengganti jenis kue tersebut. Bahkan ketika anaknya sakit dan lama tidak masuk, guru dan walimurid membesuk dan memberikan semangat. 

“Ketika saya jadi korban KDRT suami saya, guru dan walimurid datang untuk membesuk. Anak saya saat itu juga terluka akibat dibanting ayahnya,” katanya mengingat.

Simpan status sebab takut dirisak

Memasuki usia SD, sejumlah pertanyaan tak terduga muncul dari SR. “Mami, kalau dulunya mami tahu infonya, mami pasti nggak nularin aku ya. Atau dia juga bilang, aku nggak mau deh punya pacar, nanti nularin pacarku,” kata Magdalena mengulang pertanyaan anaknya sulugnya itu. 

SR juga meminta agar ibunya tidak membuka statusnya pada seluruh walimurid atau teman di sekolah. Magdalena menuturkan, ada banyak perisakan yang dilakukan oleh siswa di sekolahnya. Meskipun itu tidak terjadi pada putrinya. 

“Dia takut dibully. Misalnya ada yang pakai sepatu baru kemudian diinjak ramai-ramai, ada pemalakan, bekal dia beberapa kali dimakan temannya. Jadi saya hanya terbuka kepada guru dan walimuridnya saja,” kata Magda. 

Menurutnya, perisakan di lingkungan sekolah dianggap dalam batas wajar, yang sering dilakukan oleh anak di usia SD pada umumnya.

Semakin dewasa, bakat melukis SR juga semakin terasah. Selain di sekolah, Magdalena juga memberikan guru lukis privat yang bisa datang ke rumah. Pameran yang berlangsung di pusat perbelanjaan di Yogyakarta adalah pameran lukisan anaknya yang ke tiga kali. 

Lukisan dengan cat batik berjudul Hari Kemerdekaan karya SR dipamerkan di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Yogyakarta. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

“Lukisan hari kemerdekaan itu dibuat selama 30 menit. Mulai dari bloking sampai selesai mewarnai menggunakan cat batik. Baru kali itu saya tahu karena saya melihat dan menunggu lukisannya selesai,” imbuhnya.

Kepadanya, SR pernah bertutur ingin bisa sekolah hingga jenjang S3. Dia mulai menabung tiap hari untuk itu. Anak perempuan yang juga menjadi penggemar timnas sepakbola Indonesia di Sea Games 2017 itu, mengatakan bercita-cita menjadi menjadi guru kelak. 

Sebagai orang tua tunggal, Magdalena  berupaya menyemangati buah hatinya, namun dengan melihat kondisi finansial dan fisik yang ada. “ Nutrisi untuk Odha itu penting, jadi salary saya sebagai relawan terpenting adalah untuk asupan nutrisi itu,” katanya.

Selain itu, Magdalena juga sering ingin ikut ekstra Basket, Karate dan semua ekskul yang ada. Saya harus sering ingatkan, dia tak boleh terlalu capek karena nanti tyfusnya bisa kambuh. 

“Dia lemah di pencernaanya,” imbuh Magda. Menurutnya, seluruh lukisan anaknya akan disumbangkan kepada yayasan Fictory Plus, yayasan yang menaungi kegiatan seluruh KDS di Yogyakarta.  

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!