Menyingkap Kabut Halim 1965, G30S versi purnawirawan AURI

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menyingkap Kabut Halim 1965, G30S versi purnawirawan AURI

ANTARA FOTO

Buku itu menjawab tudingan bahwa AURI terlibat dalam pemberontakan yang didalangi PKI

JAKARTA, Indonesia – Sejarah ditulis oleh pemenang, begitu sering kita dengar. Maka, sejarah tentang pemberontakan Gerakan 30 September yang terjadi 52 tahun lalu, ditulis sesuai dengan kehendak Jenderal TNI AD Soeharto yang naik ke kekuasaan, memerintah Republik Indonesia dengan dukungan penuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 

Sejarah G30S versi pemenang, adalah apa yang disajikan lewat buku-buku pelajaran yang wajib dihafalkan di bangku sekolah sepanjang rezim Orde Barunya Soeharto dan apa yang disajikan dalam film Pengkhianatan G30S PKI besutan sutradara Arifin C. Noer. (BACA: Memaknai kembali pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI)

Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan dan era reformasi membuka jalan bagi munculnya tafsir dan versi lain dari pemberontakan G30S. Beragam buku terbit, beragam riset pun dibuat.  

Salah satunya adalah buku “Menyingkap Kabut Halim 1965” yang ditulis atas prakarsa Perhimpunan Purnawirawan AURI, sebagai tanggung jawab selaku saksi dan pelaku dalam peristiwa bersejarah itu.

Buku ini disusun oleh tim yang dipimpin wartawan senior Aristides Katoppo dan juga beranggotakan sejarawan. Buku setebal 316 halaman ini diterbitkan pada tahun 2000 oleh Penerbit Sinar Harapan, berdasarkan riset, serta wawancara dengan saksi dan pelaku sejarah G30S.

“Pada tanggal 1 Oktober 1965, Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma disangka menjadi markas pemberontakan G30S/PKI dan AURI dituduh terlibat,” demikian tulisan di halaman sampul belakang buku yang juga memuat wawancara khusus dengan Marsekal Udara Omar Dani, yang dijatuhi hukuman mati oleh Mahmilub karena dituding terlibat G30S/PKI.

Hukuman Omar Dani diubah jadi hukuman seumur hidup. Dia kemudian dibebaskan setelah menghuni penjara selama 32 tahun.

Buku ini mengorek jawaban atas sejumlah pertanyaan yang tabu diungkapkan di masa kekuasaan sang pemenang.

Kali ini, kami menukilkan sebagian isi buku. Di bagian yang mengisahkan saat jelang terjadinya pemberontakan G30S yang belakangan kembali menjadi debat sejarah dan menjadi komoditas politik pula.

Sebuah skenario

Pada tanggal 30 September 1965 malam, untuk pertama kali diadakan rapat Dewan Militer Polit Biro PKI di rumah Sjam guna melancarkan gerakan. Secara politis G 30 S dikendalikan oleh  Dewan Militer Polit Biro PKI. 

Dalam susunan Dewan Militer Polit Biro PKI, Aidit bertindak sebagai ketua, dengan Sjam Kamaroezaman sebagai wakil yang memegang pimpinan pelaksana.  

Di antara para perwira yang disebut menjadi anggota Dewan Militer adalah Mayjen Pranoto Reksosamodro dan Mayor Udara Soejono yang berfungsi memberikan pendapat dari sudut militer tentang masalah-masalah yang menyangkut G 30 S.  Sejak dibentuk Dewan Militer, maka badan itu mengambil alih semua wewenang Polit Biro. Dengan demikian yang dianggap sah hanya instruksi politik yang dikeluarkan Dewan Militer Polit Biro PKI.

Untuk pimpinan gerakan militer dipilih Letkol Inf. Oentoeng Samsoeri, Danyon 1/Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan Presiden dan bukan Brigjen Soepardjo Pangkopur II/Kolaga, atau  Kolonel Infanteri Latief, Danbrigif 1/Jayasakti Kodam V Jaya yang berpangkat lebih tinggi.

