Teatrikal di Titik Nol: Dari Aceh untuk Rohingya

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Teatrikal di Titik Nol: Dari Aceh untuk Rohingya
Pemda Aceh siap kembali menampung pengungsi Rohingya seperti tahun 2015 lalu

BANDA ACEH, Indonesia – Senja hampir tenggelam, saat beberapa warga Rohingya tengah tekun bekerja. Tiba-tiba sekolompok militer Myanmar bersenjata datang menyerang mereka.

Perlakuan kasar mereka terima. Ditendang atau ditembak seakan tiada henti. Warga Rohingya pasrah tak mampu melawan.

Sebagian warga Rohingya kemudian memilih meninggalkan desa mereka dan lari. Menggunakan sebuah perahu kecil, mereka mendayung menuju ke lautan luas. Bagi mereka, terjangan ombak di perahu kecil sangat aman dibanding terjangan peluru di rumah sendiri.

Keberingasan militer Myanmar ternyata tidak hanya di desa. Begitu mengetahui ada sebagian warga Rohingya hendak melarikan diri dari desa, militer langsung menghujam senjata. Rentetan timah panas menghujani upaya evakuasi warga Rohingya dari Tanah Airnya sendiri.

Sayang, ada beberapa warga yang sudah terenggut nyawanya sebelum tiba di perahu kecil.

Sementara, mereka yang selamat dan berhasil naik ke perahu, terombang-ambing di tengah gulungan ombak dan didera kelaparan hebat.

Warga Rohingya akhirnya tiba di sebuah pantai. Senyuman tampak dari wajah mereka. Aceh, sebuah negeri di ujung Pulau Sumatera ternyata menjadi tempat mereka terdampar. Ini merupakan kali pertama mereka berlabuh usai terusir dari Tanah Airnya sendiri.

Begitulah teatrikal yang diperankan oleh Solidarity for Rohingya di titik nol Kota Banda Aceh. Aksi teatrikal itu dilakukan di pinggir pantai Desa Gampong Jawa, Banda Aceh pada Kamis kemarin, 7 September.

Massa dari berbagai unsur masyarakat Aceh menggelar aksi teatrikal terkait pembantaian warga etnis Rohingya hingga akhirnya mereka terdampar di bumi Serambi Mekkah.

Orasi juga sempat disampaikan secara bergantian oleh perwakilan peserta. Kegiatan teatrikal kemudian ditutup dengan pembacaan puisi.

“Aksi ini memang untuk menegaskan bahwa pembantaian ini harus dihentikan. Kami tidak ingin etnis Rohingya semakin lama semakin dibantai,” kata Koordinator Aksi, Teuku Muhammad.

Bahkan, menurut Teuku, masyarakat Aceh siap menampung kembali warga Rohingya seperti yang terjadi pada tahun 2015. Saat ini, para pengungsi Rohingya dipindahkan oleh pemerintah ke Belawan, Sumatera Utara.

Peserta aksi juga meminta beberapa lembaga internasional seperti PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar melakukan tindakan konkret dalam menangani masalah genosida etnis Rohingya.

“Tuntut pelaku kejahatan kemanusiaan etnis Rohingya ke Mahkamah Internasional atas dasar pelanggaran HAM berat,” kata Teuku.

Siap berbagi pengalaman

Sementara, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengatakan siap berbagi pengalaman dengan Pemerintah Myanmar dalam membantu mewujudkan perdamaian di wilayah Rakhine. Irwandi mengatakan antara Aceh dan Rakhine pernah berada dalam situasi serupa.

Aceh pernah mengalami konflik bersenjata selama 30 tahun dan berada di bawah status Daerah Operasi Militer selama kurang lebih 15 tahun.

“Aceh bersedia untuk berbagi pengalaman dengan Pemerintah Myanmar dan membantu mewujudkan perdamaian di wilayah Rakhine,” kata Irwandi dalam keterangannya.

Pengalaman konflik bersenjata di Aceh, kata Irwandi, justru membawa kemudaratan dan kemunduran yang besar terhadap kebudayaan, sosial dan ekonomi. Bahkan, situasi itu memberi luka mendalam bagi para korban yang kebanyakan merupakan warga sipil.

Untuk itu, Pemda Aceh meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk menahan diri secara maksimal dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Irwandi juga meminta agar segera menghentikan Operasi Militer di wilayah Rakhine.

Alih-alih menggunakan cara militer, Pemerintah Myanmar dapat memulai proses stabilisasi politik dan peace-building antara warga Rakhine dan Muslim Rohingya.

Pemerintah Myanmar perlu menggandeng PBB, ASEAN, dan Organisasi Internasional lainnya dalam memulai proses peace-building dan membuka diri sebagai wujud komitmen pemerintah dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi.

“Segala upaya untuk mencegah konflik harus dilakukan untuk menjaga kestabilan politik di regional ASEAN, mengingat beberapa negara ASEAN dan komunitas masyarakat Muslim sudah bereaksi keras terkait kekerasan bersenjata di wilayah Rakhine,” kata Irwandi. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!