Mengenal Aung San Suu Kyi, sang pembela HAM yang dicaci dan dicintai

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal Aung San Suu Kyi, sang pembela HAM yang dicaci dan dicintai

EPA

Sosok Suu Kyi kini kerap disorot karena diam dalam menyikapi tindak kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya

JAKARTA, Indonesia – Nama Aung San Suu Kyi, State Counsellor Myanmar kembali menjadi sorotan setiap kali terjadi tindak kekerasan di negara bagian Rakhine. Sikapnya kembali dikritik karena tetap diam dan pelit komentar ketika terjadi tindak kekerasan yang menimpa kaum minoritas etnis Rohingya pada akhir Agustus lalu.

Berdasarkan informasi dari media, tindak kekerasan di negara bagian Rakhine terjadi pada 25 Agustus lalu. Aksi itu dipicu para pemberontak yang melakukan serangan ke 30 pos polisi di bagian utara Rakhine. Mereka juga membawa pisau dan bom rakitan.

Sejak kejadian itu, tindak kekerasan tidak pernah berakhir hingga saat ini. Baik warga sipil dari berbagai komunitas akhirnya terpaksa mengungsi.

Militer Myanmar kemudian turun tangan untuk mengatasi tindak kekerasan. Di sini lah diduga, mereka justru membuat situasi bertambah buruk dan menjadikan warga etnis Rohingya sebagai objek kekerasan.

Data dari militer Myanmar menyebut ada 400 orang yang tewas dalam tindak kekerasan tersebut. Mereka menyebut sebagian besar dari mereka adalah anggota kelompok militan.

Sayangnya, akses bagi kelompok jurnalis ke negara bagian Rakhine dibatasi, sehingga sulit bagi mereka mengonfirmasi apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Melihat situasi itu, Aun San Suu Kyi masih diam. Sikap diamnya itu justru menjadi bumerang. Ia dikecam oleh berbagai pihak termasuk dari koleganya sesama penerima Nobel.

Bahkan, pada akhir 2016, sebanyak 23 aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) mengirimkan surat terbuka ke Dewan Keamanan PBB. Mereka memberi peringatan terhadap Suu Kyi terkait tindak kekerasan militer Myanmar yang telah mengakibatkan ratusan orang tewas.

Siapa sebenarnya Aung San Suu Kyi, sosok yang sempat dielukan akan membawa perubahan drastis bagi Myanmar? Berikut lima hal yang perlu kamu tahu mengenai perempuan yang dijuluki “The Lady” itu:

1. Anak proklamator Myanmar

Suu Kyi merupakan putri bungsu dari Jenderal Aung San dan lahir di Rangoon pada 19 Juni 1945. Jenderal Aung merupakan salah satu orang yang terlibat dalam proses negosiasi kemerdekaan Myanmar dari Kerajaan Inggris pada tahun 1947 lalu.

Tragisnya, Jenderal Aung dibunuh oleh rivalnya di militer di tahun yang sama. Kendati ayahnya meninggal, namun karier sang ibu nampaknya tidak diganjal oleh rezim yang tengah berkuasa saat itu. Ibu Suu Kyi, Khin Kyi berhasil mendapat popularitas dan ditunjuk sebagai Duta Besar Myanmar untuk India dan Nepal.

Maka Suu Kyi kecil ikut bermukim di kedua negara tersebut. Usai lulus dari Universitas Delhi di New Delhi dengan gelar di bidang politik di tahun 1964, Suu Kyi melanjutkan pendidikannya di Oxfordm Inggris pada 1967. Ia juga meraih gelar master di kampus yang sama pada tahun 1968.

Di sini lah ia bertemu dengan sang suami Michael Aris. Keduanya kemudian menikah pada tahun 1972 dan memiliki dua anak.

Pernikahannya dengan Michael ini nantinya akan dijadikan amunisi oleh lawan politiknya agar ia tidak menjadi pemimpin Myanmar.

2. Jadi tahanan rumah 21 tahun

DIBEBASKAN. Htin Kyaw yang ketika itu belum menjadi Presiden mendampingi Aung San Suu Kyi di kediamannya di Yangon pada 13 November 2010. Pada hari itu, Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah setelah mendekam di sana lebih dari dua dekade. Foto oleh AFP/JIJI

Suu Kyi dijadikan tahanan rumah selama dua dekade karena dianggap berupaya memecah belah militer Myanmar. Hal itu dibuktikan melalui vonis sidang yang dikeluarkan pada tahun 1989.

Kendati ia menolak tuduhan tersebut, tetapi Suu Kyi tetap ditahan. Ia sempat dibebaskan sementara waktu, namun ditahan kembali di rumah. Proses itu terjadi berulang kali.

Suu Kyi sempat dibebaskan namun dilarang untuk berpolitik pada 23 September 2000. Ia juga kembali dijadikan tahanan rumah hingga 6 Mei 2002, lalu masa penahanannya kembali diperpanjang pada 29 November 2004.

