Indonesia

Aktivis HAM: Militer tak hanya melakukan persekusi terhadap etnis Rohingya di Myanmar

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Aktivis HAM: Militer tak hanya melakukan persekusi terhadap etnis Rohingya di Myanmar

EPA

Warga Buddha yang merupakan mayoritas pun juga ikut menjadi korban persekusi militer di Myanmar

BANDA ACEH, Indonesia – Direktur Eksekutif Burma Human Rights Working Group (BHRWG) Kyaw Win mengatakan akar permasalahan yang terjadi di Myanmar disebabkan adanya persekusi terhadap kaum minoritas. Namun yang dipersekusi tidak hanya etnis Rohingya yang beragama Muslim, namun juga etnis minoritas lain, bahkan warga yang beragama Buddha.

“Militer juga melakukan persekusi terhadap kaum Buddha. Mereka juga diburu dan dibunuh. Bahkan, ada anak yang baru lahir saja sudah dibunuh,” ujar Kyaw ketika berbicara di acara Konferensi Internasional di Aceh pada Selasa, 12 September.

Konferensi itu bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada publik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Selain itu, para pembicara ingin mengajak bahwa Myanmar dapat belajar dari Aceh dalam menyelesaikan konflik, karena provinsi tersebut dulu juga pernah mengalami situasi serupa.

Proses persekusi terhadap kaum Rohingya sangat sistematis. Strategi mereka diimplementasikan ke suku-suku di Myanmar.

“Misalnya orang Muslim tidak boleh menjadi anggota militer, polisi, duduk di pemerintahan, menjadi pengusaha dan tidak diizinkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Jika ini terjadi sejak tahun 1963 lalu, maka kita terancam akan sirna dari permukaan bumi, sebab mereka (Rohingya) tidak memiliki kekuatan dan tak ada akses ke pendidikan,” ujar Kyaw.

Selain melakukan persekusi secara sistematis, militer juga melucuti kewarganegaraan Rohingya. Bahkan, itu tertuang di dalam UU mereka. Oleh sebab itu, Rohingya tidak memiliki identitas. Pihak militer juga melakukan pemalsuan sejarah dan membuat undang-undang yang sangat kontroversial.

“Mereka mengatakan jika orang Rohingya disebut sebagai buruh yang dibawa oleh orang Inggris untuk dipekerjakan. Sehingga, jika saya ingin menjadi warga negara Myanmar, saya harus membongkar kuburan kakek-nenek saya untuk bertanya dari mana asal saya,” kata dia.

Lagipula, kata dia melanjutkan, bagaimana mungkin mereka bisa membuktikan kewarganegaraan yang sesungguhnya, lantaran di era tersebut tidak ada dokumen yang mendukung sebagai pembuktian.

Militer juga menggunakan isu agama dengan tujuan untuk memecah belah warga Myanmar. Oleh sebab itu, mereka menempatkan personel di tempat ibadah agama Buddha.

Selama ditempatkan di sana, personel militer diduga menyebar fitnah dan mengatakan bahwa Muslim Rohingya sudah berjihad dan bergabung dengan kelompok militan ISIS.

“Dengan begitu, militer akan banyak mendapat bantuan dari berbagai negara besar sebagai dalih untuk menumpas ISIS. Padahal, yang dimaksud yakni untuk menghabisi etnis Rohingya,” kata Kyaw.

Dalam pandangan Kyaw, Rohingya menjadi objek tindak kekerasan militer Myanmar karena mereka beragama Muslim.

“Jika besok mereka beralih menjadi agama Buddha, mereka tidak akan disakiti,” katanya.

Desak diberi kewarganegaraan

Sementara, di tempat yang sama, Program Manager Advokasi ASEAN Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra mengapresiasi upaya yang telah dilakukan Indonesia untuk mengatasi konflik di negara bagian Rakhine. Sebab, Indonesia menjadi negara pertama yang diterima langsung oleh Pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan konflik etnis Rohingya.

Tetapi, menurut Daniel, Indonesia seharusnya turut menggandeng ASEAN agar turun tangan dan lebih serius dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. ASEAN, katanya, perlu duduk bersama dengan kelompok yang terkena imbas konflik di Rakhine, Myanmar.

“Saya kira ASEAN saat ini harus lebih fokus tidak hanya membahas masalah ekonomi dan bisnis, namun juga terkait penindasan dan kemanusiaan,” kata dia.

Isu Rohingya, adalah kado ujian untuk ASEAN yang berusia 50 tahun.

Sementara, Direktur Yayasan Geutanjoe, Liliane Fan, mengatakan untuk menuntaskan konflik tindak kekerasan di Rakhine tidak cukip hanya mengirimkan bantuan. Harus dipikirkan pula cara terbaik untuk menyelesaikannya.

Pihak lain dari Karuna Center For Peacebuilding, Joanne Lauterjung Kelly mengusulkan agar Pemerintah Myanmar segera memberikan etnis Rohingya kewarganegaraan. Sebab, jika tidak diakui sebagai warga negara, maka militer bisa melakukan apa pun terhadap etnis Rohingya.

Selain itu, Pemerintah Myanmar juga harus mendesak unsur militer agar patuh terhadap aturan di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah mereka tanda tangani.

Belajar dari Aceh

Untuk bisa menyelesaikan konflik di Myanmar, beberapa aktivis HAM Aceh mengaku siap membagi pengalaman mereka ketika mengatasi konflik di provinsi tersebut. Apalagi, warga etnis Rohingya pernah terdampar di Aceh ketika berbondong-bondong kabur dari Myanmar pada tahun 2015.

Kendati sempat tidak didorong balik oleh TNI Angkatan Laut, namun nelayan Aceh berbondong-bondong menarik perahu warga Rohingya ke tepi pantai dan bersandar.

“Kami dari Yayasan Geutanjoe sangat terharu dan kami akan terus mempromosikan tradisi kemanusiaan dari Aceh yang harus dilestarikan ini,” kata Lilliane. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!