Aidit bermaksud mengelabui bahwa seolah-olah yang bergerak keluar adalah Pasukan Pengawal Presiden. Selain itu, untuk memberikan kesan bahwa gerakan itu merupakan masalah intern Angkatan Darat untuk melindungi Kepala Negara dari upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan Dewan Jenderal.

Persiapan Gerakan Militer

D.N Aidit, ketua CC PKI, sebagai pimpinan tertinggi G30S memberi perintah kepada Letkol Inf. Oentoeng Samsoeri untuk melakukan persiapan gerakan militer. Pada hari itu (30 September 1965) Pukul 10.00 WIB Letkol Oentoeng memberi pengarahan kepada pimpinan pelaksana G 30 S di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Selatan.  

Hadir di tempat itu Kolonel Inf. A. Latief Danbrigif-1/ Jayasakti Kodam V Jaya, Kapten Inf. Soeradi Prawirohardjo Kasi-1 Brigif-1 Jayasakti, Mayor Udara Soejono Danmen PPP, Mayor Udara Gathot Soekrisno, perwira yang diperbantukan kepada Irjen Poleksos AURI merangkap anggota Staf Pengurus Besar Front Nasional.

Hadir juga Mayor Soekirno Danyon-454/Raiders Kostrad dari Jawa Tengah, Kapten Koentjoro Wadanyon-454/Raiders Jawa Tengah, dan Mayor Inf. Bambang Soepeno Danyon-530/Raiders Kostrad Jawa Timur. Kedua Batalyon itu didatangkan ke Jakarta dalam rangka HUT ke-XX ABRI. 

Selain itu hadir pula Sjam ketua Biro Khusus dan Soepono Marsoedidjojo wakil ketua I merangkap kepala Organisasi Khusus.

Dalam pengarahan, Letkol Oentoeng mengatakan tentang akan diadakannya gerakan pendahuluan untuk memberi pukulan yang menentukan terhadap kekuatan yang mereka sebut Dewan Jenderal. Sandi untuk ketujuh jenderal Angkatan Darat yang akan diculik diberikan kepada para pelaksana penculikan. Misalnya, Letjen A.. Yani diberi nama sandi Jantje. Brigjen D.I Pandjaitan disebut Singer, dan lain-lain.

Gerakan itu seluruhnya berkekuatan satu divisi yang disebut Divisi Ampera. Sedangkan operasi pendahuluan diberi nama sandi Operasi Takari, terdiri dari Pasukan Pasopati, Pasukan Bimasakti dan Pasukan Gatutkaca.

Pasukan Pasopati di bawah pimpinan Lettu Inf. Doel Arief dari Resimen Tjakrabirawa berkekuatan satu batalyon minus. Pasukan itu terdiri dari unsur Brigif-1/Jayasakti Kodam V Jaya, satu Kompi Yon  Infanteri 454/Raiders, diperkuat dengan pleton-pleton PKI. Pasopati dibagi menjadi tujuh kelompok pasukan untuk menculik tujuh jenderal Angkatan Darat.

Pasukan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Inf. Soeradi Prawirohardjo. Terdiri dari Yon Inf-530/Raiders berkekuatan satu batalyon minus, Yon Inf-454/Raiders berkekuatan satu batalyon minus, satu kompi plus dari Brigif-1/Jayasakti dan empat batalyon sukarelawan PKI.  

Tugas pokok mereka adalah menguasai Jakarta Raya yang dibagi menjadi enam sector, yaitu Sektor Jakarta Pusat/Komplek Istana Kepresidenan, Sektor Jatinegara, Sektor Senen –Kemayoran, Sektor Tanjungpriok, Sektor Kebayoran Lama dan Sektor Grogol.