Ketakutan rezim pemerintahan Myanmar terhadap Suu Kyi membuat mereka kembali memperpanjang penahanan hingga tahun 2008. Masa tahanan akhirnya kembali ditambah ketika ia dinyatakan bersalah membiarkan seorang warga negara Amerika Serikat John Yettaw berenang di danau dekat rumah pengasingan Suu Kyi.

Masa hukumannya ditambah selama 18 bulan, hingga akhirnya ia resmi dibebaskan pada 13 November 2010. Alasan mengapa Suu Kyi dibebaskan oleh militer tidak diketahui.

Dunia internasional hanya bisa menebak-nebak. Dua di antaranya, karena militer sudah kehabisan alasan untuk menahan Suu Kyi dan mereka ingin agar publik menerima dengan baik hasil pemilu di tahun itu, di mana partai yang terkait dengan junta militer malah menang dengan suara mayoritas 80 persen.

“Kemungkinan para jenderal sudah tahu bahwa hasil pemilu yang demikian janggal dapat menimbulkan kemarahan publik. Akhirnya, mereka menilai satu-satunya cara menutupi hal tesebut dengan menampilkan kepada dunia sesuatu yang berbeda dan kisah yang lebih dapat diterima,” tulis media saat itu.

3. Meraih Nobel Perdamaian

Komite Nobel pada tahun 1991 memberikan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi. Dalam situs resmi Penghargaan Nobel, Suu Kyi disebut sebagai simbol kebebasan dan juara pelindung Hak Asasi Manusia (HAM). Suu Kyi tidak dapat terbang ke Oslo untuk menerima penghargaan tersebut karena masih menjadi tahanan rumah junta militer. 

Namun sayang, penghargaan Nobel yang diraihnya tidak menjamin ia bisa bertindak tegas ketika terjadi aksi kekerasan di negaranya. Maka, kini muncul tekanan dari dunia internasional agar Nobel Perdamaian yang diraih Suu Kyi dicabut oleh Komite Nobel.

“Kami berharap bahwa dia dapat menggunakan kualitasnya yang luar biasa untuk menyatukan negaranya, menghentikan tindak kekerasan dan mengakhiri prasangka yang menimpa umat Muslim di sana,” ujar juru bicara kantor PM Inggris pada Senin kemarin.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh peraih Nobel Perdamaian termuda yakni Malala Yousafzai. Dalam akun media sosialnya, Malala meminta agar segala bentuk kekerasan terhadap etnis Rohingya dihentikan.


Namun, kini yang menjadi pertanyaan apakah mungkin Komite Nobel dapat mencabut kembali Nobel yang pernah diberikan kepada Suu Kyi? Mantan anggota komite Nobel, Gunnar Stalsett mengatakan dalam sejarahnya tidak mungkin sebuah penghargaan Nobel akan ditarik. Selain Suu Kyi, ada pula perdebatan pemberian Nobel terhadap beberapa individu lainnya, antara lain Henry Kissinger dan Barack Obama.

“Sebuah penghargaan tidak pernah dicabut dan komite tidak pernah mengeluarkan kecaman atau mengecam para pemenang. Pada prinsipnya, kami sepakat bahwa keputusan itu (memberi Nobel) bukan lah sebuah pengumuman bahwa seseorang adalah orang suci. Ketika keputusan sudah dibuat dan penghargaan telah diberikan, maka tanggung jawab komite sudah berakhir di sana,” kata Stalsett seperti dikutip media.

4. Dilarang menjadi Presiden

KELUARGA. Aung San Suu Kyi bersama sang suami Michael Aris dan putra pertama mereka Alexander. Foto: Pintrest

Pasca Suu Kyi dibebaskan secara resmi dari tahanan rumah, ia sebenarnya memiliki peluang untuk menjadi Presiden Myanmar. Apalagi Komisi Pemilihan Myanmar pada 2015 lalu menyatakan partai yang dipimpin Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memperoleh suara terbanyak pada pemilu terbuka pertama di negara yang dulu sempat bernama Burma itu.

Sayangnya, peluang itu tidak dapat terwujud. Amandemen Konstitusi di Myanmar melarang warganya yang menikah atau memiliki hubungan keluarga dengan orang asing menjadi pemimpin nomor satu di sana.

Seperti yang diketahui Suu Kyi menikah dengan seorang warga Inggris bernama Michael Aris pada 1 Januari 1972. Ia kemudian melahirkan dua putra; Alexander pada tahun 1973 dan Kim pada 1977. Kedua anak Suu Kyi itu mengikuti jejak sang ayah untuk menjadi warga Inggris.

Namun, yang tragis Suu Kyi tidak dapat melihat suaminya untuk kali terakhir. Michael menghembuskan nafas terakhir akibat penyakit kanker pada 27 Maret 1999.

Lantaran tidak bisa menjadi Presiden, Suu Kyi akhirnya diberi posisi khusus oleh pemerintahan yang masih didominasi oleh militer. Posisi khusus itu diberi nama “State Counsellor” yang sejajar dengan Perdana Menteri.

