“Non megaphone diplomacy”, cara ampuh Indonesia bantu warga Rohingya

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

“Non megaphone diplomacy”, cara ampuh Indonesia bantu warga Rohingya

ANTARA FOTO

Dengan mengedepankan dialog, Retno dapat bertemu Aung San Suu Kyi dan panglima militer Myanmar

JAKARTA, Indonesia – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menuai banjir pujian dari anggota Fraksi Komisi I DPR ketika dilakukan rapat kerja pada Senin, 11 September. Mereka beranggapan cara diplomasi yang dipilih Retno dalam menghadapi konflik kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar sudah tepat.

Dari semua pemimpin di kawasan ASEAN, hanya Retno yang dapat bertemu langsung dengan Menlu Aung San Suu Kyi dan Panglima Militer Jenderal U Min Aung Hlaing. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda itu juga sempat berbicara dengan kedua pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan di Myanmar. (BACA: Temui Aung San Suu Kyi, Menlu Retno sampaikan amanah rakyat Indonesia)

Di hadapan anggota Komisi I Retno menjelaskan jika alasan terjadinya krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine karena kelompok bernama Arakhan Rohingya Salvation Army (ARSA) menembaki 30 pos polisi yang ada di Rakhine. Dampaknya menyebabkan ratusan ribu jiwa harus mengungsi.

“Arus pengungsi korban Rakhine terbagi menjadi 2, pengungsi Buddha mengungsi ke arah selatan menuju ke ibukota Rakhine State, sementara pengungsi Muslim menuju ke utara ke arah perbatasan dengan Bangladesh,” ujar Retno pada Senin siang kemarin.

Total pengungsi di Bangladesh kini mencapai hampir 400 ribu orang. Data itu diperoleh dari PBB.

Kepada Suu Kyi dan panglima militer Myanmar, Retno menawarkan proposal “4+1” yang terdiri dari pengembalian stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua orang yang ada di Rakhine State tanpa memandang suku serta agama, akses bantuan kemanusiaan segera dibuka dan rekomendasi laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan segera diimplementasikan.

Lalu, mengapa hanya Indonesia yang dapat menemui Suu Kyi dan Panglima Militer Jenderal U Min Aung Hlaing? Direktur Jenderal ASEAN Kementerian Luar Negeri Jose Tavares, mengatakan selain hubungan baik kedua negara yang sudah terjalin sangat lama, sikap pemerintah tidak ikut-ikutan mengecam Suu Kyi alias menggunakan megaphone diplomacy.

Malaysia menjadi bukti nyata penggunaan megaphone diplomacy pada tahun lalu. Hasilnya, Suu Kyi menolak bertemu dengan Menlu Malaysia Anifah Aman di sela KTT Menlu ASEAN di Laos.

“Coba bayangkan posisi Suu Kyi saat ini. Apakah dengan terus menerus mengkritik dan mengecam dia, lalu respons yang diharapkan, dia mau menemui kita?,” tanya Jose di Gedung DPR.

Sehingga cara yang dipilih oleh Retno dengan mengedepankan dialog dan membantu mendistribusikan bantuan kemanusiaan menjadi cara yang efektif saat ini.

“Karena kita juga tidak bisa memaksakan negara berdaulat untuk melakukan seperti apa yang kita kehendaki. Begitu juga dengan Indonesia jika tengah menghadapi masalah. Apa negara lain bisa ikut memaksa?,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Dubes di Selandia Baru itu.

Alih-alih mengecam, Jose melihat dari upaya perubahan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Myanmar.

“Mereka kan saat ini masih dalam proses transformasi. Transformasi yang semula dipimpin junta militer kemudian menjadi demokrasi. Tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa militer masih memiliki 25 persen kursi di parlemen dan mereka juga mempunyai hak veto, mereka juga menguasai beberapa kementerian. Jadi, kurang lebih begitu situasi yang harus dihadapi Suu Kyi,” kata dia memberikan penjelasan.

Harus memahami apa yang dipikirkan oleh perempuan penerima Nobel tahun 1991 itu agar memperoleh jawaban mengapa selama ini ia justru diam melihat militer menjadikan etnis Rohingya sebagai objek tindak kekerasan.

Kembali kirim bantuan

Maka, kini yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah menunggu Suu Kyi dan Myanmar mengimplementasikan temuan komisi yang pernah dipimpin Kofi Annan. Retno mengatakan di hadapan anggota DPR jika Pemerintah Myanmar sudah membentuk komisi khusus untuk menindak lanjuti 17 rekomendasi tim Kofi.

Selain itu, fokus lain yang akan dilakukan Indonesia yakni kembali mendistribusikan bantuan bagi pengungsi. Retno menjelaskan mekanisme penyaluran bantuan di negara bagian Rakhine tidak bisa sembarangan.

Pemerintah Myanmar akan menggandeng Palang Merah Internasional (ICRC) untuk mendistribusikan bantuan. Jika ada negara lain yang tertarik memberikan bantuan, kata Retno, maka harus menempuh jalur yang sama.

Sementara, sejak awal bulan ini, Pemerintah Myanmar justru memblokir semua bantuan dari PBB. Padahal, bantuan yang terdiri dari pasokan makanan, air dan obat-obatan sangat dibutuhkan oleh ribuan warga etnis Rohingya.

Menurut kantor Koordinator PBB di Myanmar bantuan mereka diblokir sementara waktu karena situasi keamanan dan adanya aturan pembatasan kunjungan ke lapangan.

“PBB terus melakukan komunikasi secara intens dengan otoritas setempat untuk mematikan operasi kemanusiaan dapat dihidupkan kembali secepatnya,” ujar kantor PBB pada awal bulan ini kepada media.

Sementara, Indonesia esok akan melepas kembali bantuan bagi warga Rohingya. Namun, bedanya bantuan kali ini didistribusikan ke ratusan ribu para pengungsi di kamp Cox Bazar, Bangladesh. Pelepasan bantuan akan dilakukan secara langsung oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Bandara Halim.

Bantuan dari Indonesia untuk Myanmar merupakan hasil koordinasi dari Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang beranggotakan 11 LSM dan dibentuk pada 1 September lalu.

Jose menjelaskan jika bantuan dari Indonesia ditanggapi secara serius oleh Myanmar dan Bangladesh. Indonesia mengirimkan berbagai bantuan yang dibutuhkan oleh pengungsi antara lain peralatan kebersihan tubuh seperti sabun dan shampo, pakaian anak-anak, selimut, beras dan pakaian untuk orang dewasa.

“Bantuan dari Indonesia dianggap sangat serius, makanya Menlu pun bertemu di sana (Myanmar) hingga ke (pejabat) tingkat tinggi,” kata Jose.

Ia pun mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan jika bantuan dan niat baik dari Indonesia justru dimanfaatkan oleh Myanmar untuk meredam kemarahan dunia internasional.

“Ya, niat kita kan baik. Kalau orang mengintepretasikan segala macam, itu bebas-bebas saja. Tapi, kita ke sana dengan tujuan membantu dan banyak negara yang menyampaikan apresiasinya,” kata dia lagi. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!