LBH Jakarta: Penutupan pesantren membuat para santri lebih radikal

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LBH Jakarta: Penutupan pesantren membuat para santri lebih radikal
Usaha de-radikalisasi pemerintah bisa tidak memberi hasil maksimal

JAKARTA, Indonesia – Penutupan pondok pesantren Ibnu Mas’ud di Bogor, Jawa Barat berpotensi meningkatkan radikalisme di antara para santri dan wali mereka.

“Ketika negara dan pemerintah membubarkan, menurut kami negara (ikut) mengakselerasi radikalisme,” kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa dalam wawancaranya telepon dengan Rappler.

Alghiffari mengatakan adanya oknum santri yang bergabung dengan kelompok teroris tidak berarti semua santri di pesantren tersebut adalah teroris atau berkeingingan menjadi teroris. Ketika digeneralisir, anak-anak dan wali murid di pesantren tersebut malah berpotensi menjadi radikal.

“Hal ini justru membuat proyek de-radikalisasi yang dibuat pemerintah tidak berguna,” ujarnya.

Pondok pesantren Ibnu Mas’ud dipaksa ditutup pada Senin, 18 September 2017, berdasarkan surat keputusan bersama Bupati Bogor, Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Dandim 0621, Kapolres Bogor, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor, Kementerian Agama Kabupaten Bogor, dan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bogor.

Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor Adang Suptandar membacakan surat keputusan tersebut idi depan Ketua Yayasan Ibnu Mas’ud Agus Purwoko dan sejumlah pengurus pesantren.

Keputusan itu menyebutkan empat alasan pesantren ditutup, yaitu tidak memiliki izin pendirian dan operasional lembaga pendidikan keagamaan, tidak memiliki izin mendirikan bangunan, kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, dan meresahkan masyarakat setempat.

Alghiffari mengatakan pembubaran pesantren bisa membuat anak-anak yang mengenyam pendidikan di sana trauma. “UU Perlindungan anak seharusnya jadi acuan juga dan KPAI harus dilibatkan,” tambahnya.

Pada saat ditutup, pondok pesantren tersebut memiliki sekitar 200 orang santri.

Alghiffari mengatakan ide untuk memindahkan anak-anak tersebut ke pesantren atau sekolah lain juga bukan menjadi penyelesaian. Untuk beberapa anak yang menjadi korban ideologi terorisme, hal ini cukup diperlukan pendampingan atau penanganan khusus.

“Pengurus pesantren juga sebenarnya cukup terbuka. Mereka mau kok menandatangani assessment dari Kemenag, seperti bersedia melakukan sesi-sesi paham kebangsaan dan mau mengibarkan bendera,” katanya.

Pihak advokasi menilai bahwa pemerintah, BNPT, Pemda, Kemenag dan Kemensos tidak punya strategi khusus untuk menangani pondok-pondok pesantren seperti Ibnu Mas’ud.

Desakan masyarakat

Desakan masyarakat untuk menutup pesantren Ibnu Mas’ud muncul pada saat seorang pengurus pesantren membakar umbul-umbul bendera merah putih pada 16 Agustus 2017.

Tuntutan itu semakin kuat setelah tersebarnya foto Hatf Saiful Rasul, seorang anak berumur 13 tahun yang pernah belajar di pesantren tersebut, memegang senjata sebagai anggota ISIS di Suriah.

Sebelum ke Suriah, Hatf Saiful Rasul masih berusia 11 tahun dan meminta izin pada ayahnya, yang menjadi tersangka teroris di Poso, Syaiful Anam alias Brekele. Syaiful Anam mengaku kerap dikunjungi anaknya untuk meminta izin dan pada akhirnya Hatf berangkat bersama militan Prancis pada 2015.

Menurut kantor berita Reuters, Hatf berangkat bersama 12 orang lain dari pesantren Ibu Mas’ud. Delapan dari mereka adalah guru di pesantren tersebut dan sisanya santri.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan sebelumnya terdapat 18 lulusan pesantren Ibnu Mas’ud ditangkap dan menjalani persidangan terorisme karena terlibat dalam tiga serangan teroris terbesar di Indonesia.

Dalam foto yang tersebar di internet, Hatf memegang senapan AK-47 yang hampir seukuran dengan tubuhnya sendiri. Ayahnya mengatakan Hatf difasilitasi dengan pistol 9mm, 2 granat, pisau, dan sebuah kompas.

Setelah kurang lebih 2 tahun berada di Suriah, pada 1 September 2016, Hatf meninggal akibat bom serangan udara di dekat kota Jarabulus, Suriah. Berita kematian 2 orang Indonesia lainnya juga kemudian diumumkan oleh ISIS.

Syaiful Anam mengatakan dalam surat esai 12.000 kata yang ditulisnya mengenai Hatf, bahwa ia tidak merasa sedih atau kehilangan anaknya. “Saya bahagia karena anak saya mati syahid, Insya Allah.” – Rappler.com

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!