Siapa sebenarnya kelompok militan ARSA?

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Siapa sebenarnya kelompok militan ARSA?
Serangan ARSA ke Rakhine State pada 25 Agustus lalu memicu operasi militer Myanmar

JAKARTA,Indonesia – Kontribusi terhadap kekerasan yang menimpa kaum minoritas Muslim Rohingya di Rakhine State tak hanya datang militer pemerintah Myanmar, tapi juga dari kelompok militan ARSA.

Pada 25 Agustus lalu, ARSA menyerang pos polisi di Rakhine State dan menewaskan 12 orang. Hal ini memicu serangan balik dari militer Myanmar, membuat sedikitnya 400 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi.

Namun siapakah sebenarnya ARSA?

Kelompok pemberontak yang menamai diri mereka sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) berperan dalam pecahnya kerusuhan antara pihak militer Myanmar dan masyarakat Muslim di Rakhine State. 

Sebelumnya ARSA dikenal dengan berbagai nama, salah satunya adalah Harakah al-Yaqin, yang sudah membunuh lebih dari 20 petugas kepolisian dan keamanan setempat.

Selain tidak mengakui kaum Rohingya sebagai warga negara, pemerintah Myanmar juga menyebut ARSA sebagai organisasi teroris dengan label “teroris ekstrimis Bengali” yang dipimpin oleh orang-orang Rohingya yang tinggal di Arab Saudi, seperti yang di laporkan juga oleh International Crisis Group (ICG). ICG menyebut pemimpin dari ARSA adalah Ata Ullah, yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Saudi.

Pihak Arsa tentu menolak hal ini. Juru bicara ARSA memberikan penjelasan melalui koran Asia Times, bahwa mereka tidak memiliki koneksi terhadap kelompok ekstrimis, dan hadir untuk memperjuangkan etnis Rohingya. Juru bicara ARSA menyebut bahwa ARSA sudah melatih pasukan sejak 2013, dan Oktober 2016 merupakan serangan pertamanya yang menewaskan 9 petugas kepolisian.

ARSA menyebut tujuan mereka “mempertahankan, menyelamatkan, dan melindungi” etnis Rohingya dari tekanan yang dilakukan pemerintah Myanmar. Meski menolak disebut teroris karena ARSA tidak menyerang warga sipil, namun ada laporang bahwa ARSA melakukan pembunuhan informan ketika melatih anggotanya. ICG juga menyebut anggota ARSA adalah pemuda Rohingya yang marah karena kerusuhan berdarah yang terjadi pada tahun 2012.

Salah satu pimpinan militer Myanmar menyebut bahwa senjata yang digunakan oleh ARSA mayoritas didominasi oleh senjata buatan sendiri. Senjata tersebut memang kalah jauh bila dibandingkan dengan arsenal milik militer Myanmar. Namun, ICG dalam laporannya menyebut bahwa tidak seluruh aksi yang dilakukan oleh ARSA adalah aksi amatiran. ICG menyebut adanya bantuan dari beberapa veteran konflik Afghanistan.

Akibat penyerangan yang dilakukan oleh ARSA kepada petugas kepolisian di Rakhine State pada 25 Agustus 2017, Militer Myanmar melakukan “serangan balas dendam” yang berimbas pada komunitas Muslim Rohingya secara keseluruhan. Lebih dari 270 ribu orang komunitas Rohingya melarikan diri ke perbatasan Banglades selama 2 pekan terakhir menurut William Spindler, Juru Bicara PBB. 

Para pengungsi menyebut pihak militer dibantu oleh para Biksu, namun pemerintah Myanmar menyebut baik komunitas Budha dan Hindhu juga ikut melarikan diri ketika konflik pada 25 Agustus tersebut pecah.

Sementara, ARSA tidak banyak diketahui oleh pengungsi yang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh. Pengungsi juga enggan membicarakan tentang keberadaan ARSA. Kepada harian The Guardian, Abdul Khalam (33), yang sebelumnya adalah petani di desa Sita Porakka, Maungdaw, mengaku tidak tahu menahu soal ARSA. 

Menteri Sosial Myanmar, Win Myat Aye, kepada BBC mengatakan bahwa “mereka yang mampu membuktikan bahwa mereka pernah tinggal di Rakhine, dan warga negara Myanmar, akan diterima kembali”. 

Pernyataan tersebut bersifat kontraris, terhadap sikap pemerintah Myanmar yang menganggap komunitas Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh, dan telah membakar tempat tinggal yang merupakan bukti bahwa mereka pernah tinggal di Rakhine State.

Akses media untuk mencapai Rakhine State sebagian besar masih tertutup. Hal ini membuat media sulit mengkonfirmasi kebenaran yang terjadi di tanah Rakhine. Salah satu pemenang Nobel perdamaian, Malala Yousafzai, meminta Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan ini.

Namun, hingga kini, Suu Kyi masih menolak, jika yang terjadi di Rakhine State, dan menimpa komunitas Muslim Rohingya adalah pembersihan etnis. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!