Pasukan Gatutkaca di bawah pimpinan Mayor Udara Gathot Soekrisno menggunakan basis di Desa Lubang Buaya. Di atas kertas, pasukan ini berkekuatan satu batalyon PPP dan sekitar 2.000 orang pasukan sukarelawan dari organisasi massa PKI, seperti Pemuda Rakyat dan lain-lain yang sempat dilatih di Desa Lubang Buaya. Pasukan Gatutkaca berfungsi sebagai pasukan cadangan yang menampung tawanan hasil penculikan.  

Tugas tambahan adalah mengerjakan tugas-tugas yang diperintahkan oleh Mayor Udara Soejono selaku perwira logistik bagi kepentingan seluruh G30S. Sampai pada hari-hari H, ternyata satu batalyon PPP AURI yang dijanjikan oleh Mayor Udara Soejono tidak datang.

Gerakan G 30 September

LUBANG BUAYA. Lubang yang digunakan untuk mengubur jasad tujuh jenderal TNI Angkatan Darat usai diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S. Foto diambil dari Wikipedia

Pada hari Jumat 1 Oktober 1965 Pukul 04.00 dini hari, PKI mulai melancarkan perebutan kekuasaan. Menurut rencana semula, pelaksanaannya adalah tanggal 30 September 1965 Pukul 04.00 WIB. 

Pengunduran waktu selama 24 jam itu disebabkan para komandan satuan yang akan melaksanakan penculikan belum semuanya berkumpul. Meskipun pelaksanaan perebutan kekuasaan dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1965, nama sandi yang digunakan tetap menggunakan nama G 30 S (Gerakan 30 September).

Sebagai persiapan terakhir, markas PKI di Jalan Salemba Raya No. 81 dikosongkan dan dipindahkan ke markas rahasia Biro Khusus di Jalan Kayu Awet. Sejak tanggal 1 Oktober 1965 markas itu berfungsi sebagai Pos Komando CC PKI di bawah pimpinan Soedisman, Wakil Ketua III CC PKI. Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sudah berangkat ke Sumatera.

Anggota Polit Biro lainnya seperti Ir. Sakirman, ada di Semarang, sedangkan Moenir ada di Surabaya.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi, Loekman, Wakil Ketua I CC PKI menyingkir ke Semarang.  Hanya Njono, Ketua CBD Jakarta Raya yang bertugas membantu G 30 S di Ibukota.

Soekatno, Ketua Pemuda Rakyat diinstruksikan untuk menyiapkan 200.000 orang sukarelawan sebagai tenaga cadangan. Tenaga inti, seperti Pemuda Rakyat dan ormas lainnya yang telah dilatih kemiliteran ditempatkan di Desa Lubang Buaya sebagai basis. 

Dalam persiapan itu, untuk pertama kalinya anggota Dewan Harian Polit Biro CC PKI sebagai pimpinan legal, diperkenalkan kepada Ketua Biro Khusus yang bersifat illegal.

Pukul 01.30 WIB, Letkol Oentoeng diikuti oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel A.Latief, Sjam dan Pono tiba di Lubang Buaya. Letkol Oentoeng memberikan perintah pelaksanaan kepada seluruh komandan pasukan agar segera berangkat menuju masing-masing sasaran yang dtelah ditentukan.

Pondok Gede yang terletak di dekat basis latihan Desa Lubang Buaya ditetapkan sebagai daerah pengunduran. Daerah itu merupakan wilayah tugas Mayor Udara Soejono.

Operasi Takari yang merupakan gerakan militer G30S berhasil menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira pertama. Jenderal A.H Nasoetion lolos dari penculikan yang dilakukan oleh satu Kompi Yon 1-/Kawal Kehormatan Tjakrabirawa anak buah Letkol Oentoeng dan satu peleton sukarelawan PKI.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Pukul 03.00 WIB, Ketika pasukan penculik bermaksud menyerbu kediaman Jenderal A.H. Nasoetion, Pelda Jahoeroeb sebagai komandan cadangan tidak tahu persis letak kediaman Menko/Kepala Staf Angkatan Bersenjata. 