Dengan menjabat sebagai State Counsellor, Suu Kyi dapat berkomunikasi dengan kementerian, departemen, organisasi, asosiasi dan individu.

Dalam sebuah wawancara, Suu Kyi juga mengumumkan bahwa pemimpin de facto Myanmar sesungguhnya adalah dia. Sebab, partainya yang kini menjadi oposisi mendominasi kursi di parlemen.

Dengan begitu, maka partai yang ia pimpin NLD berhak membentuk pemerintahan yang sah.

“Saya membuat semua keputusan karena saya seorang pemimpin dari partai pemenang. Dan Presiden hanya salah satu dari orang-orang yang akan kami pilih agar sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh konstitusi,” kata Suu Kyi dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Channel News Asia pada 2015 lalu.

Presiden pilihan NLD harus dapat memahami hal tersebut, bahwa ke depan ia tidak akan memiliki otoritas apa pun.

“Presiden terpilih juga akan bertindak dan bersikap sesuai dengan posisi partai pemenang,” katanya.

5. Bantah ada pembersihan etnis

TERBAKAR. Seorang perempuan Rohingya menangis usai terjadi kebakaran di pemukiman Muslim Baw Du Ba pada 3 Mei 2016. Foto oleh Nyut Win/EPA

Sikap diam Aung San Suu Kyi dan absennya kecaman terhadap pihak militer di negara bagian Rakhine membuat dunia internasional merasa gemas kepada perempuan berusia 72 tahun itu. Namun, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi BBC pada April 2017, Suu Kyi menjelaskan penyebabnya.

Kepada jurnalis Fergal Keane, Suu Kyi mengaku kerap ditodong pertanyaan yang sama sejak 2013 lalu; “mengapa ia diam dalam menyikapi tindak kekerasan di Rakhine?” Ia pun menjawab hal tersebut memang tidak perlu. 

“Saya tidak ingin mengecam satu komunitas tertentu saja,” kata Suu Kyi beberapa bulan lalu. 

Bahkan, ia juga mengatakan para penerima Nobel lainnya yang melontarkan kritik tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dilakukan oleh Pemerintah Myanmar. Suu Kyi mengatakan, pemerintah kini tengah melakukan proses verifikasi nasional kepada warga yang berhak mendapat kewarganegaraan. 

Saat proses itu tengah berjalan, tiba-tiba pada bulan Oktober 2016 muncul serangan dari kelompok tertentu ke 30 pos polisi. Ia pun mengaku bingung mengapa hal tersebut bisa terjadi. 

“Mereka melakukan serangan tanpa alasan. Sementara, kami sedang melakukan verifikasi kewarganegaraan dan menempatkan mereka kembali dari kamp pengungsian,” kata dia. 

Ia juga membantah telah terjadi pembersihan etnis Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar. Menurutnya, kalimat itu terlalu kuat dan tidak menggambarkan situasi di Rakhine. 

“Apa yang terjadi yakni ada banyak tindak kekerasan di sana. Selain itu, ada kekhawatiran dari kedua belah pihak. Ini menyangkut adanya masalah perbedaan dan gap antar komunitas. Kami sedang mencoba mendekatkan gap ini,” tutur Suu Kyi. 

Namun, dalam tulisan yang dimuat di harian The Guardian tahun 2015, publik menduga alasan Suu Kyi enggan mengomentari isu etnis Rohingya karena khawatir justru akan memicu ketegangan antara komunitas Buddha dengan warga Rohingya. Apalagi warga Buddha menjadi mayoritas di Myanmar. 

Hal lainnya, karena ia khawatir pernyataan terkait etnis Rohingya akan diplintir oleh orang-orang yang berkuasa di Myanmar dan dekat dengan kelompok Buddha radikal. Akibatnya, hal tersebut dapat mengganggu proses reformasi politik yang tengah digulirkan Suu Kyi. 

Sebagai bukti, penasihat untuk Partai NLD, Ko Ni tewas ditembak di bandara Internasional Yangon pada bulan Januari lalu. Politisi Muslim berusia 65 tahun itu tewas ditembak dari belakang oleh seorang warga lokal yang berasal dari daerah Mandalay. Saat tewas, Ko Ni tengah menggendong cucunya yang ikut menjemput di area kedatangan bandara. 

Ko Ni diketahui banyak terlibat upaya reformasi konstitusi di pemerintahan Myanmar. Polisi akhirnya berhasil menangkap sang eksekutor pembunuhan yang diketahui memiliki rekor tindak kejahatan yang panjang. 

Dari hasil investigasi diketahui bahwa ia ditawari uang yang banyak oleh seorang pensiunan militer. Polisi kemudian menahan dua orang tersangka lainnya yakni seorang personel intelijen militer dan adik dari dalang utama. Sementara, otak pembunuhan yakni mantan letnan kolonel militer masih menghirup udara bebas.

Pembunuhan kejam yang menimpa Ko Ni dapat menggambarkan betapa besar tantangan dan dalam perbedaan politik serta sosial yang tengah dihadapi Pemerintah Myanmar. 

– Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!