Mengapa buku karangan penulis Tere Liye berhenti dicetak?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa buku karangan penulis Tere Liye berhenti dicetak?
Tere mengaku keberatan dengan nominal pajak yang dipungut pemerintah kepada para penulis terlampau besar

JAKARTA, Indonesia – Penulis Tere Liye membuat pernyataan yang mengejutkan melalui akun media sosialnya pada Selasa, 5 September. Ia mengumumkan akan menghentikan penerbitan buku-bukunya di penerbit besar seperti Gramedia Pustaka Utama dan Republika per 31 Juli lalu.

Ia menyebut sebanyak 28 judul bukunya tidak akan dicetak ulang dan akan dibiarkan habis secara alamiah hingga Desember mendatang.

“Minggu-minggu ini, kalau kalian ke toko, toko-toko buku Gramedia sedang massif menjualnya, membuat display khusus dan lain-lain agar semakin cepat habis. Per Januari 2018, kalian tidak akan lagi menemukan buku-buku itu di toko buku,” tulis Tere di akun media sosialnya.

Lalu, apa penyebabnya? Ia mengaku kecewa dengan aturan dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang memungut pajak kepada para penulis dengan nominal yang tinggi.

Tere mencontohkan bila penghasilan seorang penulis disebut sebagai royalti mencapai Rp 1 miliar, maka setidaknya sekitar Rp 245 juta atau 24,5 persennya perlu disetor sebagai pungutan pajak.

Angka itu diperoleh dari perhitungan bahwa Rp 50 juta pertama dikenakan tarif pajak lima persen. Lalu, sekitar Rp 50 – Rp 250 juta berikutnya dikenakan pajak 15 persen. Kemudian, Rp 250 juta – Rp 500 juta dikenakan tarif 25 persen dan Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar berikutnya dikenai tarif pajak 30 persen. Sehingga, total pajak mencapai Rp 245 juta.

Ia menjelaskan, jumlah pajak yang dibayarkan penulis buku lebih besar 24 kali dibanding pengusaha UMKM dan dua kali lebih banyak dibanding profesi pekerjaan bebas.

“Jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong langsung oleh penerbit. Artinya, ia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya. Artis, pengusaha, pengacara, wah itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Sementara, penulis tidak bisa. Sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk ke dalam sistem,” kata dia.

Selain itu, penulis juga bukan karyawan tetap, sehingga pengasilannya pun tidak stabil. Sehingga pungutan pajak terhadap mereka tidak bisa disamakan dengan yang dipungut ke para karyawan swasta atau PNS.

Tere mengaku sudah menyampaikan keluhan tersebut ke Dirjen Pajak dan Bekraf melalui surat. Bahkan, ia sempat meminta waktu untuk audiensi. Sayangnya, suratnya tidak pernah direspons oleh pemerintah.

“Dibiarkan begitu saja (surat-surat saya) nampaknya. Padahal, ini menyangkut nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban,” katanya.

Kendati ia memutuskan tidak lagi mencetak buku melalui penerbit besar, Tere memastikan para pembacanya dapat tetap menikmati karya penulis berusia 38 tahun itu. Ia akan mempublikasikan karya-karyanya melalui media sosial secara gratis. 

“Selalu ada jalan keluar bagi saya untuk menulis dan pembaca dapat terus menikmatinya. Kecuali, jika esok lusa menulis di page Facebook pun akan dikenai pajak juga,” kata dia. 

Ditanggapi Menteri Keuangan

Pasca isu ini diangkat ke media, Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya angkat bicara. Ia mengatakan akan menemui Tere untuk mendengar duduk permasalahannya secara langsung.

“Kami akan bertemu dengan yang bersangkutan,” kata Sri di gedung DPR seperti dikutip media.

Sementara, isu terkait dengan pajak penulis, Sri menjelaskan, akan ditangani oleh Dirjen Pajak. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!