Mereka menyasar ke kediaman Laksamana Laut (tituler) DR Leimena, Wakil Perdana Menteri II, kemudian mereka menembak seorang Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun.

Ibu Nasoetion yang mengetahui adanya sejumlah orang bersenjata masuk secara paksa ke dalam rumah, segera mengunci pintu dan memberitahukan kepada suaminya. Pada waktu Jenderal A.H. Nasoetion membuka pintu kamar, penculik melepaskan tembakan, tetapi meleset.  

Jenderal Nasoetion berhasil menyelamatkan diri dengan jalan melompat tembok belakang. Ade Irma Suryani, putri bungsu yang berusia 5 tahun terkena tembakan, akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo beberapa hari kemudian. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, ajudan yang ada  di paviliun juga diculik.

Kapten Udara Herman Soekarseno, Wadanyon-3/Kawal Kehormatan Tjakrabirawa yang baru pulang mengikuti pendidikan security di Yugoslavia selama sekitar satu tahun semula diminta Letkol Oentoeng untuk memimpin penculikan Jenderal A.H. Nasoetion, tetapi perwira pertama Pasukan Gerak Cepat AURI itu menolak.

Pagi 1 Oktober Pukul 04.30 WIB, Mbok Milah pembantu rumah tangga Letjen A.Yani menggedor-gedor pintu rumah Mayor CPM Soebardi untuk memberitahukan bahwa Men/Pangad ditembak oleh penculik. Ajudan Letjen A.Yani itu segera berangkat menuju kediaman Men/Pangad di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta.

Setelah mendapat informasi tentang penculikan tersebut, dia segera berangkat menuju kediaman  Mayjen S.Parman disertai Mayor CPM Soedarto, ajudan Letjen A.Yani yang lain. Mereka mendapat informasi bahwa Mayjen S.Parman telah diculik oleh orang tak dikenal.

Mayor Soebardi dan Mayor Soedarto kemudian melanjutkan perjalanan menuju kediaman Mayen Soeprapto, tetapi mereka tidak menemukannya. Pencarian informasi diteruskan ke kediaman Mayjen M.T Haryono.  

Kedua ajudan memperoleh informasi bahwa Mayjen Haryono telah ditembak oleh penculik. Mayor Soebardi segera menghubungi lewat telepon ke kediaman Brigjen Soedirgo, Direktur Polisi Militer dan Brigjen Saboer, Komandan Resimen Tjakrabirawa, tetapi tidak memperoleh jawaban.

Pukul 05.00 WIB mereka membangunkan Pangdam V Jaya, Mayjen Oemar Wirahadikoesoemah untuk melaporkan segala sesuatu yang telah terjadi. Mayor Soebardi menyarankan kepada Mayjen Oemar untuk memerintahkan RPKAD (cikal bakal Kopasus) yang bermarkas di Cijantung, 10 kilometer di selatan Jakarta, agar pasukan elit itu memasang rintangan jalan dan melakukan pemeriksaan terhadap lalu-lintas yang keluar dan masuk ibukota.

Saran itu diterima oleh Pangdam Jaya, kemudian mereka diperintahkan segera menuju ke Cijantung untuk menghadap Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD. Sepanjang jalan menuju Cijantung nampak sepi. Keadaan cukup menegangkan. Tentara melakukan penjagaan di berbagai tempat, namun tidak diketahui dengan pasti mana kawan mana lawan.

Ketika Mayor Soebardi menyampaikan laporan bahwa Letjen A.Yani dan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat diculik, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menoleh ke arah foto Letjen A.Yani bersama Bung Karno yang tergantung di dinding ruang tamu.

Kolonel Sarwo Edhie segera memanggil Mayor Chalimie Imam Santoso agar segera menghadap karena negara dalam keadaan gawat.  Sarwo Edhie memberitahu CI Santosa atas penculikan sejumlah jenderal AD.  

Sarwo Edhie memerintahkan agar Yon Inf-1/RPKAD segera ditarik dari latihan upcara HUT ABRI di lapangan Parkir Timur Senayan.CI Santoso melaporkan pasukan RPKAD yang ikut sebagai pasukan upacara HUT XX ABRI di Senayan menaati perintah Ketua Panitia agar tidak membawa peluru.

Sekitar Pukul 06.00 WIB, Mayor CI Santoso menuju ke Senayan. Ia memerintahkan anak buahnya agar segera naik kendaraan dan kembali ke Cijantung.  

Sementara panitia HUT ABRI memberitahukan lewat pengeras suara agar seluruh pasukan upacara masuk lapangan untuk menempati posisi masing-masing, namun para komandan Kompi Yon-1/RPKAD memerintahkan melalui megafon agar anggotanya segera naik kendaraan.

Akibat perintah melalui pengeras suara yang saling bertentangan itu, suasana di lapangan upacara menjadi kacau balau. Melihat seluruh pasukan RPKAD ditarik dari lapangan parkir Timur Senayan, Laksamana Muda Laut Rahmat Soemengkar yang bertindak sebagai perwira pengawas latihan, marah kepada Mayor CI Santoso. Menjawab pertanyaan tentang penarikan pasukannya, Mayor CI Santoso berkata,“Nanti Laksamana akan tahu sendiri apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.”

Yang tidak diduga

Di Pancoran, pasukan Yon Inf-1/RPKAD yang baru ditarik dari Senayan berpapasan dengan pembawa peluru dari Cijantung. Kedua iring-iringan kendaraan yang datang dari arah berlawanan itu berhenti.  

Peti-peti peluru dibuka dan langsung dibagikan kepada pasukan di tengah jalan. Pada waktu itu jalan dari arah jembatan Semanggi ke Jakarta Bypass masih merupakan jalan dua arah.

Di Cawang, iring-iringan kendaraan Yon-1/RPKAD yang siap tempur berpapasan dengan iring-iringan kendaraan Yon 454/Raiders Kostrad dari Jawa Tengah dalam perjalanan menuju Silang Monas. Pasukan Baret Merah dan Pasukan Raiders saling melambaikan tangan sambal bersorak-sorak untuk meluapkan rasa simpati mereka sebagai sesama anggota ABRI.

Tentu saja tidak terlintas di benak pasukan Yon Inf-1/RPKAD bahwa keesokan harinya, mereka harus bertempur di daerah Pondok Gede melawan satu kompi Yon-454 /Raiders yang berpihak ke G30S.

Seandainya benar bahwa kedatangan Yon Inf-1 454/Raiders Kostrad dari Jawa Tengah dan Yon Inf-530/Raiders Kostrad dari Jawa Timur itu untuk ikut serta dalam Upacara HUT XX ABRI, seharusnya pada tanggal 1 Oktober pagi mereka ada di lapangan Parkir Timur Senayan untuk melakukan latihan upacara.

Namun mereka berada di  jalan Silang Monas dengan perintah melakukan pengamanan terhadap Presiden Soekarno.

Sementara itu pasukan G 30 S di bawah pimpinan Kapten Soeradi Prawirohardjo menduduki obyek-obyek vital yaitu Kantor Besar Telekomunikasi di Gambir, di Jalan Medan Merdeka Selatan dan RRI Pusat di Jalan Medan Merdeka Barat.

Setelah membaca cuplikan peristiwa di atas, tidak mengherankan jika sebagian orang menganggap bahwa G30S adalah bagian dari konflik internal di kalangan militer, karena pelaku penculikan melibatkan sosok-sosok militer juga.  Bagaimana menurut pembaca? – Rappler.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!